Mengintegrasikan Sistem Perpajakan, Sistem Sosial, dan Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

by | Aug 24, 2017 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Oleh: RUDY M. HARAHAP*

 

 

Belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani mempertanyakan ‘mental gratis‘ masyarakat Indonesia. Hal ini tentu dapat menjadi kontroversi. Tentu saja Sri Mulyani menyatakan pendapat demikian bukan tanpa alasan.

Sebagai seorang menteri yang pernah bekerja di World Bank, tentu ia memiliki data untuk membandingkan dengan negara lain apakah masyarakat Indonesia layak disebut bermental gratis.

Mental gratis ini tentu sangat fundamental. Ketika kita berbicara mental, artinya kita melihat sesuatu yang bukan lagi di permukaan. Sayangnya, tidak banyak perdebatan lebih jauh tentang pernyataan Sri Mulyani ini.

Yang ada justru adalah pernyataan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sumantri Brojonegoro yang cenderung mengokohkan mental gratis tersebut. Ia baru-baru ini mengusulkan asuransi pengangguran.

Pemilihan kata ini saja sudah berkonotasi negatif dan bisa mendemotivasi masyarakat Indonesia dalam membayar pajak. Seperti juga diindikasikannya, dengan asuransi pengangguran ini, masyarakat akan cenderung memilih menjadi penganggur.

Rakyat akan terperangkap dengan kata ‘pengangguran’ itu. Kesannya, negara akan menanggung kehidupan para penganggur. Akhirnya, mereka akan cenderung nyaman menganggur daripada bekerja dan semakin meningkatkan mental gratis itu.

Rasio Pajak Rendah?

Belakangan ini, kita mendengar lagi pernyataan keras Sri Mulyani tentang kebiasaan sebagian dari kita — terutama yang pernah mendapatkan pendidikan di luar negeri — membandingkan negara kita dengan negara lain terkait jaminan sosial kepada warga negaranya.

Ia mencontohkan, sering sekali orang-orang cerdas itu berbicara bahwa di Norwegia kehidupan sosial masyarakatnya ditanggung oleh negara, dari mulai di kandungan sampai dengan meninggal. Akan tetapi, katanya, mereka yang berargumentasi itu tidak mengungkapkan bahwa hal itu dimungkinkan karena Norwegia memajaki rakyatnya 60% dari penghasilan mereka.

Artinya, jika kita ingin menerapkan jaminan sosial seperti halnya di Norwegia, pantasnya, rakyat mengeluarkan 60% dari pendapatannya untuk pajak. Pertanyaannya, berapa persen yang sudah dikeluarkan oleh rakyat dari penghasilannya untuk kepentingan pajak? Ini tentu bisa menjadi perdebatan sengit.

Tentu, Sri Mulyani akan berargumentasi bahwa rakyat Indonesia belum patuh membayar pajak dengan melihat rasio pajak (tax ratio) negara kita yang masih sangat rendah. Kemudian, kita juga bisa melihat begitu rendahnya jumlah rakyat yang terdaftar di kantor pajak, dengan indikator jumlah mereka yang telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Dari mereka yang terdaftar ini pun, jumlah yang menyampaikan laporan tahunan pajak (SPT) sangat rendah. Karenanya, cukup aneh jika rakyat menuntut begitu besar jaminan sosial dari negara, tetapi hanya sebagian kecil yang membayar pajak.

Argumentasi ini tentu dengan mudah bisa disanggah. Sebab, berbeda dengan negara lain yang rasio pajaknya tinggi, di Indonesia rakyat mesti membayar begitu banyak pungutan, dari mulai pungutan resmi, setengah resmi, bahkan pungutan preman.

Sebagai contoh, dari mulai kehidupan di rumah, kita sudah mesti membayar iuran bulanan rukun tetangga (RT). Kemudian, yang tinggal di lingkungan kompleks perumahan, mereka mesti membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL) ke developer, seperti Bintaro Jaya di daerah Bintaro. Pembayaran ini tidak terkait langsung dengan konsumsi kita.

Selanjutnya, ketika ingin mendapatkan layanan dari instansi sektor publik, kita mesti membayar berbagai pungutan lagi. Ketika ingin mengurus kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) ke kelurahan atau kecamatan, maka lazimnya kita membayar sumbangan, sebagai pungutan setengah resmi. Ketika kita ingin mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), kita pun mesti membayar pungutan lagi.

Belum lagi jika kita perhitungkan pajak daerah seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mesti kita bayar secara tahunan. Selain itu, kelazimannya kita juga mesti membayar sumbangan sosial keagamaan, sumbangan di sekolah, atau bahkan uang ‘jatah preman’ bagi mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminalnya tinggi.

Artinya, jika saja pungutan-pungutan itu diperhitungkan, bisa saja ternyata rasio pajak Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Dengan demikian, rasio pajak tidak tepat untuk mengukur apakah mental rakyat kita cenderung bermental gratis atau tidak.

Namun, indikator jumlah mereka yang terdaftar dan yang menyampaikan laporan tahunan pajak bisa menjadi indikator mental gratis tersebut. Tentu saja, ini semakin memunculkan pertanyaan penting, kenapa hanya sebagian kecil saja rakyat Indonesia yang terdaftar dan menyampaikan laporan tahunan pajaknya?

Tulisan ini akan coba menjawab pertanyaan pertama, kenapa hanya sebagian kecil rakyat yang terdaftar sebagai pembayar pajak? Pertanyaan ini bisa dijelaskan dari aspek sosial dan aspek teknikal.

Sri Mulyani sudah melihatnya dari aspek sosial. Ia melihat persoalan sosial dari mental gratis masyarakat kita. Hal ini dapat dimaklumi karena banyak masyarakat kita yang melihat bahwa dengan merdekanya Indonesia dari penjajahan pada tahun 1945, maka mereka menganggap mestinya ada juga kemerdekaan untuk tidak membayar pajak. Sebab, di masa penjajahan, pajak atau ‘upeti’ pada waktu itu telah menjadi momok bagi rakyat.

Permasalahan mental sosial ini tentu tidak bisa kita jawab dengan pendekatan teknis. Kita membutuhkan kajian mendalam bagaimana agar mental tadi berubah. Salah satunya, tentu telah dijawab oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan program ‘Pajak Bertutur’ yang sekarang sudah digalakkan di sekolah-sekolah.

Tentu saja program ini hasilnya tidak bisa kita harapkan dalam jangka pendek. Perubahan mental akan membutuhkan waktu yang panjang. Bisa jadi, mesti melewati beberapa generasilah kita bisa mengubah mental tersebut dan menghilangkan mental gratis masyarakat Indonesia.

Namun, persoalan rendahnya wajib pajak terdaftar bisa juga dilihat dari aspek teknis. Salah satunya adalah melihat aspek integrasi antar sistem, terutama dengan ‘sistem sosial’ dan ‘sistem ketenagakerjaan’.

Integrasi Sistem Perpajakan dan Sistem Sosial

Saat ini, negara kita telah begitu banyak meninabobokan rakyat dengan berbagai program jaminan sosial, seperti ‘kartu sehat’, ‘kartu pintar’, ‘kartu miskin’, dan berbagai kartu lainnya.

Kartu-kartu ini banyak dinikmati oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang miskin. Sayangnya, pemerintah sampai sekarang belum menengok integrasi antara sistem jaminan sosial ini dengan sistem perpajakan.

Mestinya, dari awal pemerintah sudah menanamkan kesadaran terdaftar sebagai wajib pajak dari mulai masyarakat yang merasa miskin ini. Artinya, ketika mereka mendapatkan subsidi dari negara, mestinya mereka juga dipotong pajak.

Ada dua keuntungan dari pendekatan ini. Pertama, secara sosial, mental gratis mulai dihilangkan karena mereka diberikan kesadaran bahwa walaupun mereka mendapatkan subsidi, tetapi mereka juga membayar pajak.

Kedua, secara teknikal, sistem perpajakan sudah mulai terintegrasi dengan sistem sosial. Sistem perpajakan bisa memonitor apakah orang-orang yang mengaku miskin ini masih terus miskin atau sudah berubah nantinya.

Jika mereka sudah tidak layak dianggap miskin lagi, maka sistem perpajakan bisa memberikan warning kepada sistem sosial dan memajaki mereka layaknya orang yang tidak miskin lagi.

Sebagai perbandingan, di Selandia Baru, masyarakatnya bisa mendapatkan berbagai jenis jaminan sosial. Sebagai contoh, seorang janda yang tidak bekerja dan memiliki anak bisa mengajukan diri agar  mendapatkan subsidi ‘single parent benefit’ melalui Work and Income Department. Hanya saja, mereka harus melaporkan kepada departemen tersebut jika memiliki pekerjaan.

Dengan demikian, subsidi yang diterimanya bisa ‘disesuaikan’ oleh Work and Income Department atau malah jika dilihat income dari bekerja itu telah memadai, subsidi tadi dihapuskan, dan mereka justu terkena kewajiban perpajakan sebagaimana wajib pajak lainnya.

Sayangnya, cara berpikir integratif ini tidak dikenal di Indonesia. Kita bisa melihat Sumantri Brojonegoro malah mengusulkan asuransi pengangguran tanpa mempertimbangkan aspek perpajakan. Kemudian, term yang digunakan pun sudah usang.

Di banyak negara, istilahnya bukan lagi asuransi ‘pengangguran’. Di Selandia Baru, istilah yang digunakan adalah ‘pekerjaan dan pendapatan (work and income)’. Terasa sekali bahwa tujuannya adalah memotivasi orang untuk bekerja. Artinya, rakyat diberikan subsidi agar mereka semangat mencari pekerjaan.

Subsidi itu diberikan bukan dimaksudkan untuk membuat mereka terlena dan terus menjadi pengangguran, tetapi menopang mereka sesaat (temporary) agar bisa mencari pekerjaan dan memperoleh income, yang nantinya mendorong partisipasi mereka membayar pajak lebih besar kepada negara.

Karena itu, salah satu jenis subsidi lain yang diberikan negara kepada mereka bukan lagi seperti halnya ‘kartu pengangguran’, tetapi subsidi dalam bentuk pelatihan kepada warga negara, yang disebut ‘career benefit’. Di negara ini, subsidi ini bukan hanya untuk pelajar sekolah dasar sampai universitas saja yang berhak mendapatkannya.

Di Selandia Baru, jika ada seseorang yang menganggur karena dipecat oleh kantornya, maka negara akan memberikan subsidi dana pelatihan agar mereka mampu mencari pekerjaan baru yang sesuai dengan perkembangan bisnis.

Integrasi Sistem Sosial dan Sistem Ketenagakerjaan

Karenanya, tidak terhindarkan bahwa sistem sosial juga mesti terintegrasi dengan sistem ketenagakerjaan. Sialnya, hal ini tidak juga dikenal di Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi cenderung mempunyai agenda sendiri.

Mereka malah lebih banyak sibuk membicarakan soal tenaga kerja Indonesia (TKI). Begitu banyak program Kementerian ini untuk menyiapkan rakyat menjadi tenaga kerja di negara lain dalam kelas rendahan.

Mestinya, mereka mengadakan pelatihan kepada rakyat Indonesia yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis saat ini dan ke depan. Sumber pembiayaannya adalah dari rakyat itu sendiri, yaitu dari career benefit yang mereka peroleh dari sistem sosial. Artinya, mereka diberikan subsidi ini karena dianggap penting untuk meningkatkan karir mereka.

Indonesia akan maju jika berani mengintegrasikan tiga sistem ini. Paling tidak, kita bisa memulai dari eksperimen di lingkungan pegawai negeri. Saat ini kita bisa melihat begitu banyak pegawai negeri yang tidak efektif bekerja. Karenanya, pemerintah mesti berani merumahkan mereka. Namun, pemerintah mesti membayar gaji pokok mereka utuh sampai dengan pensiun.

Selanjutnya, selama mereka dirumahkan itu, pemerintah mesti memberikan subsidi kepada mereka agar mereka mengambil pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan saat ini dan ke depan di Indonesia.

Sebagai contoh, saat ini pegawai negeri kita terlalu banyak memiliki keterampilan administrasi. Mereka harus diubah agar memiliki keterampilan teknis, seperti pelayanan kesehatan ataupun teknik sipil, karena kita membutuhkan lebih banyak orang yang bisa menjalankan pekerjaan fisik.

Subsidi carreer tersebut tentu harus dipotong pajak. Dengan demikian, sejak awal mereka akan terdaftar sebagai pembayar pajak dan yang terdaftar sebagai pembayar pajak akan meningkat.

Setelah pelatihan ulang ini, pemerintah mesti membantu menyalurkannya. Dari program ini, maka pemerintah bisa mengetahui mana di antara mereka yang masih layak mendapatkan subsidi career tadi dan mana yang mestinya sudah dicabut dan kemudian malah menjadi pembayar pajak utama di Indonesia.

Intinya, jika Sri Mulyani ingin mengubah mental rakyat Indonesia dari mental gratis menjadi mental sadar pajak, tidaklah terhindarkan diperlukannya berpikir integratif dengan melibatkan berbagai sistem, terutama sistem sosial dan sistem ketenagakerjaan. Sistem perpajakan tidak bisa dilepaskan dari berbagai sistem lain di sebuah sistem besar pemerintahan.

 

*) Penulis adalah pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang sedang menyelesaikan penulisan tesis doktoralnya terkait integrated performance management systems (PMSs) di sektor publik dengan beasiswa New Zealand Asean Scholarship (NZAS) dari Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), Selandia Baru. Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak merepresentasikan pandangan tempat penulis bekerja ataupun lembaga manapun.

1
0
Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Author

Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis. Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI). Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”. Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia). Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management. Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post