Menghitung Potensi Ekonomi Untuk Kesejahteraan Anggota Korpri

by | Dec 1, 2018 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Pada tanggal 29 November 2018 yang lalu diselenggarakan upacara memperingati Hari Korpri yang usianya genap 47 tahun. Pada umumnya upacara ini hanya dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan instansi BUMN/BUMD dan pemerintah desa jarang melaksanakan upacara ini, mungkin karena Korpri diasosiasikan hanya pada PNS kementerian/lembaga dan pemda saja.

Korpri, yang menyandang singkatan dari Korps Pegawai Republik Indonesia, dibentuk dengan Keputusan Presiden nomor 82 tahun 1971. Pada masa orde baru, Korpri sangat efektif sebagai mesin politik penopang kekuasaan.

Namun, pada era sekarang Korpri diposisikan netral dan sudah tidak banyak lagi kekuatan politik yang berminat menariknya dalam permainan politik. Paling hanya para pimpinan instansi yang ‘ditarik-tarik’oleh politisi, itupun hanya untuk menjadi mesin uang semata.

Kesejahteraan Kopri?

Korpri saat ini juga masih memiliki “Panca Prasetya Korpri”, yakni semacam janji para anggotanya untuk berkomitmen memajukan masyarakat, negara, dan bangsa.

Saya tertarik dengan komitmen kelima yakni, “Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. Saya masih rancu dengan kata ‘kesejahteraan’ pada janji kelima tersebut. Apakah berjanji menyejahterakan masyarakat atau menyejahterakan dirinya sendiri?

Bisa jadi kata ‘kesejahteraan’ itu dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat. Lalu bagaimana dengan kesejahteraaan anggotanya sendiri? Menjadi pertanyaan penting, apakah PNS yang belum sejahtera mampu ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Selama ini Korpri telah memiliki koperasi simpan pinjam di beberapa daerah. Anggota Korpri dapat ikut bergabung dalam koperasi tersebut dan memanfaatkannya sebagai salah satu wadah untuk meminjam uang demi kebutuhan diri PNS dengan membayar iuran. Namun, apakah ini sudah cukup dibilang sebagai menyejahterakan anggotanya?

Saya mencoba mengajak para pembaca dan juga pemangku kepentingan Korpri untuk berefleksi kembali, sekaligus sedikit berhitung dengan istilah kesejahteraan tersebut.

Potensi Jumlah Anggota

Jika kita lihat jumlah PNS saat ini sebanyak 4,4 juta orang, sepertinya bukan jumlah yang sedikit untuk dapat bersama-sama saling menyejahterakan dirinya. Lebih rinci, dari jumlah tersebut, sebanyak 3,1 juta orang berada pada instansi pemerintah kabupaten/kota, 0,3 juta orang berada di instansi pemerintah provinsi dan sisanya sekitar 1 juta orang berada di instansi pemerintah pusat.

Untuk menggambarkan potensi yang lebih besar lagi, mari kita hitung pegawai BUMN dan BUMD yang sejatinya adalah anggota Korpri juga, yang selama ini jarang dianggap oleh Korpri. BUMN memiliki pegawai (mereka lebih memilih disebut karyawan) sebanyak 1,7 juta orang yang tersebar di 144 perusahaan BUMN. Setengahnya belum terdaftar pada BPJS Kesehatan. Mungkin karena penghasilannya sudah tinggi jadi tidak membutuhkan BPJS lagi.

Sedangkan BUMD berjumlah lebih dari 1.000 perusahaan, tetapi sebagian besar tidak sehat. Hanya ada beberapa puluh BUMD yang berkinerja baik, seperti perbankan daerah ataupun PDAM. Jumlah pegawai BUMD tidak terdata dengan baik.

Adapun jumlah pemerintahan desa di Indonesia berkisar pada 82.000 desa. Namun demikian, jumlah perangkat desa pun belum terdata dengan baik.

Potensi Ekonomi

Kita akan mencoba menghitung potensi ekonomi dari PNS pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BUMN saja dulu. Total anggota Korpri dapat berjumlah 6,1 juta orang. Ini merupakan jumlah yang fantastis untuk dijadikan sebagai potensi ekonomi.

Saya mencoba berandai-andai jikalau seluruh anggota Korpri bergotong-royong menghimpun dana lalu menghasilkan sesuatu yang dapat kembali kepada anggotanya, alangkah sejahteranya kita!

Bila sebanyak 6,1 juta orang memiliki iuran dana abadi tetap sebesar Rp100.000,00, maka akan diperoleh angka Rp610 milyar setiap bulan dan Rp7,32 trilyun dalam satu tahun. Iuran ini bisa dikelola oleh Yayasan Dana Abadi Korpri dan diinvestasikan dalam bentuk usaha profit oriented ataupun pembelian saham unggulan baik di tingkat nasional maupun internasional.

Pengelolaannya dilakukan seefisien mungkin dengan organisasi yang minimal agar tidak menyedot anggaran. Pengelolaannya pun diaudit secara independen agar lebih akuntabel serta menghindari dijadikannya sapi perahan baru oleh oknum yang serakah.

Hasil dari usaha dan saham unggulan ini sebagian akan dibagikan sebagai deviden setiap bulan, setiap lebaran ataupun hari-hari penting lainnya. Sebagian lagi dipakai untuk ekspansi ke usaha yang menguntungkan lainnya.

Namun, angka di atas sebenarnya belum proporsional. Penghasilan dari setiap pegawai sangat bervariasi, mulai dari gaji pokok, tunjangan, serta variasi lainnya seperti di BUMN. Pada level jabatan tertentu di BUMN, penghasilan per bulan bisa lebih dari Rp100 juta. Bahkan pada level top manajemen ada yang lebih dari Rp500 juta per bulan.

Dengan demikian iuran dana abadi sebesar Rp100.000 per bulan menjadi tidak proporsional dan tidak rasional. Lebih proporsional dan rasional apabila kita lakukan iuran dana abadi berdasarkan prosentase. Bila kita asumsikan iuran dana abadi sebesar 3%, maka seorang PNS golongan IIIa dengan pengalaman 0 tahun yang bergaji sebesar Rp2.456.700,00 akan menyetor iuran bulanan sebesar Rp73.000,00. Apabila prinsip iuran dana abadi diambil dari total penghasilan dan bukan sekedar gaji pokok, maka iuran akan lebih tinggi lagi.

Bila manajemen puncak BUMN dengan penghasilan Rp500 juta per bulan, dengan perhitungan yang sama, akan menghasilkan iuran Rp15.000.000,00 perbulan. Dengan demikian, bila iuran dana abadi kita pakai prinsip proporsional antara 2% sampai 4% (2% untuk penghasilan di bawah Rp50 juta perbulan, 3% untuk penghasilan Rp50-Rp100 juta perbulan dan 4% untuk penghasilan di atas Rp100 juta per bulan), maka jumlahnya akan lebih dari Rp610 milyar per bulan

Dengan potensi sebesar itu, sepertinya kondisi “sejahtera bersama” dapat tercapai.

Epilog

Saya tidak tahu apakah angan-angan saya ini terlalu muluk dan melambung tinggi. Namun, sebagai salah satu anggota Korpri wajar saja apabila saya mempertanyakan sekaligus memberikan usulan mengenai istilah kesejahteraan, seperti yang tercantum dalam Panca Prasetya Korpri yang kelima.

Kita semua berharap wadah Korpri bisa memenuhi peningkatan kesejahteraan anggotanya, bukan lagi hanya sekedar menjadi KORban PeRIntah. Bila anggota sudah sejahtera, maka tidak perlu lagi berpikir untuk mencari penghasilan tambahan dengan cara yang tidak halal, seperti menipu ataupun melakukan tindak korupsi

Mengingat saat ini adalah masa kampanye, apakah ada calon presiden atau calon legislatif yang setuju dengan ide di atas ?

Selamat Hari Korpri.

Salam reformasi.

 

 

0
0
Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Author

Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. Saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Inspektur Daerah Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018, dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post