Menggugat Senioritas Penghambat Birokrat Egalitarian

by | Nov 20, 2018 | Refleksi Birokrasi | 2 comments

Saya terhenyak, saat seorang pejabat di lingkungan kantor mengatakan, “Tidak boleh PPTK (pejabat pelaksana teknis kegiatan) meminta maaf kepada seorang bendahara jika melakukan suatu kesalahan. Bendahara yang harus meminta maaf pada PPTK, walau bendahara itu dalam posisi benar sekalipun.”

Kalimat tersebut memang dilontarkan dalam suasana santai dan penuh canda, tetapi saya menangkap sebuah pesan yang tersirat darinya. Pesan dari seorang pejabat yang sudah senior yang biasanya kalimatnya banyak diikuti oleh junior-juniornya.

Saya merasakan ada kesan sombong seorang senior kepada juniornya. Saya pun menangkap kesan bahwa seorang senior tidak pernah melakukan kesalahan dan pantang meminta maaf. Apakah kesan yang saya tangkap itu hanyalah perasaan saya semata, atau memang begitukah ‘takdir’ seorang senior?

Saya pun lalu bertanya dalam hati, “Siapa yang sebenarnya disebut senior di tempat kerja? Apakah orang yang lebih tua, lebih tinggi pangkatnya, atau yang lebih punya kemampuan dibanding lainnya?” Lebih lanjut, saya pun bergumam dalam hati, “Bagaimana sebaiknya kita mendudukkan perkara senioritas di tempat kerja?”

Awal Mula Senioritas

Jika kita menengok kamus besar bahasa Indonesia, senior (di tempat kerja) ternyata memiliki arti sebagai seseorang yang lebih tinggi dalam pangkat dan jabatan kedinasan, atau seseorang yang lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan.

Istilah senioritas, sebagai sebuah ungkapan perbedaan tingkatan, sering kita dengar dan alami saat kita ada di bangku sekolah. Saya pun masih ingat, di sekolah saya dulu sering terjadi keadaan di mana sang kakak kelas mem-bully adik kelasnya. Bahkan, bulliying itu terkadang sampai pada tataran kekerasan fisik.

Hal itu bukan saja berdampak buruk pada psikologi siswa yang mengalaminya, tetapi juga berdampak pada nama baik sekolah, terlebih jika kejadian itu akhirnya diketahui oleh masyarakat luas.

Dari ingatan saya tentang senioritas di sekolah, saya jadi berpikir dalam hati, ”Jangan-jangan kelakuan senior saya di tempat kerja memang hasil didikan saat sekolah dulu sehingga saat mereka bekerja prinsip senioritas masih saja terbawa?”

Dugaan saya mungkin saja ada benarnya, karena saat di bangku sekolah anak-anak masih memiliki mental yang labil. Kelabilan itulah yang menyebabkan jiwa mereka sangat mudah ditanami berbagai kebiasaan yang terbawa sampai mereka lulus sekolah dan ketika mereka sudah bekerja.

Senioritas di Tempat Kerja

Tidak jauh berbeda antara kejadian di saat sekolah dengan di tempat kerja. Di tempat saya bekerja, para senior biasanya memiliki anggapan bahwa mereka adalah orang yang lebih tinggi dalam segala hal, baik itu dari segi usia, pangkat, kematangan pengalaman, kemampuan, ataupun lamanya bekerja.

Meskipun sebagian senior di tempat kerja memiliki kemampuan yang kurang dibandingkan dengan para juniornya, tetapi tetap saja para senior ini merasa paling benar dan mumpuni.

Para senior ini sepertinya tidak dapat melihat atau mungkin mengingkari, bahwa dirinya terkadang perlu belajar dari para juniormya. Bahkan, jika ada junior yang kemampuan dan keaktifannya di atas mereka dalam bekerja, maka para senior biasanya melakukan berbagai hal yang menurut saya justru lucu, yaitu menjelek-jelekkan junior mereka hingga menghalangi karirnya.

Para senior di tempat kerja, apalagi senior yang pangkat dan jabatannya jauh tinggi dari para junior sering menggunakan pangkat dan jabatannya sebagai kekuatan untuk melakukan penindasan yang merugikan juniornya.

Salah Kaprah Senioritas

Dari berbagai amatan dan perenungan saya tentang senioritas ini, dapat saya simpulkan bahwa senioritas di tempat kerja masih dimaknai sebagai sesuatu yang sangat hirarkis. Hirarki itu ditunjukkan dengan adanya kematangan usia sekaligus jabatan dan pangkat yang lebih tinggi.

Akan menjadi suatu masalah jika seorang dengan pangkat yang lebih tinggi ternyata lebih muda dari bawahannya. Dalam kondisi seperti itu, kecanggungan dan permusuhan akan rawan terjadi.

Menurut saya, senioritas sebagai akibat salah kaprah dari pemaknaan budaya masih memiliki dampak buruk bagi lingkungan sekitarnya. Ajaran dari masa sekolah yang menanamkan pemahaman bahwa kakak kelas selalu lebih segala-galanya dibandingkan adik kelasnya adalah sebuah ajaran yang perlu diluruskan.

Senioritas belum dapat dipahami sebagai suatu hal yang menyejukkan, yang menghasilkan hal-hal positif dan produktif.  Senioritas masih memiliki nuansa arogansi yang akhirnya membuahkan dendam. Sudah saatnya para pegawai ataupun pejabat yang memiliki usia lebih matang ataupun pangkat dan jabatan lebih tinggi menyadari akan dampak yang dihasilkan dari budaya senioritas tersebut.

Epilog

Sudah selayaknya senioritas dimaknai lebih egaliter, di mana senior dan junior saling menghormati satu sama lain. Tidak perlu menganggap seseorang lebih dari orang lain karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna.

Dengan demikian akan tercipta suasana kerja yang penuh dengan kearifan, kelembutan, saling mengingatkan, dan saling berbagi pengalaman. Saat kondisi itu tercapai, maka kebutuhan yang dominan justru adalah soliditas dan solidaritas  di antara sesama manusia di tempat kerja.***

 

 

1
0
Marlina ♥ Associate Writer

Marlina ♥ Associate Writer

Author

Lulusan S1 Ekonomi Manajemen pada Universitas Jabal Ghafur. Sigli Kabupaten Pidie. Saat ini Penulis bekerja di Inspektorat Kabupaten Pidie Jaya.

2 Comments

  1. Mariman Darto

    Tulisan yang bagus. Diawali dengan dialog sehingga membuat tulisan jadi lebih hidup.

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih pak..
      🙏

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post