Mengapa Menulis

by | Feb 3, 2017 | Literasi | 0 comments

“Wuih…rajin banget..”

Entah sudah berapa orang yang berkomentar melihat catatan rapat hari itu. Termasuk komplit. Bahkan sangat komplit. Bahkan ucapan yang mungkin kurang relevan pun ada dalam catatan saya.

Bukan tanpa alasan kalau saya memutuskan untuk mencatat semua ucapan kepala bidang saya, termasuk tanya jawab juga saya catat. Mungkin hanya beberapa yang mempercayai alasan saya ini. Tapi begitulah adanya.

Saya termasuk orang yang mudah sekali mengantuk saat di kelas. Sangat-sangat mudah. Kebiasaan saya ini sangat dihafal oleh rekan-rekan kuliah atau mereka yang pernah sekelas sewaktu diklat. Mata saya biasanya terbuka lebar lima menit pertama masuk dan lima menit sebelum kelas usai. Suara dosen ibarat dongeng yang mengantarkan saya ke alam mimpi.

Di sisi lain, saya tak pernah rela jika ada peserta diklat yang saya ajar mengantuk. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membangunkannya, diantaranya dengam menanyakan beberapa pertanyaan. Nggak adil ya?

Aktifitas mencatat ucapan dosen atau narasumber dalam seminar, workshop, diklat, atau rapat baru saya mulai sejak awal tahun 2008. Meski di pagi hari sudah menikmati secangkir kopi, rasa kantuk tak juga bisa saya usir.  Aktifitas ini cukup menyelamatkan saya dari rasa malu akibat ketahuan mengantuk di kelas.

Aktivitas catat mencatat ini sebenarnya terinspirasi dari teman sekelas saat mengambil program master delapan tahun silam. Waktu itu saya sangat heran mengapa teman-teman saya begitu rajin mencatat. Tak hanya satu orang. Tapi cukup banyak. Setiap kali saya menoleh ke kiri kanan melihat depan atau sekilas berbalik ke belakang mereka terlihat mencatat. Salah satu rekan dari Indonesia juga sempat berkomentar, orang-orang di sini rajin banget mencatat. Semua ucapan dosen dicatat.

Waktu itu saya belum tergerak untuk meniru. Cukuplah slide-slide dosen dan beberapa catatan penting saja. Apalagi, ada rekaman kuliahnya. Kalaupun ada yang kurang jelas bisalah didengarkan kembali rekamannya.

Pentingya mencatat baru saya sadari saat ujian tiba. Tepatnya sehari sebelum ujian. Ternyata slide-slide dan beberapa catatan kecil saya tidak cukup membantu mengangkap kembali apa yang telah disampaikan dosen. Alternatifnya, saya harus mengulang membaca artikel-artikel untuk mendapatkan pemahaman yang utuh. Atau, kembali ke rekaman. Sayangnya, kedua aktivitas ini memakan waktu. Yang jelas tidak cukuplah waktu sehari. Ya, andai saya mencatat, tentu tidak seperti itu. Cukup membuka catatan tidak lebih dari dua jam untuk memahami.

Setelah itu barulah tergerak untuk mencatat. Di saat yang sama baru saya sadari bahwa mencatat juga menjauhkan saya dari rasa kantuk. Hingga saat ini akitivitas tersebut masih saya jalankan.

Beberapa tahun lalu, saya mendapatkan inspirasi dari Joe Vitale dalam bukunya Hypnotic Writing (Alhamdulillah sudah ada soft copy-nya, silakan di google dengan kata kunci: Hypnotic Writing Joe Vitale). Dalam salah satu bab yang berjudul Imitation of Sugar is Sweet too! Joe Vitale menganjurkan kita untuk melakukan imitation, alias meng-imitasi. Dalam hal ini, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menghasilkan tulisan yang menghipnosis adalah dengan mengimitasi tulisan lain yang menghipnosis. Katanya, pilihlah satu tulisan yang menurut anda menghipnosis. Lalu, tulislah dengan tangan anda. Ya, menulis dengan tangan anda, bukan tangan orang lain, juga bukan keyboard. Persis sama dengan proses mencatat.

Joe katakan: By imitating great writing, you learn how to create great writing. It gives you something close to the same feelings the author probably had when he wrote the story. That’s powerful. Hal yang sama juga dilakukan Joe saat usianya menginjak 16 tahun. Ia menyalin tulisan Jack London dan William Saroyan sampai ia benar-benar memahami bagaimana mereka menulis sebuah adi karya.

Tambahnya lagi, membaca dan menyalin tulisan sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh seorang atlet ketika mereka melihat video atlit lain. Perenang melihat perenang lain, skier belajar dari ahli skier lain. Mereka ini belajar melatih fikirannya dan merekam pola-pola untuk meraih kesuksesan.

Bagi saya pribadi, mencatat atau menyalin atau meng-copy juga membantu dalam memahami suatu artikel. Jujur, daya hafal saya sangat sangat parah. Mudah sekali lupa. Aktivitas mencatat ini juga cukup efektif untuk melekatkan apa yang sudah saya pelajari.

Kalau selama ini saya rajin menulis bukan berarti saya ahli di bidang tersebut. Saya hanya berusaha agar apa yang say abaca tidak lenyap seketika ditelan waktu.

Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan: Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Jadi, mari kita ikat ilmu-ilmu yang sudah kita pelajari dengan menuliskannya.

 

 

0
0
Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Author

ASN Instansi Pemerintah Pusat alumni Program PhD of Accounting di Victoria University, Melbourne-Australia. Penulis yang satu ini memiliki gaya yang khas pada tulisannya yaitu “bersemangat” dan menginspirasi. Ana, panggilan khas sang penulis yang aktif ini, merupakan salah satu penggagas gerakan Birokrat Menulis.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post