Mencermati Pasal-Pasal Dalam Menyikapi Kriminalisasi Proses PBJ

by | Jan 6, 2019 | Refleksi Birokrasi | 10 comments

Prolog

Pembangunan tidak bisa terlepas dari proses pengadaan. Tanpa kehadiran serta peran insan pengadaan, pembangunan itu hanya sebatas impian, wacana, dan cita-cita. Maka tidaklah berlebihan jika saya mengategorikan insan pengadaan sebagai pahlawan pembangunan tanpa tanda jasa.

Sayangnya, peran dan jasa pahlawan yang satu ini kurang diperhatikan oleh masyarakat, bahkan oleh negara. Bagaimana tidak? Di tengah keterbatasan kuantitas dan kualitasnya, insan pengadaan sering ‘dipaksa’ oleh keadaan, berjibaku sendirian dalam garangnya dunia pengadaan yang penuh intrik, mulai dari persoalan ekonomi, politik, sosial, budaya masyarakat, hingga hukum.

Insan pengadaan menjadi pihak pesakitan yang seorang diri harus menerima akibat dari riuhnya intrik dalam proses pengadaan. Tidak jarang ditemukan insan pengadaan yang harus menerima getahnya, yaitu sebagai pihak yang terkriminalisasi. Mereka menjadi tumbal atas terkuaknya sebuah malpraktik yang buahnya dipetik oleh pihak lain.

Perbedaan Pemahaman

Pada banyak kasus pengadaan barang dan jasa (PBJ), kita sering menyaksikan adanya pemahaman hukum yang berbeda di kalangan para aparat penegak hukum (APH). Menurut saya, perbedaan pemahaman tersebut cukup berbahaya karena bisa berujung pada sialnya nasib insan pengadaan.

Sebuah proses kegiatan, termasuk PBJ, selalu berada di tiga ranah hukum, yakni hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Namun, oleh APH semua prosesnya seakan-akan hanya digeneralisir sebagai bentuk  pidana.

Segala persoalan terkait kewenangan, diskresi, dan segala keputusan yang terjadi pada tahap perencanaan umum pengadaan, yang semestinya masuk dalam  hukum administrasi, sering kali ‘dipaksa’ untuk digiring ke proses hukum pidana. Wanprestasi pada pelaksanaan proses perjanjian pun yang seharusnya masuk ranah perdata juga digiring ke pidana.

Apakah telah terjadi gagal paham APH di dalam penanganan masalah hukum pada kasus PBJ?

Azas Ultimum Remedium

Dalam Hukum Pidana dikenal asas ultimum remedium, artinya pidana sebagai upaya penyelesaian terakhir apabila upaya lainnya telah gagal atau dianggap belum mencapai keadilan. Asas ultimum remedium memungkinkan suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain misalnya musyawarah kekeluargaan, negosiasi, dan mediasi.

Ruh asas ultimum remedium sebenarnya sudah tertuang di dalam Pasal 88, Penjelasan Umum Undang-undang Jasa Konstruksi, dan juga di dalam Pasal 20, 70, 71 dan 80 Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Bahkan, sebenarnya hal tersebut juga sudah dimuat dalam Pasal 32 Undang-undang Tipikor.

Menurut saya, adanya dugaan tindakan korupsi disertai kerugian keuangan negara akibat kesalahan administrasi dan wanprestasi, tidak serta-merta harus selalu diselesaikan sebagai kasus pidana. Di dalam kasus PBJ, seharusnya terlebih dahulu diurai bagaimana bentuk tanggung jawab administrasinya, kemudian tanggung jawab perdatanya.

Untuk itu, penulis ingin mengajak pembaca agar bersama-sama kembali mencermati beberapa pasal undang-undang yang sangat erat kaitannya dengan proses PBJ.

Undang-undang itu adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001  jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Permasalahan Administrasi

Secara normatif, penanganan kesalahan prosedur atau maladministrasi menurut Pasal 20 ayat (1), (2), (4), (5), (6), Pasal 70 ayat (3), Pasal 71 ayat (5), dan Pasal 80 ayat (1), (2), (3), (4) dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, adalah sebagai berikut:

Pasal 20:

(1) Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

(2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat(1) berupa:

a. tidak terdapat kesalahan;

b. terdapat kesalahan administratif; atau

c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

(4)   Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan.

(5) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.

(6) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.

Pasal 70:

(3) Dalam hal Keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas negara.

Pasal 71:

(5) Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Pasal 80:

(1) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), Pasal 9 ayat(3), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 36 ayat(3), Pasal 39 ayat(5), Pasal 42 ayat(1), Pasal 43 ayat(2), Pasal 44 ayat(3), Pasal 44 ayat(4), Pasal 44 ayat(5), Pasal 47, Pasal 49 ayat(1), Pasal 50 ayat(3), Pasal 50 ayat(4), Pasal 51 ayat(1), Pasal 61 ayat(1), Pasal 66 ayat(6), Pasal 67 ayat(2), Pasal 75 ayat(4), Pasal 77 ayat(3), Pasal 77 ayat(7), Pasal 78 ayat(3), dan Pasal 78 ayat(6) dikenai sanksi administratif ringan.

(2) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat(1), Pasal 25 ayat(3), Pasal 53 ayat(2), Pasal 53 ayat(6), Pasal 70 ayat(3), dan Pasal 72 ayat(1) dikenai sanksi administratif sedang.

(3) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 42 dikenai sanksi administratif berat.

(4) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berat

Dari pasal-pasal tersebut telah jelas bahwa penanganan kesalahan administrasi dikenai sanksi administrasi, bukan pidana.

Permasalahan Wanprestasi

Dalam proses perjanjian dari penandatanganan hingga berakhirnya kontrak antara pemerintah yang diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan penyedia jasa pun, seharusnya juga masuk dalam ranah hukum perdata, bukan pidana.

Pada tahap pelaksanaan kontrak, di samping perjanjian yang memuat pasal-pasal yang mengikat kedua belah pihak, juga berlaku KUHPerdata. Untuk kontrak kerja konstruksi, perlu ditambah dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Penyimpangan yang terjadi di dalam pelaksanaan kontrak atau wanprestasi adalah mengenai pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak, sehingga seharusnya diselesaikan secara perdata. Coba kita cermati Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 88 ayat (1) dan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Pasal 1365 KUHPerdata:

Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Jasa Konstruksi:

Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan.

Penjelasan Umum Undang-undang Jasa Konstruksi:

Dalam hal terjadi sengketa antar para pihak, Undang Undang ini mengedepankan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Terhadap pelanggaran administratif dalam Undang Undang Jasa Konstruksi ini dikenai sanksi administratif.

Hal yang menarik dan sering mengusik hati nurani bagi pencari keadilan dalam kasus PBJ, proses penyidikan sering tidak memenuhi unsur-unsur pidana, yaitu niat jahat (mens rea) dan perbuatan melawan hukum, tetapi anehnya tetap berujung pada pidana.

Padahal, untuk memenuhi unsur pidana, semestinya harus dibuktikan ada atau tidaknya niat jahat dan perbuatan melawan hukum dari proses perencanaan hingga berakhirnya kontrak.

Perbuatan yang memenuhi kedua hal tersebut sebagai contoh adalah: mark up anggaran, penyuapan pada proses penganggaran, pengkondisian pengadaan, pemalsuan dokumen, pemerasan dan pengancaman terhadap pelaku pengadaan, penyuapan keputusan pemenang, penggelapan dan penipuan dalam pelaksanaan kontrak, serta gratifikasi.

Kecukupan Bukti dan Kerugian Negara

APH cenderung menganggap penyelesaian semua persoalan hukum dalam proses PBJ dengan pendekatan hukum pidana, yaitu dengan menggunakan pasal sapu jagat, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor.

Padahal, jika tidak cukup bukti, APH cukup melakukan gugatan perdata saja seandainya mereka memahami beberapa pasal berikut ini.

Pasal 32 ayat (1) a quo:

Dalam hal penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

Penjelasan Pasal 32 ayat (1):

Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

Pasal 32 Ayat (2)

Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

Penjelasan Paal 32 ayat (2) :

Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pasal 191 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Dari rentetan pasal dan penjelasan pasal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa jika penyidik tidak menemukan cukup bukti adanya satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka perbuatan tersebut bukan termasuk kategori tindak pidana korupsi.

Arahan selanjutnya adalah penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata sesuai pasal 1365 KUHPerdata.

Epilog

Dalam menyikapi kriminalisasi PBJ, jika dalam proses pemeriksaan tidak ditemukan cukup bukti unsur tipikor, maka aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) harus segera mengeluarkan keputusan dan menerbitkan laporan hasil pengawasan kesalahan administrasi. Langkah selanjutnya, jika ada kerugian keuangan negara, instansi pemerintah yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata kepada pihak yang telah merugikan keuangan negara.

Selanjutnya, jika dapat dibuktikan adanya unsur tipikor seperti perbuatan melawan hukum dan adanya niat jahat seperti memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan menyalahgunakan kewenangan yang berakibat pada kerugian keuangan negara, maka baru dapat diusut secara pidana menurut Undang-undang Tipikor.

Jika seorang terdakwa ternyata tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi (hanya sebagai korban kriminalisasi PBJ), maka menurut Pasal 191 Undang-undang Hukum Acara Pidana hakim dapat memutus bebas atau lepas.

Dengan demikian tujuan hukum untuk mencapai keadilan akan lebih terwujud.***

 

 

5
0
Dewi Utari ◆ Professional Writer

Dewi Utari ◆ Professional Writer

Author

Lulusan S1 Teknik Sipil Undip dan S2 Magister Ilmu Hukum UKSW. Saat ini bekerja sebagai PNS Bapelitbangda Kota Salatiga.

10 Comments

  1. Avatar

    Asyiik dong,kalau kerugian negara ,sangsinya hanya pengembalian,kalau ketahuan ,berarti pengembalian,kalau tidak ketahuan alhmadulillah lanjut terus.

    Reply
  2. Avatar

    Terima kasih telah berikan Pencerahannya,dlm PBJ.

    Reply
  3. Avatar

    mencerahkan sekali buat insan pengadaan seperti aku mb..terimakasih banyak

    Reply
  4. Avatar

    Trims bu, mencerahkan ASN. Klo APH gatau apa memang sudah cerah.

    Reply
    • Avatar

      Jawabannya in sya Allah ada di tulisan selanjutnya , Pak

      Reply
  5. Avatar

    Kereen pencerahannya. Save. Makasih yaa.

    Reply
  6. Avatar

    Mantul mbak, semoga resonansinya mampu ditangkap mata batin pengelola negerinya mbak via vallen (pinjem istilah dari disway.id)

    Reply
    • Avatar

      Aamiin

      Reply
  7. Avatar

    Super sangat mencerahkan teman insan pengadaan..mohon ijin share..trims

    Reply
  8. Avatar

    Sangat memberi masukan. Namun saran saya, agar dapat disederhanakan lagi bahasanya, sehingga yang awam dapat memaknainya. Terutama LSM dan Auditor lainnya konsultan dan sebagainya. Terimakasih

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post