Menambang Dana Taktis: Sebuah Refleksi

by | Jan 28, 2023 | Birokrasi Bersih | 4 comments

Sejak dimulainya modernisasi pengelolaan keuangan negara pada 2003, akuntabilitas dan transparansi menjadi semangat sekaligus sendi dasar reformasi keuangan negara di Indonesia. 

Modernisasi ini ditandai dengan diundangkannya paket peraturan bidang keuangan negara, yaitu UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. 

Namun demikian, selama hampir 20 tahun perjalanannya, akuntabilitas dan transparansi dalam praktik pengelolaan keuangan negara rupanya masih menghadirkan pertanyaan-pertanyaan dan diskursus yang tak habis untuk terus digali.

Dalam bingkai itulah, ‘Dana Taktis’ sebagai sebuah realitas yang exist di hampir semua institusi birokrasi, namun sarat dengan ambiguitas dan hidup dalam keremangan, menjadi semacam paradoks atas nilai-nilai akuntabilitas dan transparansi. 

Tabu untuk Diperbincangkan

Fenomena menyimpang itu pula yang akhirnya menjadikan Dana Taktis topik yang tabu untuk diperbincangkan di lingkungan birokrasi atau aparatur negara. 

Kasus Dana Taktis di Departemen Kelautan dan Perikanan RI tahun 2005 (ICW) atau yang terbaru kasus dugaan korupsi di RSUD Praya Lombok Tengah di tahun 2022 (kompas), hanyalah secuplik kisah dari fenomena Dana Taktis yang berujung pada persoalan hukum.

Pada hakikatnya, Dana Taktis adalah dana yang disediakan untuk mencukupi keperluan-keperluan yang bersifat mendesak, dan/atau tidak dapat direncanakan sebelumnya. 

Beberapa istilah lain kadang digunakan untuk menyebut ‘Dana Taktis’ ini, di antaranya, ‘Dana Non-Budgeter’, ‘Dana di luar anggaran’, atau pada beberapa institusi lebih familier sebagai ‘Dana Komando’. 

Meski demikian, keberadaan Dana Taktis menjadi semacam benda sakral yang dikunci rapat-rapat. Alih-alih sumber bahan diskusi dan kajian ilmiah, menelisik “dari mana” dan “untuk apa” Dana Taktis, lebih sering diakhiri dengan pesan untuk tetap keep silent

Seumpama dianalogikan, realitas Dana Taktis ini sebenarnya tak ubah beda seperti kentut. Bunyi dan/atau wanginya adalah perwujudan dari sebuah eksistensi (kentut) yang bisa diinderawi. 

Namun sebagaimana jamak dipahami, keduanya (dana taktis dan kentut) sama-sama ‘tidak laik’ dibicarakan, yang sering disertai argumen ‘tidak sopan’ atau ‘tidak etis’. 

Agak melawan norma dan nalar mainstream itulah, tulisan ini berupaya ‘menerangkan’ yang ‘remang’ atau setidaknya ‘mengupas’ yang ‘terbungkus’. 

Harapan untuk membangun collective consciousness adalah ikhtiar yang sepenuhnya tergantung pada kehendak-NYA, dan para pembaca tentunya.

Sumber Dana Taktis

Tulisan sederhana ini mengajak pembaca menyusuri “dari mana” (sumber) Dana Taktis diperoleh. 

Sementara tentang pertanyaan “untuk apa” (penggunaan) Dana Taktis, pada gilirannya akan bermuara pada diskusi yang panjang kali lebar mengenai penganggaran di sektor publik. 

Cakupan dan kedalaman diskusi terkait hal itulah yang akhirnya merasionalisasi tulisan ini harus saya batasi. 

Menjawab kegusaran “dari mana” Dana Taktis diperoleh dan dikumpulkan, konsep Fraud Tree yang dipopulerkan The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) pada dasarnya cukup relevan menjadi kerangka analisis. 

Sebagaimana dikenalkan ACFE, Fraud Tree bercabang pada tiga klasifikasi kecurangan yang meliputi, corruption, asset misappropriation, dan financial statement Fraud.

Mengadaptasi konsep Fraud Tree tersebut, maka “dari mana” Dana Taktis diperoleh dapat dipetakan atau dikelompokkan dalam tiga sumber utama, yaitu: 

(1) penerimaan dan/atau aktivitas illegal; 

(2) pemanfaatan asset negara/daerah; dan 

(3) penyiasatan anggaran. 

Dalam pengelompokan ini tentu tidak bisa berlaku sama (terjadi) di semua instansi/lembaga pemerintah. 

Karakteristik yang dimiliki masing-masing instansi baik karena perbedaan rentang kewenangan, tugas pokok dan fungsi, maupun struktur kelembagaan sudah barang tentu akan membedakan dalam hal darimana Dana Taktis di instansi tersebut dikumpulkan. 

Data–data serta fenomena yang tersaji dalam tulisan ini diambil dari beberapa artikel dan kajian ilmiah ataupun sumber-sumber pemberitaan. 

Selain itu, jalan hidup penulis di lingkungan birokrasi sedikit banyak sublim untuk menghadirkan fenomena yang ‘remang’ ini bisa lebih ‘terang’ dan mudah dipahami.

Penerimaan dan/atau Aktivitas illegal 

Di instansi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi pelayanan administrasi publik, uang pelicin selain menjadi sumber ‘kesejahteraan’ oknum-oknum tertentu, kerap pula menjadi pundi-pundi Dana Taktis. 

Realitas tersebut tersamar dalam bentuk ‘uang terima kasih’ (sukarela) atau ‘biaya administrasi’ (bertarif) atas produk layanan yang sudah diberikan. 

Di lain tempat, sumber Dana Taktis juga dapat berasal dari jasa pengamanan aktivitas legal (backing korporasi atau swasta perorangan) maupun aktivitas ilegal (tambang tidak berizin, penjualan minuman beralkohol, perjudian, prostitusi). 

Tentunya hal ini hanya berlaku pada instansi-instansi yang punya kewenangan dan/atau tugas pokok fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban umum.

Praktik lain yang jamak dilakukan dalam upaya menambang Dana Taktis, dengan mengumpulkan illegal gratuities atau kadang juga disebut kick-back dari pihak ketiga yang menjadi rekanan (pemenang tender) instansi pemerintah. 

Kegiatan ini marak terjadi dalam pengadaan barang dan jasa ataupun belanja modal Pemerintah. 

Contoh seperti diungkapkan Achdiar Redi Setiawan, et. al (2013:92), dalam pengadaan jasa misalnya pelatihan, penelitian atau kajian oleh pihak ketiga bisa menghasilkan ‘Dana Taktis’ antara 10 – 40% dari nilai kontrak yang disepakati. ‘Tahu sama tahu’ biasanya menjadi prinsip bersama (besaran nilai) yang disepakati kedua belah pihak yakni antara pemilik pekerjaan dan rekanan.

Selain dari sumber eksternal, potensi sumber ‘Dana Taktis’ juga dapat ditambang dari internal para aparatur pemerintah / negara sendiri. Perwujudannya dalam bentuk ‘mahar’ atas kenaikan pangkat dan/atau jabatan. 

Praktik yang terbilang primitif ini secara samar masih berlangsung meski mekanisme assesment serta lelang terbuka jabatan sudah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir, sebagai upaya memutus praktik-praktik menyimpang tersebut. 

Dugaan suap lelang jabatan di Pemerintah Bangkalan hanyalah contoh terbaru dari kasus-kasus serupa yang masih cukup marak berlangsung. 

Pada kasus tertentu, penempatan dan/atau mutasi pegawai juga tak lepas dari praktik-praktik dimaksud. Corak yang membedakan antara satu instansi dengan yang lain, biasanya hanya dalam hal ‘timing’ kapan illegal gratuities atau bribery tersebut diserahterimakan. 

Pemanfaatan Asset Negara/Daerah

Salah satu concern BPK dalam setiap aktivitas audit yang dilakukan atas laporan keuangan pemerintah baik pusat dan daerah adalah terkait tata kelola asset Negara / Daerah. Khususnya terhadap pengelolaan, penatausahaan, pemanfaatan serta pengamanan (baik fisik dan administratif) asset.

Dalam hal pemanfaatan asset Negara/Daerah, potensi ‘Dana Taktis / Dana Komando’ yang bersumber kelompok ini di antaranya dari pemanfaatan asset Negara/Daerah berupa tanah yang disewakan untuk pertanian, perkebunan, atau aktivitas ekonomis lainnya. 

Demikian juga terhadap pemanfaatan gedung/bangunan milik negara/daerah yang disewakan untuk kegiatan insidental atau disewakan secara tahunan untuk aktivitas usaha. 

Pada umumnya, Dana Taktis dari sumber ini diperoleh melalui 3 cara. Pertama, penerimaan dari pemanfaatan secara illegal atas asset negara/ daerah. 

Kedua, melalui ‘penyisihan’ setoran penerimaan negara /daerah dari hasil pemanfaatan aset, dan ketiga dengan tidak disetorkannya seluruh pendapatan atas pemanfaatan aset ke rekening kas Negara/Daerah (ditampung di rekening khusus dan /atau digunakan secara langsung diluar mekanisme anggaran). 

Hasil analisis yang dilakukan Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Sekretariat Jenderal DPR RI atas pengelolaan dan Akuntabilitas Aset Milik Negara di Lingkungan TNI AD sedikit banyak dapat mengilustrasikan indikasi realitas tersebut. (dpr.go.id)

Penyiasatan Anggaran Pemerintah

Sumber berikutnya perolehan Dana Taktis yakni dari aktivitas-aktivitas realisasi belanja pemerintah. Pada dasarnya, hampir seluruh pos rekening belanja dalam APBN/D berpotensi sebagai sumber tambang ‘Dana Taktis’. 

Namun dalam praktik yang sering berlangsung, objek ‘penyisihan’ anggaran terjadi pada rekening-rekening  belanja operasional rutin perkantoran dan belanja aparatur. 

Di antaranya (namun tidak terbatas), pada belanja barang pakai habis (ATK, perawatan/pemeliharaan peralatan kantor dan kendaraan dinas, belanja rumah tangga perkantoran), belanja makan-minum, belanja lembur, maupun belanja perjalanan dinas. 

Cara-cara yang umum dilakukan dalam mengumpulkan ‘Dana Taktis’ tergambar dari penuturan seorang Bendahara Pengeluaran berikut (salah satu informan dalam penelitian Indah Sri Wahyuni, et. al (2015)), yang ‘menerangkan’ bagaimana aktivitas ‘menambang Dana Taktis’ dilakukan:

“Tinggal meng-SPJ-kan kegiatan tidak sesuai dengan riilnya. Kalau terpaksa banget kegiatan fiktif akhirnya dijalankan, tapi kebanyakan kegiatan tetap dilaksanakan hanya saja beberapa rekening disiasati dengan membeli tapi yang harganya dibawah harga di DPA, sedangkan SPJ tetap sesuai DPA”

Sementara untuk belanja aparatur, paling sering menjadi sumber ‘Dana Taktis’ yaitu honor lembur dan belanja perjalanan dinas (kompas). 

Untuk pos-pos belanja ini, selain penyiasatan laporan pertanggungjawaban (SPJ), Dana Taktis juga diperoleh dari ‘penyisihan’ belanja yang dibayarkan kepada pegawai. Prosentase 5 – 20% adalah kebijakan yang umum berlaku sebagai potongan atas belanja-belanja dimaksud. 

Dalam praktik yang lain, penambangan ‘Dana Taktis’ di instansi Pemerintah Daerah terkadang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran melalui ‘penyisihan’ uang muka (panjar) kegiatan yang diberikan kepada pelaksana kegiatan (PPTK). 

Tentu besarannya variatif tergantung kebijakan pimpinan masing-masing instansi. Namun angka 10 – 15% dari nilai Panjar umum sebagai kebiasaan ‘dukungan Dana Taktis’.

Refleksi

Dengan berbagai rasionalisasi argumen yang dibangun, ‘Dana Taktis’ atau non-budgeter adalah realitas yang exist di instansi pemerintah/negara. 

Penuturan seorang informan berikut, yang saya nukil dari hasil penelitian Achdiar Redi Setiawan, et. al (2013:90), secara gamblang ‘menerangkan’ eksistensi Dana Taktis: 

“Kita itu gak mungkin meng-SPJ-kan murni 100% sesuai anggaran. Karena kita juga butuh apa yang dinamakan ‘dana taktis’. Kita tidak membelanjakan semua sesuai yang tertera di anggaran, tapi SPJ-nya 100%. Selisih itu yang kita kelola sebagai dana taktis”

Amat menarik tentunya untuk membincangkan eksistensi ‘Dana Taktis’ sebagai sebuah fenomena anggaran ‘remang’ yang menjadi sisi lain dari anggaran ‘terang’ dalam wujud DIPA/DPA instansi pemerintah. 

Ini pula yang kiranya menjadi satu di antara akar patologi perilaku koruptif di negeri ini. Sekelumit kisah dana taktis atau non-budgeter ini pada akhirnya memantik pertanyaan reflektif: 

Benarkah akuntabilitas dan transparansi telah senyatanya menjadi ‘Roh’ dalam tata kelola keuangan Negara kita? Integritas adalah barang yang mahal di negeri ini. 

Namun dengan menghidupi salah satu perkataan bijak (alm) Baharuddin Lopa, “Banyak yang salah jalan, tapi merasa tenang, karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian”, mungkin akan dapat menjadi obat untuk turut menyembuhkan penyakit bangsa ini.

5
0
Joko Santosa ♥ Associate Writer

Joko Santosa ♥ Associate Writer

Author

Seorang PNS pada Pemkab Magetan dengan tugas harian menjaga Perpustakaan. Baru belajar untuk menulis, dan lebih sering berdialog dalam hening.

4 Comments

  1. Avatar

    Selain itu ada juga dana taktis Bagian/Bidang. Saya pernah mengusulkan adanya persentase saja, dibandingkan hanya membeli kwitansi dan dana sisanya, dikeluarkan seperlunya (bisa saja lebih parah persentasenya) untuk sisa setelah dipotong 20% dan pajak. Karena tetap juga bidang/ bagian itu musti punya dana taktis sendiri, karena selalu ditagih jika ada acara HUT macam2 yg membutuhkan hadiah mendadak oleh pusat. Saya ingin bertanya : apakah ada di Indonesia ini yang masih jujur 100% realisasi dari 100% anggarannya.

    Reply
  2. Avatar

    benar Pak, 20% kalau di ujung sumatra ini, kalau di kementrian bisa s.d 30%. Provinsi kami ini sangat kekurangan iman, kreativitas dan juga integritas.

    Reply
  3. Avatar

    tulisan yang benar2 jujur dan menusuk jantung semua aparat yang membacanya. seberapa persen dana taktis yg didapatkan, malah itu yang kerap kali menjadi sangat penting dalam kegiatan/program di pemerintahan

    Reply
    • santosa

      mungkin ada benarnya bila dikatakan korupsi merupakan pelumas birokrasi / ekonomi

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post