Memutus Jerat Kandidat dalam PILKADA

by | Dec 7, 2020 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

Netralitas ASN kembali menjadi sorotan dalam gelaran pilkada. Berbagai laporan pelanggaran terhadap netralitas tersebut telah diterima Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Berdasarkan data per 30 September 2020, terdapat 694 pegawai ASN yang dilaporkan melakukan pelanggaran netralitas. Imbasnya, KASN telah memberikan rekomendasi penjatuhan sanksi pelanggaran netralitas bagi 492 ASN (kompas.com, 7/10/20).

Pelanggaran atas netralitas ASN menjadi masalah klasik yang selalu muncul di setiap gelaran pilkada. Pada tahun 2019 tak kurang 299 ASN telah dijatuhi sanksi disiplin dan kode etik akibat melanggar netralitas (news.detik.com, 24/7/2019).

Namun, toh di tahun berikutnya jumlah pelanggar netralitas masih pada kisaran angka yang sama. Apa sebenarnya yang menyebabkan birokrasi selalu menjadi objek politisasi?

Laura Astrid H. Purba dalam tesisnya yang berjudul Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten Malang, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2010 menunjukkan bahwa politisasi birokrasi dalam pilkada dipengaruhi beberapa hal.

Pertama, birokrasi seringkali mudah dimanfaatkan sebagai personifikasi negara yang digunakan untuk merayu atau bahkan mengintimidasi warga.

Kedua, birokrasi memegang akses informasi dan data di daerah terutama mengenai besaran pemilih, basis massa partai, pemilih pemula (early voters), kelompok golput, dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan oleh kandidat.

Ketiga, ASN memiliki keahlian teknis dalam formulasi dan implementasi kebijakan yang dapat dimanfaatkan  oleh kandidat.

Jeratan Kandidat

Kapasitas birokrasi yang strategis di atas membuat ASN seringkali dijerat oleh kandidat untuk menjadi bagian dari tim sukses atau sekedar sebagai pengumpul suara pemilih (vote getter). Jerat kandidat dilakukan dengan berbagai cara.

Cara pertama adalah dengan mekanisme tukar guling dukungan ASN dengan jabatan. ASN yang mendukung kelak akan mendapatkan promosi atau dipertahankan jabatannya. Sedangkan bagi ASN yang menolak mendukung diancam untuk rotasi, demosi atau di-non job-kan.

Seorang teman saya dengan jabatan staf pernah direkrut sebagai vote getter oleh salah satu kandidat pilkada di sebuah kabupaten di Sumatera Barat. Setelah kandidat tersebut berhasil memenangkan pilkada, teman itu mendapatkan promosi jabatan eselon IV.

Jerat pertama membawa dampak buruk jangka panjang bagi birokrasi. Praktik tukar guling ini jelas menghambat sistem merit yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Promosi, rotasi dan demosi yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja ASN, pada praktiknya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan personal kepala daerah.

Jerat kedua adalah pembiaran sikap partisan ASN oleh kandidat dikarenakan menguntungkan dirinya. Sikap partisan bisa dilatarbelakangi oleh primordialisme. Kesamaan suku, agama, dan budaya. Namun di lain sisi, kandidat yang didukung menolak turut bertanggung jawab atas pelanggaran yang menjadi temuan panwaslu.

Hal itu pernah terjadi pada seorang rekan yang terlibat dalam kampanye partai politik. Saat terciduk dan diproses oleh panwaslu, pihak yang didukungnya berlepas tangan. Tidak mau melakukan pembelaan.

Jerat yang ketiga dilakukan dengan cara “menunggangi” program dan anggaran pemerintah dan bantuan sosial untuk kegiatan kampanye terselubung. Menjelang pilkada, kandidat yang berasal dari petahana sering kali membuat berbagai program baru atau mempolitisasi bantuan sosial dengan maksud menaikkan elektabilitasnya.

Setuju atau tidak, ASN sebagai pelaksana kebijakan harus terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Contohnya cukup banyak. Kandidat petahana di Kabupaten Banggai, Peguningan Bintang, Ogan Ilir, Halmahera Utara, Gorontalo dan Kaur telah terbukti melakukan pelanggaran itu dan direkomendasikan Bawaslu untuk didiskualifikasi (tribunnews.com, 21/10/2020).

Jerat yang terakhir adalah mobilisasi ASN. Bedanya dengan tukar guling jabatan, mobilisasi ini lebih bersifat paksaan. Oleh karena itu bukan untung yang didapat ASN, tapi justru sebaliknya.

ASN yang dimobilisasi umumnya yang berpangkat rendah dan tidak memiliki daya tawar. Mereka dimobilisasi untuk menjadi vote getter atau panitia pilkada  yang mampu mengkondisikan hasil penghitungan suara.

Kita paham betul cara-cara itulah yang dilakukan oleh Golongan Karya (Golkar) di era Orde Baru untuk memenangi enam kali pemilu. Sayangnya, dampak buruknya hanya dialami sekaligus ditanggung sendiri oleh ASN.

Saya menyaksikan langsung dampak mobilisasi ASN yang dilakukan Golkar untuk memenangi pemilu 1997 di Sampang. Massa pendukung PPP menuduh para guru yang dimobilisasi oleh elit birokrasi untuk menjadi petugas TPS telah melakukan kecurangan. Massa marah dan melampiaskan kemarahannya itu dengan merusak dan membakar beberapa komplek perumahan guru. Celakanya, tidak ada satupun perlindungan dari atasan apalagi Golkar.

Agenda Perlu Didorong

Kuatnya jerat-jerat kandidat menyulitkan ASN membebaskan dirinya, dan kemudian berdiri di titik netral. ASN akan selamanya menjadi korban politisasi apabila jerat kandidat tidak diputus. Untuk memutus jerat-jerat itu, ada beberapa agenda penting yang harus didorong ke depan.

Pertama, mengetatkan pengawasan terhadap kandidat pilkada supaya tidak melakukan mobilisasi ASN. Panwaslu harus mempermudah mekanisme pelaporan bagi masyarakat yang mengetahui tindakan mobilisasi ASN. Keberanian panwaslu untuk mengambil tindakan tegas akan memberikan efek yang positif.

Kedua, selain masyarakat, ASN dapat didorong untuk berperan sebagai whistleblower, melaporkan upaya mobilisasi ASN yang melibatkan dirinya. Syarat pentingnya adalah pelapor harus dilindungi identitas dan karirnya di birokrasi. Perlu juga diberikan insentif bagi whistleblower agar mendorong keberaniannya untuk melaporkan pelanggaran itu.

Ketiga, kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) harus bertindak tegas dan cepat dalam mengeksekusi rekomendasi sanksi pelanggaran netralitas yang diberikan KASN. Benturan kepentingan harus dihindari agar sanksi yang dijatuhkan adil dan proporsional.

Keempat, mekanisme sanksi yang tegas, cepat  dan berefek jera seperti diskuslifikasi kandidat harus dilakukan oleh KPU berdasarkan rekomendasi Bawaslu. Kandidat dapat juga diwajibkan untuk menyampaikan komitmennya dalam menjaga netralitas ASN dengan menolak keterlibatan ASN dalam setiap kampanye, baik melalui tatap muka maupun media massa. Hal ini bertujuan untuk menekan sikap partisan ASN.

Bila tidak ada langkah maju dalam menjaga netralitas ASN maka selamanya pilkada tidak mampu membangun demokrasi yang matang dan birokrasi yang profesional. Pilkada hanya akan menjadi drama pertarungan kekuatan politik lokal. Dan ASN selalu terjerat. Menjadi korban di tengah pertarungan para kandidat memperebutkan kursi kekuasaan kepala daerah. Semoga tidak.

6
0
Andri Tri Kuncoro ♥ Associate Writer

Andri Tri Kuncoro ♥ Associate Writer

Author

Widyaiswara pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta. Di sela-sela menjalankan tugas yang berkaitan dengan pengembangan SDM aparatur, juga berusaha mengembangkan kemampuan menulis dalam bentuk makalah, opini dan esai.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post