Membaca Sejarah dengan Filsafat

by | May 17, 2021 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Entah mengapa setiap kali mengikuti pelajaran sejarah di SMA saya selalu terlelap. Pelajaran sejarah saya anggap sebagai refreshing di antara pelajaran-pelajaran ilmu eksakta. Sungguh saya bukanlah pelajar yang baik. Padahal, almarhum ibu saya juga guru sejarah.

Ketertarikan dan kesadaran akan pentingnya mempelajari sejarah baru saya dapatkan sekitar enam tahun lalu ketika membaca berita tentang ditemukannya lembaran Alquran asli di University of Birmingham.

Dari situlah saya mulai menelusur rasa penasaran, mengapa di lembaran tersebut justru ada di Birmingham, bukan di Timur Tengah? Ada peristiwa apa sehingga lembaran kitab suci tersebut bisa berpindah dari dunia Arab ke Inggris? Siapa yang mengambil atau membawanya dari tempat asalnya?

Pertanyaan itulah yang akhirnya membawa saya pada sejarah the Golden of Islam dengan peran the House of Wisdom yang dibangun di masa Khalifah Al Makmun sanggup menjadi magnet yang menarik para ilmuwan dari segala penjuru dunia datang ke Baghdad.

Sejak saat itu saya mulai sering menekuri video-video sejarah dunia. Meski masih sebatas di permukaan tapi setidaknya mampu membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar lebih mendalam.

Filsafat Sejarah

Waktu pun berlalu, beberapa bulan lalu, saya menyimak Ngaji Filsafatnya Fahruddin Faiz yang semakin menguatkan diri untuk menelusur peristiwa sejarah. Saat itu Fahruddin Faiz mengupas tentang gagasan Ibnu Khaldun yang tertuang dalam bukunya yang sangat populer berjudul Mukadimah.

Ternyata sejarah tidak sekadar kronologi terjadinya suatu peristiwa tentang tokoh dan kapan kejadian berlangsung. Sejarah juga bukan sekedar narasi cerita tentang kepahlawanan dan kehebatan bagaimana para kaisar, raja, sultan, dan penguasa jaman dahulu membangun peradaban yang bisa dinikmati warisannya hingga saat ini.

Namun, memahami sejarah juga butuh sisi-sisi pemikiran kritis untuk melihat secara lebih luas akan sebuah peristiwa. Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang menyatakan bahwa sejarah tidak semata-mata peristiwa yang terjadi saja, tapi melibatkan subjek. Tidak sekedar narasi, tapi yang tak kalah penting adalah siapa yang menarasikan.

Contoh yang sangat mudah dapat kita lihat pada realita hari ini. Berita yang muncul dari media tentu tak lepas dari siapa yang membuat dan siapa yang menarasikan. Masing-masing pembawa informasi membangun cerita yang dapat memberikan keuntungan pada diri sendiri.

Hal inilah yang disebut Ibnu Khaldun sebagai sisi intrinsik dan ekstrinsik sejarah, ada subjek ada narasi. Sejarah tak bisa dilepaskan dari filsafat sehingga lahirlah apa yang dinamakan sebagai filsafat sejarah.

Ini tidak berarti bahwa setiap peristiwa sejarah harus difilsafati. Tapi, bagaimana kita menggunakan filsafat untuk mengkritisi suatu peristiwa sejarah, terutama terkait mengapa dan bagaimana suatu peristiwa sejarah itu ada. Why dan how.

Dalam pandangan Ibnu Khaldun sejarah memiliki sisi fungsi dan praktis yang berlangsung sepanjang masa. Sejak dulu sejarah sering dijadikan sebagai alat penguasa atau siapapun yang memiliki hubungan dengan penguasa untuk memback-up kebijakan-kebijakannya.

Siapapun yang tidak sejalan, membangkang, menentang, apalagi menjelekkan akan disingkirkan. Ini tidak hanya berlaku dalam area kekuasaan negara, tapi juga dalam hal sejarah Islam.

Dulu ketika masih zaman orde baru, buku-buku terkait PKI dilarang beredar. Sangat sulit sekali menemukan buku Pramoedya Ananta Toer dan dijual bebas, termasuk buku-buku berhaluan kiri lainnya yang hingga kini masih rawan untuk di razia.

Pelarangan ini bukan karena ketakutan bahwa pembaca akan menjadi komunis, tapi lebih pada ketakutan bahwa buku-buku tersebut akan membangkitkan kesadaran pembaca akan kegagalan kebijakan-kebijakan pembangunan.

Sehingga, membredel atau melenyapkan narasi lain selain yang dibangun oleh penguasa dianggap bisa menyelamatkan kekuasaan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menyebut sejarah memiliki fungsi politik untuk melanggengkan kekuasaan, membangun stabilitas, sekaligus harmoni.

Memahami Konteks

Hal penting lain yang menurut saya terlupakan saat saya dulu belajar sejarah adalah memahami konteks. Fahruddin Faiz dalam *Ngaji Filsafat-*nya memberikan contoh yang cukup menggelitik tentang gambaran hukuman-hukuman dalam Alquran yang bagi banyak orang terlihat begitu kejam -seperti potong tangan hingga rajam.

Dalam memandang hukuman seperti ini kita tidak bisa menggunakan perspektif masa kini untuk menilai masa lalu. Jika itu yang dilakukan kesalahan persepsi sangat mungkin terjadi. Sehingga, kita harus bisa membawa diri kita pada perspektif kejadian di masa lampau. Bisa jadi memang di masa lalu hukuman semacam itu yang sesuai dengan zamannya.

Sebaliknya, orang-orang di masa lalu mungkin juga akan terkaget-kaget melihat bagaimana pemerintah saat ini menghukum para kriminal termasuk koruptor, sudah membahayakan masyarakat malah diberikan tempat tinggal, diberikan makan, disediakan tempat shalat, serta diajari keterampilan.

Konteks zaman yang berbeda mengharuskan kita untuk mampu membawa pemikiran kita saat ini pada konteks masa lalu agar dapat melihat secara jernih apa yang sebenarnya terjadi dan pesan apa di balik suatu peristiwa.

Hal ini pula yang digarisbawahi Ibnu Khaldun sebagai salah satu yang sering menjadi sumber kesalahan penceritaan sejarah, yaitu ketika sejarawan tidak mampu meletakkan peristiwa dalam konteks yang tepat.

Di saat yang sama, Ibnu Khaldun juga memberikan prasyarat seorang sejarawan yang tidak cukup sekedar mengetahui kronologi peristiwa tapi juga mampu menghubungkan peristiwa dan kondisi masyarakat saat itu (masa kini) dengan masa lalu.

Seorang ahli sejarah juga harus memahami kondisi sosial dari berbagai peradaban dan negara dalam aspek kehidupan sehari-hari, moralitas, pendapat, doktrin, dan lain sebagainya. Pemahaman tentang asal-usul dan perkembangan negara dan aliran-aliran, prinsip-prinsip sosial mereka, hukum, aturan, dan peristiwa besar yang dialami juga perlu dimiliki.

Hal-hal inilah yang memungkinkan seorang sejarawan mampu melihat sebuah peristiwa dengan menggunakan berbagai lensa.

Epilog

Kriteria seorang sejarawan tersebut menurut saya perlu kita pahami sebagai seorang pembaca sejarah atau masyarakat umum yang menyaksikan peristiwa apa pun. Di tengah gempuran informasi hoaks serta pertarungan kekuatan untuk mempengaruhi opini publik, sikap kritis wajib dimiliki.

Kita semestinya tidak sekedar mampu membaca, memahami, lalu percaya begitu saja dengan informasi apapun yang kita terima. Jika hal itu yang pula yang diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah, bisa jadi sejarah menjadi salah satu pelajaran yang dicintai siswa.

5
0
Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Author

ASN Instansi Pemerintah Pusat alumni Program PhD of Accounting di Victoria University, Melbourne-Australia. Penulis yang satu ini memiliki gaya yang khas pada tulisannya yaitu “bersemangat” dan menginspirasi. Ana, panggilan khas sang penulis yang aktif ini, merupakan salah satu penggagas gerakan Birokrat Menulis.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post