Memahami Perkembangan Makna Reputational Risk

by | Nov 11, 2022 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

 

“It takes many good deeds to build a good reputation, and only one bad one to lose it.” — Benjamin Franklin,

“It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you’ll do things differently.” — Warren Buffett,

“Our reputation is more important than the last hundred million dollars.” — Rupert Murdoch,

Tiga quotes di atas, satu berasal dari Founding Father Negeri Paman Sam, satu quote berasal dari seorang investor, pengusaha, dan filantropis terkemuka, serta satu lagi berasal dari pemilik salah satu perusahaan media terbesar dan paling berpengaruh di dunia.

Rasanya, ketiganya cukup menggambarkan dan bisa mewakili quote-qoute lainnya tentang betapa pentingnya reputasi bagi organisasi di level apapun. Namun, banyak organisasi masih kesulitan membangun langkah terstruktur untuk mengelola reputasi mereka. 

Sebagai gambaran, pada tahun 2007, AON menyelenggarakan Global Risk Management Survey dengan responden 320 organisasi dari 29 negara, di mana sebagian besar responden sepakat bahwa reputasi merupakan risiko bisnis yang paling signifikan. Namun, hampir setengah dari populasi responden tersebut mengaku bahwa mereka tidak menyiapkan apa-apa untuk mengelolanya.

Enam tahun berikutnya, 81% perusahaan dari 15 negara yang menjadi responden dalam survei yang dilakukan oleh ACE Group pada tahun 2013 menjawab bahwa reputasi merupakan aset terpenting bagi mereka, tetapi mereka mengaku bahwa mereka kesulitan mengidentifikasi ancaman-ancaman terhadap reputasi dan tidak memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mengelolanya.

Dua survei yang diselenggarakan dalam jangka waktu yang berbeda menunjukkan hasil yang hampir sama. Tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa begitu sulit?

Perbedaan Definisi Lintas Bidang

Salah satu tantangan utama dalam upaya mengelola reputasi adalah masih beragamnya definisi reputasi. Christian Eckert dalam jurnalnya berjudul “Corporate reputation and reputation risk” yang dipublikasikan pada tahun 2017 mencoba mengulas berbagai definisi-definisi yang ada dan merumuskan definisi yang paling tepat menggambarkan reputasi organisasi.

Menurutnya, reputasi adalah representasi persepsi agregat yang spesifik dari para pemangku kepentingan atas tindakan masa lalu dan yang akan dilakukan oleh organisasi dibandingkan dengan standar atau ekspektasi pemangku kepentingan tersebut.

Berdasarkan pendefinisian tersebut, gap terkait implementasi muncul karena organisasi harus mampu mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi segala hal yang dapat berpengaruh kepada reputasi organisasi, baik dalam hal memberi pengaruh penguatan atau justru sebaliknya, atau disebut risiko reputasi (reputational risk).

Masalahnya, sama seperti reputasi yang memiliki beragam definisi karena digunakan di berbagai bidang pengetahuan, reputational risk juga dalam kondisi yang sama. Sebagai gambaran, menurut the Comité Européen des Assurances (CEA) and the Groupe Consultatif Actuariel Europeen, mereka mendefiniskan reputational risk sebagai:

“The risk that adverse publicity regarding an insurer’s business practices and associations, whether accurate or not, will cause a loss of confidence in the integrity of the institution. The reputational risk could arise from other risks inherent in an organization’s activities. The risk of loss of confidence relates to stakeholders, which include, inter alia, existing and potential customers, investors, suppliers, and supervisors.”

Atau menurut Basel Committee:

“Reputation risk is the risk arising from a negative perception on the part of customers, counterparties, shareholders, investors, debt-holders, market analysts, and other relevant parties of regulators that can adversely affect a bank‘s ability to maintain the existing, or establish new, business relationships and a continued access to sources of funding.”

Dua definisi di atas memiliki kesamaan karena keduanya menggambarkan bahwa reputational risk merupakan risk of risks, atau risiko yang muncul sebagai dampak dari risiko-risiko lainnya sebagai underlying risk event-nya.

Pemaknaan reputational risk sebagai risk of risks ini cukup lama diyakini banyak pihak, tetapi sayangnya menyebabkan pengelolaannya menjadi sulit dilakukan.

Hal ini karena dengan pemaknaan tersebut diasumsikan bahwa jika pengelolaan atas risiko-risiko organisasi (terutama risiko-risiko operasional) telah dilakukan dengan efektif maka reputational risk tidak akan terjadi.

Namun, benarkah demikian? Faktanya tidak, berbagai kejadian yang menyangkut reputasi organisasi kebanyakan tidak disebabkan oleh bisnis proses yang tidak dilakukan dengan benar, tetapi karena ada hal lain yang luput dari perhatian, yaitu persepsi pemangku kepentingan yang dapat dipengaruhi dari berbagai sumber informasi.

Untuk mendapatkan gambaran, pembaca bisa menengok kejadian Kontroversi Brent Spar yang melibatkan Shell UK vs Greenpeace. 

Melihat Lebih Dalam Pemaknaan Reputation Risk

Kembali ke definisi reputasi yang dikonstruksi oleh Eckert, beberapa kata kunci yang penting dan sangat menentukan pembahasan tentang reputational risk adalah pemangku kepentingan (stakeholders), realita (tindakan masa lalu dan yang akan dilakukan oleh organisasi), persepsi, dan ekspektasi.

Kata-kata kunci tersebut menggambarkan pola hubungan sebagai substansi dari reputasi, yaitu bagaimana pengelolaan hubungan antara organisasi dan para pemangku kepentingannya.

Danuta Szwajca dalam jurnalnya berjudul “Dilemmas of Reputation Risk Management: Theoretical Study” yang dirilis pada tahun 2018, menjelaskan bahwa dilema mendasar dari pengelolaan reputational risk adalah pengukuran dan penilaian risikonya. Prinsip dasarnya, hanya apa yang dapat diukurlah yang dapat dikelola. 

Szwajca berpendapat bahwa jika pemahaman tentang reputational risk yang digunakan adalah kesenjangan antara ekspektasi para pemangku kepentingan dengan persepsi mereka terhadap organisasi, maka pengukuran risiko yang dapat dirumuskan sebagai key reputational risk indicators (KRRI) adalah:

Tingkat ketidaksesuaian para pemangku kepentingan, dipahami sebagai disonansi yang dirasakan oleh para pemangku kepentingan, berdasarkan apa yang mereka harapkan dan apa yang mereka terima dari organisasi.

Untuk dapat mengukurnya maka organisasi perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi dan mengelompokkan para pemangku kepentingannya;
  2. Membuat database pemangku kepentingan utama;
  3. Mengidentifikasi aspek-aspek atau faktor-faktor di dalam organisasi yang menjadi perhatian dari para pemangku kepentingan;
  4. Menguji sejauh mana tingkat pemenuhan atas ekspektasi para pemangku kepentingan;
  5. Mengukur indeks ketidaksesuaian (disappointment index).

Metode pengumpulan data dilakukan melalui survei kualitatif berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi reputasi organisasi. Pengukuran dilakukan dengan fokus pada seberapa banyak pemangku kepentingan yang menilai bahwa atas faktor-faktor tertentu masih di bawah atau bahkan jauh di bawah ekspektasi mereka dibandingkan dengan jumlah responden.

Angka persentase ini akan menjadi dasar bagi organisasi untuk mengidentifikasi aspek-aspek apa saja yang perlu menjadi perhatian dan dilakukan langkah-langkah penanganan yang tepat.

Memperluas Cara Pandang Pemaknaan

Hal fundamental yang perlu menjadi perhatian, dalam perspektif pemangku kepentingan yang menjadi dasar penilaian mereka adalah persepsi dan ekspektasi, bukan realita. Jadi, bisa saja organisasi telah melakukan upaya-upaya yang benar, tetapi berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh pemangku kepentingan sehingga dinilai tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.

Artinya, reputational risk tidak hanya muncul dari proses bisnis organisasi yang tidak dilakukan dengan tepat, tetapi bisa juga muncul karena terdapat gap antara apa yang dilakukan organisasi dengan apa yang diketahui dan/atau dirasakan oleh pemangku kepentingan.

Realita dan persepsi tidak sejalan atau ada kesenjangan. Karena hal inilah definisi reputational risk sebagai risk of risks tidak sepenuhnya menjelaskan apa itu reputational risk. Sederhananya, organisasi perlu mengelola proses bisnis organisasinya dengan baik agar tidak memunculkan risiko yang dapat menjadi underlying risk event dari reputational risk.

Namun, di sisi lain organisasi juga harus mampu membangun hubungan dengan pemangku kepentingannya sehingga mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai, yang sesuai dengan kondisi sebenarnya, sebagai dasar pembentukan persepsi yang sesuai dengan realita. 

Di sisi lain, organisasi juga harus mengupayakan agar tidak terdapat kesenjangan yang signifikan antara persepsi dan ekspektasi dari para pemangku kepentingan ke organisasi. Oleh karena itu, dengan pemahaman pemaknaan reputational risk tersebut, organisasi bisa menyusun langkah-langkah kerja guna mengelolanya.

Pendapat Robert G. Eccles, Scott C. Newquist, dan Roland Schatz dalam artikel yang dipublikasikan di Harvard Business Review berjudul “Reputation and Its Risks” pada tahun 2007 menjadi sangat relevan.

Mereka merumuskan bahwa terdapat lima langkah untuk dapat mengelola reputational risk, yaitu: mengukur reputasi organisasi, mengevaluasi identitas/karakter organisasi, menutup/mempersempit gap antara persepsi-realita, memonitor perubahan ekspektasi, dan memastikan tata kelolanya di dalam organisasi.

4
0
Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Author

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post