‘Karut Marut’ Paradigma Pengambilan Keputusan Informasi Keuangan

by | Mar 4, 2021 | Birokrasi Akuntabel-Transparan, Birokrasi Efektif-Efisien | 4 comments

“Paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world.” (Patton, 1975)

Prolog: ‘Tahu Apa Kamu Tentang Paradigma

Ketika masa kuliah dulu, saya disuguhi materi tentang filsafat ilmu yang bagi kalangan akademisi rujukan utamanya adalah Jujun S. Suriasumantri. Pegangan wajib kami ialah Buku Filsafat Ilmu, dengan sampul warna biru tua. Seperti biasa, setibanya di ruang kelas filsafat sudah tersaji buku, laptop, dan kopi hangat di meja dosen.

Aroma kopi ini menjadi terapi, membuat suasana kelas bertambah nyaman. Bagi mahasiswa di kelas itu, bisa ikut menyeruput hidangan kopi yang memang sudah disediakan pengelola kelas juga menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Suatu hari sebelum kelas usai saya bertanya dengan nada kritik tentang paradigma akuntansi, pertanyaan singkat tapi cukup mengusik pikiran saya. Dosen pun menjawab dengan singkat pula, “Tahu apa kamu tentang paradigma”. Saya terdiam bersamaan dengan seisi ruangan yang menjadi hening, seakan detik jam berhenti sejenak dan kelas pun ditutup.

Di luar kelas sembari menghabiskan kopi, saya masih berharap ada teman menanggapi pertanyaan saya sekaligus membincangkan jawaban dosen tadi. Tapi, sama sekali tak ada respons, hingga saya ragu apakah benar tadi saya sedang bertanya ataukah hanya sebatas dialog imajiner. Kalau diingat-ingat memang sejak awal dosen menyampaikan materinya pikiran saya melanglang buana.

Saya jadi tersenyum sendiri dan membuat dua kesimpulan. Pertama: bahwa paradigma tidak menjadi fokus atau penting untuk dibicarakan, apalagi buat kami mahasiswa yang semuanya berprofesi sebagai PNS/ASN. Hal tersebut karena rutinitas birokrasi terpasung oleh praktik sistem kerja ala komando dan instan. Kedua: paradigma memang masih kedengaran ‘asing’, mungkin termasuk buat dosen saya. Ehem.

Paradigma Positivistik dan Timpangnya Pengambilan Keputusan

Diskusi para penggiat literasi di grup Birokrat Menulis menyoal pentingnya perubahan paradigma, atau lebih tepatnya pergeseran paradigma (shifting paradigm). Diskusi ini mengingatkan pengalaman 4 tahun lalu, pengalaman yang saya ceritakan di awal tulisan ini.

Paradigma, dapat dipandang dari beragam perspektif dan dari para tokoh. Saya sendiri lebih mudah memahami definisi yang disampaikan oleh Patton (1975) bahwa paradigma adalah “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world.”

Paradigma merupakan cara atau sudut pandang yang berlaku secara umum digunakan untuk mengurai dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan, misalnya masalah di bidang ekonomi, politik, budaya, hukum, dan kesehatan (termasuk pandemi covid yang melanda dunia saat ini). Sekedar menyegarkan ingatan kita, sejak abad ke-16 peradaban manusia didominasi oleh paradigma positivistik yang diperkenalkan oleh dua tokoh besar, Rene Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1642-1726).

Positivisme Cartesian dan Newtonian ini sama-sama berangkat dari kerangka filsafat materialisme. Ringkasnya, paradigma positivistik menyadari realitas sebatas apa yang dapat diobservasi, dilihat, dirasakan, sehingga diyakini dapat memberi kebermanfaatan.

Paradigma positivistik bisa dicontohkan sekaligus berbagi pengalaman dengan sahabat pemerhati dan pelaku kebijakan di pemerintah daerah dan di tingkat pusat, bahwa dalam konsep pemerintahan yang baik, pengambilan keputusan berpihak pada kepentingan masyarakat (service oriented). Tujuannya jelas, guna mendukung ketersediaan layanan dasar masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, keamanan, transportasi, dan lain-lain kebutuhan umum.

Namun, sering juga dijumpai praktik pengambilan keputusan khususnya yang bersumber dari ketersediaan dan penggunaan informasi keuangan tidak sesuai dengan tujuannya. Timpangnya pelayanan terjadi di daerah yang tingkat ekonomi masyarakatnya masih rendah, sedangkan belanja rutinitas pemerintah daerah setiap tahunnya bertambah karena menganut asas incrementalism.

Penyebab Ketimpangan

Ketimpangan yang dimaksudkan adalah terbukanya potensi atau ruang tidak terlayaninya masyarakat karena beberapa hambatan, antara lain:

a) akses layanan yang memiliki umur ekonomis atau pemanfaatan yang tidak lama, karena tidak memiliki kualitas yang baik (anggaran dikorupsi, fee proyek, mengurangi volume, atau tidak memenuhi spesifikasi teknis);

b) informasi dan kinerja pengelolaan keuangan daerah yang sulit diakses, tidak transparan dan akuntabel, karena adanya kekhawatiran bahwa informasi tersebut akan digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu;

c) pemberian layanan publik yang tidak optimal karena tidak tersedia sumber daya yang memadai sekaligus perilaku aparatur yang pragmatis;

d) kebijakan pemerintah yang kurang tepat sasaran dan tidak memberdayakan, misalnya distribusi bantuan sosial hanya diberikan kepada masyarakat tertentu yang telah memberikan dukungannya secara politis pada pemilihan kepala daerah.

Salah satu contoh yang “menggelikan”, terdapat program pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan dengan memberikan bantuan natura seperti mie instan, gula pasir, telur, minyak goreng, beras, dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Program tersebut dilakukan setiap triwulan dengan menyerap anggaran yang cukup besar.

Keluhan masyarakat sangat terasa bahwa program pemerintah tersebut tidak berbeda dengan kegiatan-kegiatan bakti sosial yang biasa dilakukan oleh kelompok atau komunitas paguyuban, majelis taklim, ataupun para calon legislatif. Pendekatan program tersebut dianggap tidak memberdayakan bahkan menciptakan ketergantungan sehingga tidak memberi dampak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan.

Old paradigm dalam pengambilan keputusan

Informasi laporan keuangan digunakan sebagai alat komunikasi untuk menunjukkan kinerja manajemen (pemerintah daerah) dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan oleh masyarakat. Informasi laporan keuangan yang baik dituntut tidak hanya dapat mencerminkan kinerja (realisasi) keuangan saja tetapi juga dituntut dapat menggambarkan dampak kebijakan dan prospeknya di masa mendatang.

Sering dijumpai para pengambil kebijakan di pemerintahan daerah mengabaikan betapa penting dan bermanfaatnya informasi keuangan. Istilah ‘zona nyaman’ atau nyaman dengan ‘kebiasaan lama’ (old paradigm) karena tradisi tata kelola pemerintahan yang berkembang berorientasi pada output sebagai indikator kesuksesan kinerja atas penyerapan anggaran.

Alhasil, informasi keuangan yang disajikan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban keuangan selama satu periode hanya merupakan formalitas tahunan, dilaporkan kemudian direviu dan audit untuk memberi jaminan bahwa penyusunan dan pelaksanaannya telah sesuai dengan mekanisme atau aturan PP 71/2010 tentang SAP, PP 60/2008 tentang SPIP dan kebijakan akuntansi lainnya.

Di sisi lain peran pengambil kebijakan (kepala daerah) lebih mengutamakan janji-janji politik sesuai pemaparan visi dan misinya. Menjalankan mekanisme pemerintahan yang transaksional, meskipun bertentangan dengan kebijakan informasi keuangan dengan tujuan mempertahankan popularitas dan nama baiknya di masyarakat.

Cara ini, menjadikan informasi laporan keuangan tidak lagi objektif menggambarkan  kinerja pemerintah sehingga terabaikan dan tidak dijadikan pedoman dalam penyusunan kebijakan. Pola kebijakan tersebut akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pemerintahan dan tidak membutuhkan waktu yang lama akan mengurangi kepercayaan publik.

New Paradigm, Berubah!

Pelayanan dan cara pengambilan keputusan pemerintah harus berubah, tidak cukup hanya menerapkan sistem akuntabilitas laporan keuangan dan kinerja pemerintah seperti yang diamanatkan oleh aturan perundang-undangan. Namun, yang terpenting adalah merubah paradigma para pengambil keputusan atas informasi keuangan terhadap pelayanan pemerintah dari orientasi output ke outcome.

Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Tujuannya untuk menentukan seberapa jauh output suatu aktivitas (produk atau jasa) telah memenuhi keinginan masyarakat yang dituju.

Outcome adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan. Contoh, jumlah bibit unggul yang dihasilkan dari suatu kegiatan adalah output, sedangkan besar produksi padi/ha adalah *outcome-*nya.

Artinya, kesuksesan program pemerintah tidak diukur dari jumlah output, tetapi dapat diukur dari seberapa jauh pemanfaatan dan pemberdayaan realisasi programnya. Lanjut, hasilnya dibandingkan dengan standar kepuasan atau kebutuhan layanan masyarakat.

Mengubah paradigma para pengambil kebijakan atas informasi keuangan membutuhkan komitmen dan sumber daya aparatur yang berintegritas. Namun, bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan dengan melihat dan belajar dari penerapan tata kelola pemerintahan di daerah atau negara yang lebih berkembang.

Pentingnya menjadikan informasi keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan ialah karena mampu membawa pengaruh yang berbeda-beda terhadap potensi dan risiko di masa mendatang. Misalnya, informasi keuangan yang tersaji dalam neraca akan digunakan untuk membuat keputusan ekonomi mengenai rencana atau strategi keberpihakan terhadap aspek layanan tertentu.

Sedangkan untuk mengetahui posisi keuangan dan kemampuan pemerintah dalam menghasilkan pendapatan dapat melihat laporan operasional. Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan sebagai rujukan para pemakai dalam mengambil keputusan ekonomi menilai progres kinerja keuangan yang sehat dan seimbang, dan apakah informasi yang tersaji sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Apabila telah sesuai, maka pemerintah dapat menilai kemampuannya dalam menghasilkan pendapatan dan memenuhi berbagai kewajibannya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik. Pemerintah daerah juga perlu memahami hubungan dan fungsi pihak-pihak yang terlibat atau terkait dengan informasi keuangan.

Pertama, untuk pihak intern atau Kepala Daerah. Informasi akuntansi dan keuangan digunakan untuk menyusun perencanaan dan pengawasan terhadap operasional pemerintahan, mengevaluasi kemajuan yang dicapai dalam usaha mencapai tujuan, dan melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.

Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan informasi akuntansi untuk menetapkan kebijakan penerimaan, perencanaan dan kebijakan lainnya.

Kedua, untuk pihak ekstern. Pemerintah tidak dapat mengabaikan keberadaan dan keterkaitannya dengan pihak-pihak di luar organisasi pemerintahannya, karena salah satu tugas dan kewajiban pemerintah adalah memaksimalkan peran aktif semua pihak yang sejalan dengan mekanisme penataan pemerintahan. Pihak-pihak yang dimaksud adalah  para investor atau calon investor, organisasi non pemerintah, media, institusi swasta, dan masyarakat umum.

Demikian halnya apabila pengambilan keputusan didasarkan pada informasi keuangan, maka tercipta keputusan yang mementingkan asas manfaat untuk jangka waktu yang relatif lama. Khususnya pengalokasian dan penggunaan anggaran akan lebih tepat sasaran karena pertimbangan keputusan didasarkan pada pertimbangan obyektif kinerja keuangan pemerintahan, bukan karena motivasi politis, transaksional, pragmatisme, dan popularitas semata.

Apabila proses pengambilan keputusan seperti ini dilakukan, harapan terhadap penataan pemerintahan di berbagai sektor dapat menghasilkan kemajuan yang akan mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik. Terlebih lagi tujuan utama pemerintah sebagai pelayan publik akan terwujud.

Epilog : Paradigma yang Berorientasi Outcome

Pengambilan keputusan oleh pemerintah daerah tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab sebagai pelayan publik. Paradigma baru pengambilan keputusan harus diseriusi untuk menghindari keputusan-keputusan berlatar belakang kepentingan yang tidak populis.

Akhirnya, dibutuhkan pemahaman mendalam tentang paradigma itu sendiri sekaligus menggugah kesadaran dan komitmen para pihak pengambil keputusan mengedepankan objektivitas informasi keuangan sebagai alat komunikasi kinerja manajemen pemerintah daerah.

Tercapainya tujuan pemanfaatan informasi keuangan pemerintah daerah dapat dilihat dari sejauh mana keberpihakan program dengan tingkat keberhasilannya. Tidak hanya diukur dari jumlah output (keluaran) berupa barang/jasa, tetapi juga diukur dari kebermanfaatan hasil tersebut memberi dukungan kepedulian terhadap pelayanan publik (orientasi outcome).

Sampai di sini saja kinerja kita masih tertinggal, belum lagi berbicara tentang impact dan benefit nya secara berkelanjutan. Cita-cita luhur bangsa menyejahterakan rakyatnya terasa masih harus menempuh jalan cadas, terjal, dan berlumpur. Atau bisa juga, paradigma positivistik tidak cukup, kita butuh elaborasi dengan paradigma lain, yaitu interpretatif, kritis, posmodernisme, atau paradigma profetik.

Kalau benar demikian, kita rehat dulu sambil menikmati kopi yang masih hangat. Berharap tanggapan dari sahabat literasi Birokrasi Menulis terkait elaborasi dan kesimpulan yang saya ajukan.


1
0
Muhammad Naim ◆ Active Writer

Muhammad Naim ◆ Active Writer

Author

Auditor Muda, Inspektorat Daerah Kota Parepare, Sulawesi Selatan. ‘penikmat kopi dengan segala rasa’

4 Comments

  1. Avatar

    Terima aksih. Bener, perubahan jg TDK mesti cepat, minimal ada pergeseran istilah atau maknanya di luaskan/dipersempit. Tapi pengelolaan pemerintahan kini seakan mundur, sehingga butuh konstemasi ‘loncatan’ agar implikasinya lebih ‘terasa’.

    Reply
  2. Cakbro Cakbro

    Menurut saya Kemenkeu sudah banyak berbuat, terutama adanya peran monev melalui pemantauan IKPA (Indikator Kinerja Pelaksanan Anggaran) bagi K/L dan Lembaga, sistem dan aplikasinya. Terutama adanya indikator tambahan dengan mengaitkan unsur output sebagai bagian indikator.
    Sebenar ini permasalahan klasik, dimana Kemenkeu selaku pengelola keuangan lebih fikus pada anggaran dan akuntabilitasnya. Disisi lian, Kemenpan RB memantau kinerja output bagi K/L dan Lembaga melalui SAKIP dan LKJIp bagi pelaksana kegiatan di instansi, yang lebih berfokus pada output daripada anggarannya.
    Jika kedua instansi bisa mensinergikan maka akan berdampak positif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang katanya berbasis performance akan tercapai secara maksimal dan tidak sekedar pemenuhan persyaratan belaka.

    Reply
  3. Avatar

    Kalau ingin merubah paradigma secara radikal mungkin bisa dari istilah / nama. Konon menurut seorang budayawan, bung Hatta kurang setuju menggunakan istilah “Pemerintah” sebagai padanan kata Government.

    Beliau lebih pas menggunanakan istilah pengurus. Logikanya masa Rakyat bayar pajak untuk menggaji orang-orang yang merintah-merintah mereka. Logikanya kekuasaan ada di tangan rakyat. Presiden, gubernur walikota kan “outsorcing” 5 paling lama 10 tahun. Jadi lebih pas yang ada: PENGURUS REPUBLIK INDONESIA. bukannya PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA.

    Implikasinya gak akan ada istilah: Bantuan pemerintah, Bantuan Presiden, Bantuan Gubernur, Bantuan Bupati. Yang diberikan kan bukan dari pribadi pejabat ybs. Melainkan pejabat2 itu mengurusi, membagi2 hak masyarakat yang berasal dari pajak masyarakat dan berasal dari kekayaan bumi nusantara bagi rakyatnya yang berdaulat secara adil.

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih. Bener, perubahan TDK mesti cepat minimal ada pergeseran apakah istilah atau makna yg diluaskan/disempitkan.

      Pengelolaan negara agaknya mundur dri ekspektasi sebuah bangsa yg besar, banyak pelajaran dri pengelolaan di masa lalu, tapi kesalahan/kejahatan kerap berulang.

      Negara/pemerintah/pengurus butuh konstemasi ‘loncatan’ berpikir, mental, perilaku, agar implikasinya lebih ‘terasa’ dan bermanfaat.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post