Ironi Krisis Ketahanan Pangan Kita

by | Oct 20, 2020 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Belum lama ini keluar peringatan dari FAO (Food and Agriculture Organization), yakni badan pangan dan pertanian dunia [1], bahwa pada April s.d. Mei 2020 pandemi corona telah melumpuhkan sektor-sektor perekonomian hingga dapat memicu terjadinya krisis pangan di berbagai negara dan pasar dunia akan semakin ketat. Oleh sebab itu, ada urgensi pemerintah untuk merancang dan menerapkan strategi yang tepat dalam mengatur pasokan dan distribusi pangan di dalam negeri.[2]

Krisis Pangan Indonesia

Peneliti Agraria LP3ES Iqra Anugrah mengatakan bahwa dampak COVID-19 berada di level mengkhawatirkan dalam perspektif agraria, dan korban pertamanya pasti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan.[3]

Berdasarkan data Indeks Ketahanan Pangan 2018, saat ini masih ada 81 dari 416 kabupaten yang dikategorikan rentan pangan prioritas 1-3. Sebagian besar berada di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, dicirikan oleh rasio konsumsi per kapita terhadap produksi bersih per kapita yang amat tinggi, tingginya balita stunting sekitar 33,72%, dan warga miskin sekitar 23,19%.

Juga krisis potensial yang terjadi pada 7 dari 98 kota yang dikategorikan sebagai kota rentan pangan prioritas 1-3, di antaranya Subulussalam dan Tual (prioritas 1), Gunung Sitoli, dan Kota Pagar Alam (prioritas 2), dan Tanjung Balai, Lubuk Linggau dan Tidore Kepuluan (prioritas 3).

Kota-kota tersebut dalam kondisi taraf pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran yang sangat tinggi, akses rumah tangga pada air bersih yang masih rendah –yakni sekitar 42,45%, dan tingginya angka balita stunting sekitar 29%.[4]

Tidak hanya itu, dilansir oleh ADB dan IFRI, pada tahun 2016 hingga 2018 terdapat 22 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan dan beberapa dari mereka menderita penyakit kurang gizi alias malnutrition.[7] Dari sini tampak bahwa status pangan mempengaruhi aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat.

Ironi Sampah Makanan

Di balik kondisi rawannya krisis pangan di Indonesia, sampah makanan (food waste) menduduki peringkat pertama kategori sampah di Indonesia. Tentu saja hal itu menjadi sebuah ironi tersendiri.

Meninjau data komposisi sampah tahun 2018, jenis sampah yang paling banyak adalah sampah sisa makanan yakni 44%. Sisanya adalah plastik 15%, kertas 13%, kain atau tekstil 3%, logam 2%, karet atau kulit 2%, kaca 2%, dan lainnya 8%.

Sampah-sampah tersebut dihasilkan oleh rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar yakni 62%, lalu pasar traditional 13%, pusat perniagaan 7%, kantor 5%, kawasan 4%, fasilitas publik 3%, dan sisanya 6% berasal dari lainnya.[5]

Adapun data dari Badan Ketahanan Pangan Kementan dan sumber lain, bahwa sampah makanan orang Indonesia jika dikumpulkan dalam satu tahun, jumlahnya mencapai 1,3 juta ton. Dari total food waste 1,3 juta ton tersebut, sebanyak 113 kilogram per tahun dihasilkan dari rumah tangga atau rata-rata 28 kilogram per tahun per orang.

Limbah makanan tertinggi yakni jenis sayuran 7,3 kg, buah-buahan 5 kg, tempe-tahu-oncom 2,8 kg, umbi dan jagung 2,4 kg dan beras 2,7 kg. Sementara yang paling sedikit ditemukan dalam sampah makanan yakni kacang-kacangan 0,4 kg, telur 1 kg, ikan dan seafood 1,5 kg, daging 1,6 kg, susu dan olahannya 1,7 kg serta makanan lainnya 1,8 kg. Bahkan, jumlah sampah makanan pun meningkat selama bulan puasa dan lebaran, yaitu lebih dari 10%.[6]

Data The Economist Intelligence Unit tahun 2016 yang menunjukkan bahwa, Indonesia menjadi penyumbang sampah makanan terbesar ke-2 di dunia dengan memproduksi rata-rata 300 kg sampah makanan setiap tahunnya.

Apakah sampah makanan itu sudah betul-betul sampah? Apakah banyaknya sampah makanan tersebut adalah cerminan ketidak-pahaman masyarakat terhadap kondisi yang menghimpit saudara-saudara di negerinya sendiri?

Krisis Petani

Di samping permasalahan sampah makanan yang menjadi ironi di tengah ancaman krisis pangan, terdapat permasalahan lain yang juga dapat berkotribusi terhadap swasembada dan ketahanan pangan kita, yakni krisis petani.

Selain soal pembiayaan pertanian, Indonesia ditengarai akan menghadapi krisis petani pada 10 hingga 20 tahun ke depan. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa jumlah petani pada 2025 nanti hanya berkisar 6 juta orang.

Menurut Haning (Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI), kurang minatnya pemuda untuk bekerja di sektor pertanian disebabkan oleh lahan, biaya pertanian, hingga pendapatan yang tidak menentu.

Urbanisasi yang tinggi salah satu faktor penyebabnya karena pemuda enggan bersusah payah bekerja di sektor pertanian. Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Vanda Ningrum menambahkan, dari 71% penduduk Indonesia yang bergantung pada sektor pertanian, hanya 3% saja anak petani yang mau meneruskan pekerjaan orang tuanya di sektor pertanian.

Hal itu dipengaruhi oleh modernisasi desa. Menurut Vanda, ancaman krisis regenerasi petani menyebabkan 61% petani di Indonesia usianya di atas 54 tahun dan jumlah petani pun terus menurun.

Lebih jauh Vanda menerangkan, masalah yang dihadapi petani diantaranya terkait pasar, pola produksi dan kepastian pendapatan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari idealnya seorang petani harus memiliki lahan sedikitnya 9 Ha. Namun menurut Vanda, kondisi petani Indonesia saat ini hanya memiliki lahan rata-rata 0,6 Ha.

Masalah krusial lagi, bahwa 97% petani Indonesia bergantung pada harga tengkulak. Hal ini, disebabkan harga dari Bulog (Badan Urusan Logistik) belum menyentuh ke tengah masyarakat petani kita. Tentu saja, ini menyebabkan pendapatan petani di Indonesia menjadi kecil.[10] Lantas, bagaimana bentuk penghargaan kita terhadap jasa para petani? Lebih jauh lagi, bagaimana nasib ketahanan pangan kita selanjutnya?

Ikhtiar dan Tauladan

Setiap masalah ada solusinya, pelbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak terkait, termasuk para peneliti yang melakukan riset dan inovasi, pejuang di sektor agraria yang mencoba mencari alternatif solusi, pemerintah yang melakukan analisis secara komprehensif sehingga dapat membuat kebijakan yang dinilai mampu mengatasi persoalan krisis, dan seterusnya.

Pada dasarnya, tiap individu mampu berusaha sesuai kemampuannya masing-masing dalam menghadapi persoalan bersama ini.

Dalam Islam misalnya, ibadah puasa hendaknya tidak hanya sekedar membentuk pengendalian diri pada pribadi seorang muslim, melainkan juga harus diaktualisasikan sebagai kekuatan pendorong untuk melawan faktor-faktor penyebab terjadinya krisis pangan, seperti perilaku yang tidak menyia-nyiakan kenikmatan bisa makan minum, berbagi makanan dengan yang membutuhkan, dan lainnya.[11]

Selain itu, pernah dicontohkan pada masa Khalifah Umar R.A. saat terjadi krisis, beliau berhemat dan bergaya hidup sederhana, sehingga salah satunya beliau mampu merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum muslimin.

Beliau kemudian mengeluarkan kebijakan dengan cepat dan tepat lewat kajian yang komprehensif. Agar kebijakannya bisa berjalan dengan optimal, khalifah mengarahkan seluruh struktur, perangkat negara, dan semua potensi yang ada untuk segera membantu masyarakat yang terdampak.

Khalifah Umar R.A. juga tidak pernah berpangku tangan atau sekedar perintah sana perintah sini. Beliau mendirikan posko-posko di berbagai tempat untuk memastikan kebutuhan pangan rakyatnya benar-benar terkontrol.

Di era kekhilafahan beliau juga, Baitul Maal dimaksimalkan fungsinya untuk rakyat dapat mengambil kebutuhan pangan secukupnya. Jika persediaan Baitul Mal kosong, untuk menutup kebutuhan akan ditarik pajak yang tidak memberatkan dari para agniya atau orang-orang kaya. Dengan demikian, semua masyarakat didorong bersedekah untuk membantu sesama.[12]

Hal-hal demikian hendaknya dapat menjadi tauladan kehidupan kita bersama, untuk melakukan pelbagai ikhtiar yang dibarengi dengan do’a. Wallahu a’lam bish showab.

Substansi artikel ini pernah tayang di: https://jaringansantri.com/darah-dan-rasa-sisi-yang-disepelekan-dan-sisi-yang-diperjuangkan/

Referensi:
[1] https://news.detik.com/berita/d-4999551/anggota-dpr-perlu-badan-pangan-antisipasi-krisis-di-tengah-wabah-corona
[2] https://majalah.tempo.co/read/opini/160223/editorial-krisis-pangan-di-tengah-pandemi-corona
[3] https://nasional.sindonews.com/read/8429/15/wabah-corona-pemerintah-diingatkan-soal-krisis-pangan-1587949469
[4] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200503093852-93-499500/perang-lawan-corona-dan-benteng-terakhir-krisis-pangan
[5] https://tekno.tempo.co/read/1316095/sampah-terbesar-di-indonesia-sisa-makanan-dari-rumah-tangga/full&view=ok
[6] https://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahun
[7] https://www.suara.com/yoursay/2020/01/15/150301/indonesia-yuk-intip-fakta-fakta-sampah-makanan
[8] Policy Paper Bina Desa “Krisis Pangan dan Fenomena Negara Gagal”, editor: Sabiq Carebesth dan Syaiful Bahar
[9] Monalisa A. C., Najibah N. K. (2017). “Kuliner Nusantara Sebagai Jati Diri Bangsa”; Karawang: Universitas Singaperbangsa.
[10] http://lipi.go.id/lipimedia/KRISIS-PANGAN-ANCAM-INDONESIA/19061
[11] http://tegas.co/2020/04/25/berita-video-krisis-pangan-di-tengah-pandemi-islam-solusinya/

0
0
Taufik Hidayat ▲ Active Writer

Taufik Hidayat ▲ Active Writer

Author

Anak dari Pak A. Juwahir & Bu Romlah. Berasal dari Cirebon.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post