Insentif Bagi Pesepeda di Indonesia: Perlukah?

by | Aug 3, 2020 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Di beberapa kota di negeri ini, aktivitas bersepeda meningkat selama masa pandemi Covid-19. Institute for Transportation and Development Policy (ITDP, 2020) mencatat kenaikan penjualan sepeda bahkan melonjak hingga 1000%. Sejalan dengan permintaan yang terus bertambah, harga sepeda ikut merangkak naik. Banyaknya postingan di media sosial untuk bergaya hidup sehat dengan bersepeda, baik secara individu maupun berkelompok, ikut menjadi pemicu.

Sebelum ngehits di perkotaan beberapa tahun ini, bersepeda sebenarnya sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu. Namun, bersepeda dalam keseharian lebih banyak dijumpai pada masyarakat di pedesaan –seperti ketika pergi ke ladang, kebun, atau ke sekolah.

Bulan lalu muncul berita bahwa terhadap sepeda akan dikenakan pajak. Namun, hal tersebut dibantah oleh Menteri Perhubungan. Sebab, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan  menyebutkan bahwa sepeda dikategorikan sebagai kendaraan tidak bermotor. Diperlukan pengkajian ulang jika ingin mengenakan pajak terhadap pesepeda.

Melihat tren bersepeda saat ini, tampaknya telah terjadi momentum perubahan perilaku masyarakat dalam skala besar. Fenomena perubahan perilaku berupa peningkatan kegemaran bersepeda diharapkan sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan lingkungan.

Kita sadari bersama bahwa bersepeda dapat mengurangi polusi udara yang kurang baik akibat pembuangan gas emisi dari kendaraan bermotor atau mobil. Menanggapi hal ini, maka sebaiknya perbaikan infrastruktur yang pro-lingkungan bagi pesepeda mulai menjadi bagian dari aksi pemerintah di masa depan yang berkelanjutan (Kaaronen R & Strelkovskii N, 2020). 

Beberapa negara mengambil kebijakan untuk mendukung kegiatan positif bersepeda. Salah satunya dengan kebijakan pemberian tunjangan, bonus, atau insentif yang dianggap dapat memacu semangat masyarakat. Sebab, kegiatan bersepeda memberikan manfaat tidak langsung menurunkan polusi udara, mengurangi kemacetan, menyehatkan badan, dan sebagainya.

Mari tengok kebijakan insentif ini pada beberapa negara. Perancis, misalnya, memberikan insentif 50 Euro atau setara Rp800 ribu. Italia memberikan insentif setara Rp8 juta. Selandia Baru sebesar Rp72 ribu per hari, sedangkan Belanda memberikan kompensasi pajak bagi pesepeda sebesar Rp31.90 per kilometer.

Negara tetang kita, Filipina, memberikan tunjangan pajak atau kupon makanan bagi orang yang menggunakan sepeda. Kemudian, kembali ke Eropa, Belgia memberikan kompensasi pajak bagi pesepeda sebesar Rp3.246 per kilometer jarak bersepeda yang ditempuh (tribunwiski, 2020).

Negara-negara tersebut dilansir telah merekonstruksi infrastruktur jalanan agar para pesepeda mendapat tempat bersepeda yang nyaman.

Tidak hanya pemerintah di beberapa negara tersebut, perusahaan swasta juga turut andil memberikan insentif bagi karyawan yang menggunakan sepeda. Hal ini merupakan bentuk penghargaan terhadap karyawan yang peduli lingkungan dan kesehatan.

Simbiosis mutualisme antara pemerintah dan swasta pada beberapa negara tersebut menunjukkan adanya upaya menerapkan prinsip Sustainability Development Goals (SDGs) –yang dihubungkan dengan tren perilaku masyarakat. Kebijakan ini mengutamakan manfaat jangka panjang bagi lingkungan dan kesehatan.

Nah, bagaimana jika hal ini diterapkan di Indonesia dengan menangkap momentum tren bersepeda saat pandemi Covid-19? Saya rasa ini adalah ide yang sangat brilian.

Saat ini pemerintah pusat maupun daerah masih berfokus untuk menekan jumlah angka terkonfirmasi Covid-19 dengan mengucurkan anggaran di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Apakah mungkin tren perilaku berskala besar yang terjadi pada masyarakat dapat menjadi bahan untuk menarik minat para investor?

Investasi ini setidaknya diperlukan untuk membangun infrastruktur jalan yang ramah sepeda. Begitu pentingnya, hingga infrastruktur bagi pesepeda di Indonesia ini merupakan kebutuhan masyarakat yang sudah seyogyanya difasilitasi pemerintah atau dengan bantuan dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan swasta.

Dengan demikian, baik pemerintah maupun swasta dapat memperoleh citra SDGs dengan label ramah lingkungan dan peduli kesehatan. Bagi masyarakat tentunya gebrakan ini merupakan inovasi dan kabar baik yang menyenangkan.

Salah satu contoh sederhananya adalah insentif bagi masyarakat pekerja yang melakukan pergerakan antarwilayah, di Jabodetabek mereka dikenal sebagai kaum commuters. Para pegawai yang bersepeda mendapat insentif atau tambahan bonus dengan menghitung jarak rumah dan kantor –dengan tarif yang telah ditentukan serta diatur dalam sebuah regulasi.

Semoga kesiapan pemberian insentif tidak hanya sebagai wacana, namun benar-benar dapat terealisasi dan menjadi prioritas untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Fenomena bersepeda perlu disikapi dengan bijak, mengingat situasi yang memang menuntut masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan umum, sekaligus dampak bersepeda yang luar biasa terhadap lingkungan maupun kesehatan.

Namun begitu, untuk menjaga misi dari bersepeda demi kesehatan, maka protokol kesehatan untuk menjaga jarak dan tidak berkumpul dalam jumlah besar masih perlu menjadi perhatian.

Bagaimanapun, semangat bersepeda tak boleh melenakan kita dari fakta bahwa pandemi maish terjadi. Jangan sampai terjadi penularan yang signifikan dari komunitas bersepeda atau bersepeda.

0
0
Resha Dwi Ayu Pangesti Mulyono ◆ Active Writer

Resha Dwi Ayu Pangesti Mulyono ◆ Active Writer

Author

Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Jember

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post