Elegi Fungsi Tata Usaha di Era Penyederhanaan Birokrasi

by | Apr 27, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Penyederhanaan birokrasi telah terjadi di negeri ini. Sudah begitu banyak jabatan Kepala Seksi, Kepala Bidang, atau Kepala Sub Direktorat yang hilang. Ide ini sebenarnya revolusioner karena kadang-kadang eselonisasi itu memang bikin struktur kerja jadi sulit.

Saya dapat cerita dari seseorang yang unit kerjanya naik pangkat dari Eselon II ke Eselon I dan dirinya merasa secara pekerjaan ada lebih banyak fleksibilitas pada masa lalu, walaupun tentu sebanding dengan lebih banyak power di masa kini. Meskipun demikian, idenya menjadi agak bikin kasihan saat dieksekusi.

Krisis Pengendalian: Terbelit Lakban Sendiri

Mari kita lihat dulu kenapa sih sebenarnya struktur yang banyak itu muncul. Mary Jo Hatch dalam bukunya Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives memaparkan tentang siklus hidup organisasi.

Suatu organisasi itu pada dasarnya muncul dalam tataran entrepreneur untuk pertama kali. Sayangnya, tidak semua pemimpin pada level ini seciamik dan secakap Steve Jobs atau Bill Gates. Maka, muncul krisis kepemimpinan yang mendorong kebutuhan manajemen profesional sehingga organisasi naik pangkat ke level kolektif.

Dalam proses kolektif muncul kelompok kerja namun pengambilan keputusan masih ada pada manajemen dan kadang-kadang menciptakan bottleneck. Maka muncul krisis otonomi yang menaikkan level organisasi ke tingkat bernama delegasi.

Pada titik ini, pengambilan keputusan mulai terdesentralisasi dan kadang-kadang tidak sesuai dengan kehendak manajemen. Dengan demikian, perlahan terjadi krisis pengendalian yang mendorong organisasi sampai pada level formalisasi atau yang sering kita kenal sebagai birokrasi.

Nah, krisis yang tercipta pada kondisi birokrasi adalah red tape crisis atau sederhananya terbelit lakban yang dipasang sendiri. Pada perspektif inilah penyederhanaan birokrasi muncul dengan mulai mendorong terciptanya redistribusi tugas ke dalam kelompok dengan cara yang komprehensif sehingga tercipta proses kolaboratif.

Tata Usaha: Alas Kaki dari Seluruh Fungsi

Ya, semuanya tampak indah dalam penyederhanaan birokrasi apalagi pada unit-unit yang sifatnya sangat teknis. Semua urusan menjadi cukup lentur digarap sampai kemudian kita harus melirik satu fungsi yang harus menjadi alas kaki dari seluruh fungsi inti organisasi: tata usaha (TU).

Sebagai contohnya: Pengisian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP)? Tata usaha harus paham terlebih dahulu. Bahkan, kadang-kadang harus mengembangkan matriks peran dan hasil sendirian. Urusan arsip, absensi apel, cuti, MySAPK, LHKPN, dan segambreng lainnya?

Ketika semua tidak peduli, maka fungsi tata usaha yang berurusan. Ada mitra kerja yang kemalangan dan kudu pesan bunga papan? Tata usaha juga yang ketiban.

Permasalahannya adalah pelaksanaan fungsi TU kini telah bergeser pasca penyederhanaan birokrasi. Dulu, fungsi TU itu dinaungi dalam ruang lingkup pejabat Eselon IV bertajuk Kepala Sub Bagian Tata Usaha. Sekurang-kurangnya, ada insentif yang melekat pada jabatan itu walaupun tentu tidak seberapa dibandingkan beban dan cercaan yang harus diterima.

Sekarang? Sebagian unit kerja memang menyisakan fungsi tata usaha sebagai struktur yang tersisa. Akan tetapi, sebagian lainnya tidak melakukannya.

Walhasil, fungsi tata usaha harus disejajarkan dengan core business unit kerja dalam wujud tim kerja yang dipimpin oleh Pejabat Fungsional tingkat Madya. Gawatnya, seringkali fungsi Kasubag TU ala-ala alias Koordinator atau Sub Koordinator TU itu ditimpakan pada Pejabat Fungsional Pertama.

Bayangkan rasanya punya tunjangan kinerja level pertama, tapi kerjaan mendekati madya. Sangat wajar untuk para pengemban jabatan tata usaha tanpa jabatan struktural itu untuk meratap bukan?

Apalagi, seringkali para pemegang beban itu sebenarnya punya JF tersendiri dan tentunya angka kreditnya harus dipenuhi agar karirnya bisa maju walau perlahan-lahan. Gawatnya, seringkali JF-nya itu sebenarnya JF core business organisasi. Hanya saja, karena dia yang ketiban jadi dia mengurusi orang lain memperoleh AK, sementara dirinya sendiri tidak dapat apapun.

Pekerjaan yang Banyak tapi Disepelakan

Pekerjaan tata usaha itu tampak kecil-kecil namun buanyaaaak sekali dan harus diurai satu per satu, sehingga urusan AK itu jadi terlupakan dan kerap terabaikan. Tidak mengherankan jika karir sang pemegang posisi TU tadi jadi stuck seutuhnya.

Masalah paling suram dari semuanya itu adalah begitu mudahnya orang-orang untuk ngata-ngatain kerjaan tata usaha sebagai ‘nggak kerja’, ‘gitu-gitu doang’, ‘mbok ya bla-bla-bla’, ‘harusnya kamu bisa bla-bla-bla’ atau hal-hal lain yang sejenis. Padahal, kalau orang-orang yang ngatain itu disuruh pegang urusan tata usaha, langsung menolak pada kesempatan pertama.

Iya, ngatain memang merupakan pekerjaan yang paling mudah untuk dilakukan tanpa peduli bahwa orang yang dikatain itu sudah bekerja setengah modar dan tetap saja dikatain. Benar-benarlah bahwa fungsi tata usaha di era penyederhanaan birokrasi ini menjadi tempat yang pas untuk meratap.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sangat mungkin ketika fungsi ketatausahaan ini melebur dalam skema tim kerja. Toh sudah ada e-Government level intern. Pengajuan pangkat dan lain-lain sebenarnya bisa dilakukan secara sadar diri oleh orang yang memang ingin naik pangkat.

Tidak perlulah fungsi tata usaha harus mengejar-ngejar orang untuk mengumpulkan DUPAK atau dokumen untuk kenaikan pangkat dan sejenisnya, padahal orang TU-nya sendiri juga nggak dapat benefit apapun untuk karirnya sendiri.

Untuk mendukung fungsi persuratan juga sudah ada Srikandi Versi 2 yang bahkan ada skema notifikasi ke WhatsApp-nya. Soal beli-beli Alat Pengolah Data juga bisa diserahkan ke Pejabat Pengadaan dan Pejabat Pembuat Komitmen. Bisa banget untuk kita tidak perlu manja lagi sebagaimana dulu ada Kasubag Tata Usaha.

Level Kolaborasi, Empati, dan Apresiasi

Sebenarnya, kita tidak perlu lagi harus selalu merasa bahwa tata usaha itu nggak kerja karena memang kerjaannya sejatinya bisa diambil oleh PNS masing-masing asalkan sistemnya jelas. Dalam konsepsi siklus hidup organisasi yang dibahas pada awal tulisan ini, model demikianlah yang terjadi dalam level kolaboratif yang mengandalkan team work seutuhnya serta fokus pada kepercayaan.

Sekarang bagaimana mau team work kalau TU selalu hanya jadi bagian yang dikomplain tanpa bisa melakukan komplain balik? Bagaimana bisa fokus pada kepercayaan ketika semua orang non-TU merasa bisa menjadi TU tapi nggak mau kalau disuruh jadi TU?

Ingat, dalam konsep kolaborasi ini kita harus berhati-hati agar organisasi tidak sampai pada level letargi atau kelelahan. Mengeluh terus-menerus itu sudah melelahkan. Sekarang bayangkan orang yang kerjaannya tidak jelas lagi limit waktunya dan kemudian selalu dikeluhkan? Semakin mudah letarginya.

Saya sih hanya berpesan kepada para JF yang berada pada tim kerja untuk sebisa mungkin menghargai nasib pemegang fungsi ketatausahaan nonstruktural di era penyederhanaan birokrasi ini.

Masih untung dia mau memegang pekerjaan itu. Masih untung dia tetap bisa sedikit waras. Sebab bagaimanapun, fungsi tata usaha tampaknya menjadi sulit untuk relevan di tengah fleksibilitas konsep tim kerja yang menjadi kekhasan penyederhanaan birokrasi.

Demikian. Semangat selalu wahai para Sub Koordinator dan Koordinator Tata Usaha se-Indonesia!

12
0
Alexander Arie Sadhar ♥ Associate Writer

Alexander Arie Sadhar ♥ Associate Writer

Author

Bapak muda beranak satu. Apoteker yang menyandang gelar Magister di bidang Ilmu Administrasi melalui beasiswa LPDP. Penulis buku Oom Alfa (Bukune, 2013) serta Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Sejumlah tulisannya dapat dibaca di Mojok, Voxpop maupun Detik.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post