Coto Makassar Warisan Ibu

by | Jun 17, 2020 | Sastra | 2 comments

Lebaran dengan hidangan Coto Makassar? Sudah tradisi. Ya, itulah tradisi dalam keluarga kecil kami. Hidangan khas Sulawesi Selatan itu adalah menu utama setiap lebaran. Hidangan khas lebaran yang biasanya disediakan secukupnya, sekedar pelengkap yang jarang benar disentuh. Mungkin pelancong yang berkunjung ke kota kami hanya menganggap coto ini makanan khas daerah – seperti pada umumnya, tapi bagi keluarga kecil kami coto ini sungguh istimewa.

Keseruan itu berawal dari balik layar proses memasaknya. Kamilah sekeluarga yang meracik bumbu, memasak, dan kemudian menghidangkannya. Kata ibu, resepnya didapat dari nenek, tapi konon sudah dimodifikasi oleh ibu sendiri. Beberapa keluarga dekat yang sudah mengenali kebiasaan kami itu, biasanya langsung mampir segera sesudah shalat Ied bubar. Tidak jarang mereka memujinya sebagai saingan berat dari Warung Coto terkenal yang ada di kota kecil kami.

Karena kehidupan ekonomi kami pas-pasan, maka hari lebaran adalah saat kami bisa menikmati Coto Makassar sampai puas. Di hari-hari biasa, kami jarang makan coto. Walaupun ada segelintir warung di beberapa sudut kota kecil kami, tapi kami kadang tidak punya cukup uang untuk membelinya.

Jika pun kebetulan ayah punya uang, biasanya yang dibeli cuma satu porsi, tapi kuahnya kami minta agar diperbanyak, supaya kami sekeluarga bisa kebagian.

Itulah sebabnya, momen hari lebaran selalu menjadi istimewa, karena kami dapat menikmati Coto Makassar sepanjang hari. Begitu ingin, tinggal ambil mangkuk, sendok, lalu campur sendiri di dapur.

Begitulah setiap tahun, sejak aku masih kecil, kebiasaan itu sudah berlangsung dalam keluarga kami. Saat usiaku sudah cukup untuk bisa membantu-bantu, aku pun mulai dilibatkan oleh Ibu. Awalnya hanya menuruti perintah ibu atau kakak sulungku yang juga laki-laki. Tapi seiring dengan pertambahan usiaku, aku mulai kebagian tugas yang kemudian secara tetap menjadi spesialisasiku.

Menurutku itulah tugas yang paling menyedihkan, karena dalam melakukannya, aku harus berurai air mata. Mengupas dan mengiris halus bawang merah. Kakakku yang sudah lebih cakap, bertugas menyanggrai kacang tanah, ketumbar, dan merica.

Tugas itu tidak ringan, dibutuhkan energi yang cukup besar serta kehati-hatian yang tinggi. Ketiga bahan itu harus matang dengan sempurna, agar cita rasa coto terjaga. Sementara itu adik perempuanku bertugas mengupas lengkuas dan sereh. Terkadang dalam melakukan tugasnya itu, ia mengupas pula sedikit kulit tangannya.

Tugasnya bermandikan darah, begitu kami berseloroh setiap kali tangannya terluka.

Sedangkan adik bungsuku, karena masih belum bisa mengerjakan tugas tertentu, kadang hanya muncul sesekali dan kemudian menghilang kembali karena tidak tahu mau melakukan apa.

Sehari menjelang lebaran, aktivitas rutin itu dimulai. Usai shalat subuh, ayah dan ibu sudah ke pasar untuk membeli kulit ketupat terbaik. Juga beberapa kerat daging dan jeroan sapi, serta berbagai macam bahan yang akan dibuat sebagai bumbu. Saat mereka pulang, sepeda motor butut ayah akan tampak penuh karena beliau terbenam di antara kulit ketupat.

Usai berganti baju, ibu mulai mengisi kulit ketupat dengan beras yang telah dibersihkan dan direndamnya sejak sebelum subuh. Kemudian dimasaknya dengan sebuah panci berukuran besar. Bahan bakarnya adalah kayu kering yang dikumpulkan dari tepi hutan atau bekas bahan bangunan yang sudah tidak terpakai.

Satu pekerjaan selesai. Tinggal menjaga agar apinya tetap menyala dan sesekali menambahkan air jika air di dalam panci menguap. Ayahlah yang mendapat tugas itu. Biasanya jika kakakku selesai menyelesaikan salah satu tugas, ia akan turun membantu ayah.

Prosesi pembuatan coto dimulai. Pertama-tama ibu memilah jeroan dan daging sapi untuk dibersihkan. Jeroan harus dicuci berkali-kali dengan air biasa, lalu terakhir dengan air kapur untuk menghilangkan bau tidak sedap yang biasa menyertainya. Selanjutnya, daging dan jeroan itu direbus sampai matang dengan menggunakan panci tanah. Konon rasa coto kurang nikmat jika menggunakan panci aluminium, begitu kata ibu.

Daging dan jeroan yang sudah matang kemudian diangkat dan ditiriskan. Sementara air kaldu hasil rebusannya disimpan untuk nanti jadi kuah coto. Kacang, ketumbar, dan merica disangrai satu persatu sampai matang. Lengkuas, sereh dan bawang putih dikupas lalu dipotong-potong dalam ukuran yang kecil agar nantinya mudah dihaluskan.

Bawang merah, setelah dikupas, dibagi menjadi dua. Yang satu bagian diiris halus, sedangkan sisanya dibiarkan bulat-bulat. Bawang merah yang sudah diiris nantinya akan digoreng dan dijadikan sebagai bahan pelengkap, ditaburkan bersama-sama dengan irisan daun bawang dan seledri di atas mangkuk berisi coto.

Kacang, merica, dan ketumbar yang sudah disangrai kemudian ditumbuk halus. Demikian pula bahan bumbu yang sudah dikupas. Karena jumlahnya cukup banyak, maka penumbukan dilakukan sedikit demi sedikit agar tekstur bumbunya jadi halus dan mudah dicampur.

Tugas ini cukup berat dan butuh waktu yang cukup lama. Kami anak-anak secara bergiliran menumbuk dengan alu yang terbuat dari kayu yang berat. Ibu mengawasi kami dan menjaga kualitas hasil tumbukan kami itu dengan saksama.

Yang membuat tugas itu menjadi lebih berat adalah karena kami semua dalam keadaan berpuasa, ba’da dhuhur hingga menjelang Ashar adalah masa-masa paling sulit.

Kantuk yang tidak tertahankan, belum lagi persediaan energi dari karbohidrat yang kami santap saat sahur mulai menipis. Alu yang sudah berat pun terasa makin berat.

Kadang-kadang, pada saat yang sama, ibu juga sudah mulai mendesak kami untuk menambah kekuatan. Ibu sendiri bertugas menggoreng bawang merah yang sudah diiris halus. Jika ibu sudah mendesak agak keras, kadang kami protes dan usul untuk bertukar tugas dengan ibu. Tetapi ibu akan segera menolak. Kata Ibu, menggoreng bawang merah ada seninya, tidak asal goreng. Memang bawang goreng ibu renyah dan harum, meskipun disimpan beberapa hari, tidak akan layu.

Ba’da Ashar, semua bumbu sudah tertumbuk halus. Dengan air secukupnya, semua bahan dan bumbu yang sudah ditumbuk halus itu diaduk rata hingga menyerupai bubur. Entah bagaimana mengatur porsinya, hanya ibu yang tahu. Katanya hanya pakai feeling.

Ibu lalu menyiapkan sebuah wajan besar. Dengan menggunakan minyak goreng asli, bumbu yang menyerupai bubur itu ditumis sekaligus. Proses menumis ini sungguh tidak ringan. Karena jumlah bahan yang cukup banyak, maka dibutuhkan tenaga ekstra untuk mengaduk. Lagi-lagi kami bergantian mengaduk, agar bumbu tidak hangus dan matang secara merata.

Biasanya menjelang bedug maghrib, menumis bumbu yang melelahkan itu pun rampung. Tandanya, bau semerbak bumbu coto tercium dan menyebar ke seluruh ruangan dapur. Salah satu tanda kegiatan itu selesai ialah ketika kami semua sudah hampir kehabisan tenaga.

Kadang kami tergolek hampir tak berdaya.
Memang, puasa hari-hari terakhir itu biasanya selalu menjadi puasa yang terberat.

Tugas kami selanjutnya adalah mengiris daging dan jeroan dalam ukuran kecil, lalu disimpan pada wadah tersendiri. Sementara itu, ibu memasak kembali air kaldu yang sudah ditambahkan dengan air hingga mendidih. Lalu bumbu yang sudah di tumis tadi dimasukkan seluruhnya ke dalam panci, diaduk hingga tercampur dengan rata.

Sedangkan adik perempuanku biasanya menyiapkan daun bawang dan daun seledri untuk diiris tipis-tipis. Usai berbuka, kami sudah bisa beristirahat. Selesai mandi dan membersihkan diri, kami lalu menonton takbir keliling dan pesta kembang api.

Keesokan harinya, sesudah shalat Ied, kami buru-buru pulang. Tidak sabar menunggu untuk segera menata hidangan untuk menyambut tamu-tamu yang akan segera mampir. Lagi pula, kami sudah tidak sabar menyantap hidangan Coto Makassar yang mengundang selera. Lalu akhirnya, bersama-sama dengan mereka, kami ramai-ramai menyantap hidangan khas itu dengan lahap.

Itulah yang dulu selalu terjadi setiap tahun. Saat kakakku menikah dan bertugas di daerah lain, aku yang menggantikan tugasnya, dan adik bungsuku juga sudah bisa terlibat secara aktif. Namun akhir bulan haji tahun lalu, masa-masa penuh kenangan itu berakhir karena ibu mendadak dipanggil menghadap ilahi.

Ayah kemudian menikah kembali dengan seorang wanita yang berasal dari daerah lain. Orangnya baik dan ngemong, serta mengerti keberadaan kami. Kehidupan berjalan normal kembali. Seperti biasa, saat ibu masih berada di tengah-tengah kami, walau terkadang terasa ada kekosongan dalam hati kami.

Jelang lebaran, kerinduan pada almarhumah ibu kembali membuncah. Kesibukan rutin kami sehari sebelum lebaran sudah hilang dari tradisi keluarga kami. Ibu tiri yang baik hati itu datang dan membangun kebiasaan menyambut lebaran yang jauh berbeda. Memang persiapan menyambut lebaran tidak lagi melelahkan, namun keseruan yang menyertainya juga tidak lagi kami rasakan.

Pagi ini, sesudah pulang shalat Ied, kami sekeluarga berkumpul. Tidak ada lagi tamu dari famili dan kerabat dekat kami. Di hadapan kami terhidang berbagai jenis makanan khas lebaran yang lezat.

Tetapi bukan Coto Makassar yang sudah jadi tradisi dalam keluarga kami. Melainkan makanan yang bisa dijumpai di mana saja.

Setelah ayah memimpin do’a bersama, kami pun mulai makan. Kuperhatikan adik perempuan dan adik bungsuku menyuap makanannya lambat-lambat. Sesekali mereka saling bertukar pandang. Hanya ayah yang tampak makan dengan lahap. Ibu tiriku dengan ramah terus menawarkan berbagai makanan dan mendorong kami untuk makan, tapi kami hanya terus mengiyakan. Aku kehilangan selera makan.

Aku benar-benar merindukan ibu. Juga merindukan coto buatannya. Mataku mendadak kabur. Aku menundukkan pandangan sambil diam-diam mengusap air mata yang menggenang di kelopak mataku. Pada saat yang sama, pandanganku bertemu dengan adik perempuanku. Dari balik kaca mata minusnya, aku bisa melihat kalau matanya juga memerah karena menahan tangis.

Dadaku terasa sesak. Susah payah aku menelan makanan yang ada di piringku, sementara pikiranku mengembara ke tahun-tahun yang silam. Kupandangi ayah yang tampak makan dengan lahap. Diam-diam aku berpikir, rindukah dia kepada ibu?

Adik bungsuku tiba-tiba meletakkan sendok di piringnya dengan keras.
Suara dentingnya memecah kesunyian. Lalu dengan suara memelas ia bertanya,
“Ayah, mau coto.”

Aku menyikut pinggangnya. “Makanlah apa yang ada,” kataku setengah berbisik.

Adik perempuanku juga melotot, sementara ayah memandangnya dengan pandangan menegur.

“Tidak ada, nak.” Timpal ibu tiri kami. “Masakan ibu nggak enak, ya?”

Aku mengerti apa yang diinginkan adik bungsuku. Kami pun sebenarnya juga demikian, tapi kasihan ibu tiri kami yang sudah menyiapkan semua makanan lebaran ini dengan susah payah.

“Ayah, aku mau coto.” Kata adikku lagi.

“Sekarang mana ada warung coto yang buka,” kata ayah. “Nantilah kalau sudah ada baru kita beli.”

“Tapi aku inginnya sekarang, kayak lebaran dulu.”

Ayah terdiam, hanya sorot matanya yang memohon agar percakapan itu terhenti. Tapi dasar anak kecil, entah memang tidak paham isyarat itu, atau pura-pura tidak paham, ia terus saja merengek. Aku berusaha membujuknya, tapi rupanya gagal. Ia mulai menangis. Suasana makan menjadi tidak nyaman. Sepi mencekik.

Pintu depan tiba-tiba diketuk. Adik perempuanku segera bangkit membukakan pintu. Tak lama kemudian, kudengar suara riuh dua orang bocah yang menyerbu memasuki rumah. Lidahnya yang masih cadel melafalkan salam dengan keras. Itu keponakanku. Anak-anak kakakku yang sulung. Suasana sepi mendadak hingar bingar. Anak-anak itu mendatangi kami satu persatu dan menyalami kami di sekeliling meja.

Kakakku kemudian muncul bersama istrinya. Di tangan kakakku ada sebuah rantang besar. Sementara istrinya juga menenteng bungkusan. Mereka menuju ke dapur. Tak lama kemudian ibu tiri kami keluar dengan sebuah mangkuk besar. Aroma coto makassar seketika memenuhi ruangan. Adik bungsuku langsung berteriak kegirangan, begitu pula adik perempuanku. Kupandangi ayah yang tetap terdiam, tapi matanya berbinar antusias.

“Tadi ada yang mau coto,” kata ibu tiriku sambil tersenyum. “Do’anya makbul.”

“Maaf, datangnya terlambat.” Kata kakak sulungku.
“Tadi beberapa staf dari kantor langsung mampir di rumah.”
Ia lalu mengambil tempat di sampingku.

Meja makan kecil kami tiba-tiba penuh warna. Kami makan dengan gembira. Aroma dan cita rasa coto buatan ibu hadir kembali di meja makan kami. Suasana menjadi riuh, apalagi ditambah celoteh nakal keponakanku.

Diam-diam, aku bersyukur dan berterima kasih pada kakakku, berkat kemampuannya mewarisi keterampilan ibu, bisa membuat suasana lebaran kami tahun ini kembali berbinar. Sepertinya ibu kembali hadir bersama kami. Aku rindu padamu, Ibu.

4
0
Andi P. Rukka ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Andi P. Rukka ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Author

ASN di Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Wajo. Tulisan Andi P. Rukka sangat khas, berusaha mengkritisi ketidakberdayaan sebagian besar birokrat di negeri ini.

2 Comments

  1. Avatar

    huhu berebesmili mbacanya.. sy juga punya tradisi seperti itu..bikin jenang/ dodol, sampai lecet melepuh ngaduk jenangnya tapi hati senang..sudah 2 tahun ini ga bikin karna mama sudah ga kuat lagi..sedangkan klo sy sendirian ga berdaya hehe..

    Reply
  2. Avatar

    Apa yang ditulis mengena, mengingatkan kenangan masa lalu, dengan jenis masakan khas daerahku yaitu opor ayam dan sambil goreng yang juga tersaji saat moment spesial seperti lebaran.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post