Catatan Pembelajaran Sekolah di Masa Pandemi: Bagian 1 – Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa

by | Dec 14, 2020 | Birokrasi Melayani | 5 comments

Hingga jelang akhir tahun 2020, belum ada yang dapat menjamin kapan pandemi berakhir. Pada sektor pendidikan, pembelajaran telah memasuki bulan ke-12 tahun 2020, 10 bulan sejak kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan pada Maret 2020. Meskipun begitu, sebagian besar pembelajaran masih dilakukan dengan mekanisme Belajar Dari Rumah (BDR). 

Berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran dan ketersediaan sarana prasarana (sarpras) penunjang dirasakan oleh warga sekolah. Tulisan ini merupakan catatan pengalaman kepala sekolah, guru, dan siswa selama BDR. Artikel ini juga sekaligus menjadi renungan bagi kita untuk merasakan bagaimana jatuh bangunnya warga belajar mengikuti pembelajaran di masa pandemi. 

Beberapa penelitian menyebutkan banyak siswa yang mulai jenuh dan bosan dengan BDR, para guru mengeluhkan kompleksnya persiapan dan pelaksanaan belajar di masa pandemi, dan banyak orang tua yang tidak mampu mengikuti pendampingan anaknya di sekolah karena terkendala masalah jaringan internet, hingga persoalan ekonomi yang menyebabkan banyak siswa yang belum memiliki gawai. 

Suatu Perjuangan

“Awalnya, masa tiga bulan pertama sejak Covid-19 merupakan suatu periode perjuangan yang tidak mudah. Namun, siap tidak siap pembelajaran harus berjalan,” terang ibu Rita Hastuti dari SMAN 8 Jakarta pada sesi berbagi pengalaman dalam diskusi. 

Dalam ketidakberdayaan, sekolah mengumpulkan guru, menentukan strategi bagaimana memindahkan kelas sekolah menjadi kelas daring. Bagi kepala sekolah dan guru, hal ini terasa sebagai sebuah tantangan. Terlebih, bagi prosesi penerimaan kelas 10 atau siswa baru, angkatan yang belum memahami bagaimana lingkungan dan budaya sekolah. 

“Bagaimana membina siswa baru agar mencerminkan ciri SMAN 8 Jakarta? Kami tidak tahu bagaimana karakter anak-anak yang di kelas X baru masuk, tanpa kita bertatap muka,”  lanjut bu Rita, yang menceritakan bahwa lambat laun setelah tiga bulan pertama sekolah tetap harus berproses hingga mulai stabil. 

Sekolah melibatkan para alumni, melakukan pembelajaran kakak kelas ke adik kelas, dalam bentuk bimbingan (memerankan OSIS) meski secara daring. Hal tersebut diamini oleh kepala SMAN 2 Kota Tangerang Selatan, SMAN 3 Kota Tangerang, dan SMAN 67 Jakarta Timur, setidaknya mewakili pengalaman para kepala sekolah mengawali pembelajaran di masa pandemi. 

Belajar Mapel Bahasa Jerman secara virtual di SMAN 8 Jakarta

F:\LAP JOKO\SEKOLAH DIBUKA\SEKOLAH FOTO\SMAN 26 Jkt\Daring mapel Bhs Indonesia SMAN 26.jpg
F:\LAP JOKO\SEKOLAH DIBUKA\SEKOLAH FOTO\SMAN 26 Jkt\belajar daring 26.jpg
Ekspresi siswa saat menyimak presentasi rekannya dalam mapel Bahasa Indonesia di SMAN 26 Jakarta

Dari kota Yogyakarta, Kepala SMPN 15 Yogya Ibu Arina Budiastuti menceritakan, masa pandemi telah merubah seluruh aktivitas guru, karyawan dan siswa hampir selama delapan bulan ini. Canda tawa anak-anak dalam pembelajaran di sekolah telah berubah. Kegiatan dalam bentuk daring yang lebih banyak berupa aktivitas di depan mobile phone setiap hari, menatap layar dalam waktu yang lama, berdampak mata pedih, mata merah, penat dan punggung yang kekurangan gerak fisik. 

Berdasarkan kajian Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud pada 227 Kepala SMA di 5 provinsi September 2020,  ditemukan masalah-masalah berikut:

  • Sekolah kesulitan mengembangkan dan menyusun materi ajar,  
  • Sekolah kesulitan menyesuaikan perangkat pembelajaran yang cocok dengan kondisi siswa, 
  • Materi kurikulum terlalu banyak (sebelum Kepmendikbud No. 719/P/2020 Pedoman Kurikulum Khusus), 
  • Sulitnya penentuan alokasi waktu, 
  • Kurangnya kemampuan guru dalam menentukan Rencana Pembelajaran, 
  • Banyak guru masih gaptek IT.

Salah satunya pengalaman di SMAN 7 Kota Tangerang. Menurut Wakasek Ibu Emma Mahmudah berdasarkan wawancara guru, siswa dan orang tua, selama BDR metode pembelajaran dinilai kurang bervariasi, materi pelajaran kurang dipahami, bahkan guru sendiri kurang yakin sebenarnya siswa belajar atau tidak, mengerti atau tidak. Keraguan ini tetap terjadi walaupun metode penyampaian sudah menggabungkan synchronous dan asynchronous.

Upacara pun secara virtual, Hari Sumpah Pemuda di SMAN 7 Kota Tangerang

Menurut Koordinator Penelitian Puslitjakdikbud, Nurberlian Venus Ali, fungsi kepala sekolah sebagai ujung tombak pembelajaran terlebih pada masa pandemi adalah bagaimana cara sekolah memperhatikan mekanisme dalam pengawasan pembelajaran. Agar pembelajaran benar-benar maksimal tanpa memberatkan bagi siswa, perlu dilakukan analisis pembelajaran, laporan periodik, serta supervisi dalam pembelajaran.

Berbagai Kendala 

Salah satu penunjang belajar yaitu tersedianya sarana belajar berupa Laptop atau HP, serta kuota internet. Kendala pada sarpras dirasa oleh siswa dan sekolah, terkait kepemilikan alat untuk daring. Jika SMAN 8 Jakarta mencoba menginventaris siswa yang tidak punya Laptop, maka SMAN 8 “mencolek” komite sekolah sehingga disediakan bantuan berupa 68 laptop yang dapat digunakan oleh siswa. 

Adapun Abu Yazid, Kepala SMAN 2 Kota Tangsel, menerangkan bahwa sekolah  membuka laboratorium komputer di sekolah yang dapat dimanfaatkan kapanpun oleh siswanya selama pembelajaran bagi yang tidak punya laptop atau gawai. Sedangkan menurut Kepala Bidang SMA Disdik Prov DKI Jakarta, pemprov membuat kebijakan bagi sekolah swasta bisa memanfaatkan fasilitas komputer di sekolah negeri di saat pandemi.

Sejatinya hingga akhir tahun ini semua sekolah telah memperoleh bantuan berupa kuota gratis. Akan tetapi, faktanya terdapat sekolah yang belum sekalipun menerima bantuan tersebut. Salah satunya diutarakan seorang guru dari SD Negeri Lengkenat 02 Kabupaten Sintang. Menurutnya, guru dan siswa di sekolahnya hingga saat ini belum ada yang mendapat paket kuota yang dijanjikan pemerintah. Akhirnya, sekolah melakukan pembelajaran sistem luring (luar jaringan) atau lewat WA pengambilan tugas sesuai jadwal.

Menurut hasil survei oleh Kepala SMAN 3 kota Tangerang sebelum ada paket kuota gratis dari pemerintah, kendala utama adalah masalah kuota internet, yang cukup memberatkan beban belanja keluarga. Senada disampaikan oleh Kepala SMAN 67 Jakarta (FGD Puslitjak, 12 November 2020). 

“Salah satu kendala saat pembelajaran adalah keterbatasan kuota, karena nyatanya belum semua siswa mendapatkan kuota gratis. Berdasarkan rekap data sekolah, dari 983 siswa kelas X –XII  baru 702 siswa yang telah memperoleh paket data gratis. Selebihnya disiasati sementara dengan dana BOS.” 

Sarana komunikasi juga menjadi kendala, tidak hanya di daerah terpencil. Bahkan yang mengejutkan, terkait HP, menurut Kepala Bidang SMA Disdikprov DKI Jakarta, sebanyak 10 persen siswa (SD, SMP dan SMA) di DKI tidak punya HP (FGD Puslitjakdikbud, 12 November 2020). 

Efek Lama BDR

Pengaruh belajar dari rumah (BDR) sebagai upaya jalan keluar pembelajaran pada masa pandemi tidak selalu baik jika berkepanjangan, berdasarkan komentar beberapa kepala sekolah. Danu, Kepala SMAN 67 Jakarta menuturkan, “BDR mulai mendapat resistensi dari peserta didik juga orang tua. Mereka sudah ingin belajar dengan tatap muka, bertemu guru dan teman dalam suasana sekolah.”

Pengalaman serupa, Kepala SMAN 1 Kabupaten Kupang Barat berujar, “Sesungguhnya kejenuhan BDR sudah tidak dapat diatasi lagi. Banyak keluhan siswa dan orang tua, serta daftar hadir peserta didik menunjukkan kejenuhan dan kebosanan.” Mengatasi hal ini, sekolah tersebut melakukan uji coba kembali sekolah secara luring. 

Menurut Hendrikus selaku kepsek,  sekolah sudah melaksanakan KBM tatap muka pada minggu pertama  November 2020.  KBM tatap muka dilaksanakan atas hasil rapat bersama Majelis Kerjasama Kepala Sekolah (MKKS) se-Kabupaten Kupang dan terlaksana dengan baik tanpa adanya masalah Covid di sekolah hingga saat ini. 

Ibu Ruruh Wuryani, selaku Kepala SMAN 3 kota Tangerang mengomentari, ”Anak-anak sudah bosan belajar online itu benar jika berdasarkan laporan dari para guru BK yang melakukan pendekatan investigasi terhadap siswa.”

Dari SMAN 1 Purwakarta, Kepsek Emma Sukmasih berpendapat bahwa siswa  sudah mulai jenuh, kangen sekolah, dan para orang tua bertanya-tanya kapan belajar tatap muka? “Kami juga melakukan evaluasi BDR. Ternyata banyak anak-anak yang tidak mengikuti atau malah main, sekolah tidak bisa kontrol mereka, kedua duanya bekerja, tidak ada yang memantau, bebas.”  

F:\LAP JOKO\SEKOLAH DIBUKA\SEKOLAH FOTO\SMAN 7 tangerang\guru mengajar daring siswanya di rmh.jpg
Guru menyimak siswa BDR

Dari pulau Sulawesi, ada Pak Viktor Layuk komando di SMAN 4 Tana Toraja, menyatakan hal senada. Warga sekolah merasa bosan melakukan aktivitasnya meskipun ada kegiatan BDR namun mengalami banyak kendala sehingga proses pembelajaran tidak optimal.

Curhatan Siswa dan Guru tentang BDR

BDR memberikan dampak positif dan negatif, seperti cerita Chelsea Chiva Hamka siswi kelas 8, SMPN 15 kota Yogyakarta. Selama 7 bulan di rumah mungkin bagi sebagian orang sangat menyenangkan, karena bisa belajar santai. 

“Oke, untuk satu sampai tiga bulan pertama, BDR sangat menyenangkan. Tapi setelah 4 bulan BDR rasanya sangat membosankan. Tidak ada yang menyenangkan di rumah, rasanya seperti mengulangi aktivitas yang sama setiap hari,” tulisnya dalam Rumahku Sekolahku – Bahagia dan Derita BDR di Saat Pandemi (SMPN 15 Kota Yogyakarta).

Upaya mengisi kebosanan sempat dilakukan oleh rekannya, Marcello Budi Prakasya. “Untuk menghindari kebosanan, ia mencoba mengembangkan kemampuan dengan membuat website sederhana hingga keluarga sangat mendukung saat itu. Namun, bulan ke bulan, mulai terasa bosan mendera. Otakku pusing,” kenang Marcello. Meskipun begitu, tetap saja hobi dan belajar coding tersebut tetap dijalaninya.

Tidak hanya siswanya, Bapak Suyanto salah seorang guru senior mapel Matematika SMAN 8 Yogyakarta mengatakan guru juga sangat bosan dengan PJJ. Dengan PJJ pekerjaan menjadi lima kali lipat tingkat kesulitannya. Semua dimulai dari menyiapkan materi, memindahkan ke power point, membuat video tutorial, lalu mengoreksi jawaban tugas melalui Googleform. Selain itu banyaknya tugas masing-masing mapel membuat siswa terbebani dengan berbagai macam tugas yang harus dikirim melalui on-line.

Dengan kondisi demikian, apakah harapan para guru dan orang tua dalam penerapan sekolah tatap muka akan terwujud? Mendikbud menjelaskan, hal ini masih bersifat kemungkinan. Prosesnya pun akan dilakukan secara bertahap, dimulai jenjang SMP, SMA, dan SMK (Media SMA 07/ 2020 Direktorat Pembinaan SMA Kemdikbud). “Ini lebih mengenai kenyamanan dan kepercayaan kepada institusi sekolah yang bisa melakukan protokol kesehatan yang baik. Itu kuncinya,” terang mas Menteri.

Kesehatan dan keselamatan warga sekolah yang menjadi landasan penting dalam menentukan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi. SKB 4 menteri menjadi pengukuh adaptasi pembelajaran di masa pandemi yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. 

Selain itu, yang paling mengetahui kondisi layak tidaknya sekolah dibuka di setiap daerah ialah pemimpinnya: Gubernur/Bupati/Walikota melalui Dinas Pendidikan Provinsi (SMA dan SMK) dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota (SD dan SMP) termasuk Kanwil Kemenag (sekolah madrasah: MI, MTs, dan MA) dan Satgas Covid di daerah, serta kepala sekolah dan orang tua.

Pertanyaan selanjutnya,
Bagaimana tanggapan stakeholder dan sekolah menghadapi pembelajaran tatap muka?
Ulasan tentang ini ada di catatan kedua, lanjutan dari tulisan ini.

1
0
Bambang Suwardi Joko ◆ Professional Writer

Bambang Suwardi Joko ◆ Professional Writer

Author

Peneliti Muda pada Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud Gedung E Lt.19, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270 Telp/WA: 081519986789 Email: [email protected]

5 Comments

  1. Avatar

    Lanjut ke tulisan ke dua mas Bambang

    Reply
  2. Avatar

    BDR/PJJ secara Daring perlu mendapatkan perhatian melalui peningkatan kemampuan guru dalam pengelolaan media daring., supaya efektif dan efisien. Saya melihat terdapat sisi positif dari media daring ini .

    Reply
  3. Avatar

    Mas Bambang keren…sudah menyajikan artikel ini dg runut dan mudah dipahami…..
    Jadi sebenarnya pembelajaran dengan BDR ada plus minusnya…secara umum memang pembelajaran paling efektif ya tatap muka apalagi unt anak SD….mereka membutuhkan suasana belajarnya yg berinteraksi langsung dengan guru dan teman…..hal ini tidak didapat dengan BDR. Di sisi lain, kondisi pandemi dimana yg terifeksi semakin banyak memang belum memungkinkan dilakukan pembelajaran tatap muka kecuali dengan penerapan protokol kesehatan yg ketat dan dilaksanakan dengan disiplin yg tinggi dari semua warga sekolah…

    Reply
  4. Avatar

    Luar biasa hasil penelitian yang Bapak lakukan, begitulah kondisi yang dirasakan di daerah kami bahkan mungkin lebih amburadul lagi dibandingkan seperti hasil yang Bapak sudah tuliskan.

    Reply
  5. Avatar

    BDR, lepas dari apapun alasannya, memang harus dijalani, dan kebosanan harus diatasi dengan varian kegiatan.
    Dan semoga juga jadi pembelajaran pada orang tua yang maaf, terkadang ada yang kurang menghargai Guru.
    Semua ada hikmahnya.
    Mari kita sama sama saling mendukung dalam pendidikan. Demi anak bangsa.
    TErimakasih Pak Bambang ulasannya.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post