Bias Gender di Tanah Papua

by | Oct 14, 2021 | Birokrasi Berdaya | 1 comment

Banyak kita dengar istilah kesetaraan gender di mana-mana. Katanya, perempuan dan laki-laki itu punya kesempatan yang sama, punya derajat dan kedudukan yang sama mulia. Sayangnya, kenyataan tidak seindah yang disebut orang-orang.

Dalam hidup masyarakat kita, tidak semua perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan kaum lelaki. Seringnya, perempuan harus mengalah atau terkalahkan oleh maskulinitas pria yang begitu mendominasi tata sosial kita. Tidak terlepas di Papua.

Tidak peduli seberapa tinggi peran sebagai ‘mama’ dijunjung, tetapi ketidakadilan perempuan itu masih ada secara nyata, bahkan dengan kasat mata. Tidak sedikit kita mendengar perempuan harus mengalah dalam sisi ekonomi, perempuan masih sering dipukul mundur menjadi pekerja manual sebatas penjual sayur mayur dan kerajinan tangan dibandingkan dengan dukungan maju untuk bekerja di sektor formal, sebagai seorang PNS contohnya.

Perempuan masih sering dianggap tidak mampu memutuskan hal besar untuk dirinya, sehingga perjodohan dengan paksaan pun masih santer kita saksikan. Maka, di mana kesetaraan gender yang digaungkan itu?

Parahnya, kita seakan menganggap bias gender antara pria dan wanita tersebut adalah lumrah dan biasa. Budaya patriarki masih melekat dalam darah daging masyarakat kita. Tetapi sampai kapan kita mempertahan ini?

Ketimpangan dalam Indeks Pembangunan Gender

Ketimpangan gender antara pria dan wanita sejatinya tidak membawa keuntungan apa-apa untuk lelaki maupun perempuan. Semua pasti terugikan. Seorang wanita diciptakan dengan peran dan fungsi yang berbeda dengan pria. Tetapi bukan berarti wanita bebas ditindas dan tidak diberi kesempatan yang sama dalam mengecap pendidikan tinggi, prioritas kesehatan yang mumpuni, maupun dalam menggapai karir yang lebih baik lagi.

Kesempatan yang sama kepada wanita untuk mengembangkan dirinya dan mencapai kapasitas optimalnya sebagai ciptaan Tuhan yang mulia akan mampu menjadikan diri wanita tersebut agen perubahan yang optimal. Seorang wanita dengan pendidikan, kesehatan, dan finansial yang cukup akan mampu melahirkan dan mendidik generasi penerusnya dengan lebih optimal.

Dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah, semakin banyak wanita yang memperoleh kesempatan untuk mengembangkan karirnya pun akan memberi sumbangsih yang signifikan dalam percepatan pembangunan di Papua. Sayang seribu sayang, mimpi luhur menciptakan kesetaraan yang inklusif antara wanita dan pria semakin tenggelam dan hilang.

Di tahun 2020, riset bahkan membuktikan gap antara wanita dan pria semakin melebar. Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang membandingkan antara kualitas pria terhadap wanita menunjukan tren menurun di tahun 2020.

Sebelumnya, IPG 2019 berada pada ambang 80,05 hanya dalam kurun waktu setahun saja indeks ini mengalami penurunan menjadi 79,59 poin. Indeks semakin jauh dari 100 menunjukan adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang amat besar, hampir mencapai 20 poin. Artinya, di Papua ini, kaum perempuan masih sangat kalah dari sisi pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi dibandingkan kaum pria.

Kesempatan Pendidikan yang Menjauh dari Asa

Dari sisi pendidikan, perempuan di Papua rata-rata hanya menyelesaikan pendidikan hingga kelas 5 SD, bahkan tidak sampai lulus! Sedangkan laki-laki lebih beruntung dengan mampu menyelesaikan pendidikan hingga kelas 8 atau pada level SMP.

Selain karena faktor sosial budaya yang menyebabkan pendidikan di Papua lamban dibanding wilayah lain, ketersediaan fasilitas khususnya untuk berbagai wilayah di pedalaman juga masih amat memprihatinkan. Hal ini semakin mendorong kesempatan pendidikan yang tinggi untuk wanita kian menjauh.

Untuk sekedar menikmati pendidikan di level menengah, biasanya masyarakat dari kampung harus bermigrasi ke wilayah kota yang jaraknya cukup jauh. Tantangan geografis ini pula yang menambah halangan bagi kaum perempuan untuk bersekolah.

Harapan lama sekolah antara laki-laki dan perempuan di Papua juga memiliki perbedaan yang cukup lebar yakni tepaut setahun. Laki-laki tercatat memiliki harapan lama sekolah mencapai hampir 12 tahun sekolah atau hingga kelas 3 SMA, sedang perempuan hanya diekspektasi bersekolah hingga kelas 2 SMA.

Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan fasilitas dan kesempatan pendidikan di Papua sudah mencapai level SMA walaupun rata-rata lama sekolah yang dihabiskan masih jauh di bawah itu. Ini menunjukan peran sosial budaya-lah yang harus semakin diubah untuk menjunjung tinggi pendidikan yang setara baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Pada level universitas-pun, jumlah mahasiswa yang terdaftar, semisal di Kota Jayapura saja, masih didominasi oleh laki-laki dibanding perempuan. Seolah sangat lumrah dalam masyarakat kita jika perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi. Itu baru dari sisi pendidikan saja.

Kemampuan Finansial Jauh dari Setara

Jika dilihat dari kemampuan ekonomi, bias antara laki-laki dan perempuan luar biasa mencenangkan! Di Papua tercatat, rata-rata pengeluaran seorang laki-laki dalam setahun bisa mencapai 11 juta rupiah, sedangkan perempuan hanya mencapai 4 juta saja!  (sumber: papua.bps.go.id/indicator/40/338.html). Bayangkan, bahkan tidak sampai setengah dari total pengeluaran laki-laki. Ini menunjukan kemampuan finansial perempuan Papua masih sangat jauh dari setara.

Hal ini bisa disebabkan karena jumlah kaum perempuan yang tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan cukup banyak dan juga bisa disebabkan oleh besaran upah yang diterima oleh perempuan yang bekerja lebih kecil dibanding laki-laki.

Dengan keterbatasan finansial seperti ini, perempuan jelas rentan menjadi korban penindasan, pelecehan, bahkan kekerasan. Pandangan bahwa perempuan hanya mampu meminta makan dari kaum lelaki, menimbulkan perasaan superioritas yang tidak sehat bagi kaum pria. Sehingga, pria dengan mudah berbuat semena-mena terhadap kaum wanita.

Epilog: Tiada yang Menang dalam Timpang

Sadarkah kita, betapa banyak wanita Papua yang harus bertahan dalam perihnya keluarga menerima perlakukan kasar dan tak sopan bahkan oleh anggota rumah tangga sendiri hanya karena ia tidak mampu untuk menyuarakan perasaannya, tak mampu mengelak dan berdiri di atas kaki tangannya sendiri. Mereka terpaksa bertahan, tidak peduli betapa sakit dan luka yang didera sudah kian menganga.

Ingatlah, tiada yang menang dalam bias gender seperti ini. Wanita dan pria sama-sama menanggung akibat yang buruk dari ketimpangan gender yang ada. Maka sudah saatnya untuk kita semua sadar. Kesempatan memperoleh pengajaran dan ilmu, kesempatan dalam memperoleh penghidupan yang layak adalah hak asasi semua orang. Jangan biarkan ketimpangan gender ini semakin menjurang dalam masyarakat kita.

Hentikan dan cukupkan sampai disini saja.

Salam dari Papua!

Photo by Vika Chartier on Unsplash

5
0
Diah Wahyuni ◆ Active Writer

Diah Wahyuni ◆ Active Writer

Author

A young female statistician, work in Statistics Office of Papua. An activist who loves to discuss about population, poverty, and Papua.

1 Comment

  1. Subroto

    Terima kasih atas artikelnya Mbak Diah W. Mungkin karena merasa tinggal di papua ( dan sebagai kaum wanita) sehingga dapat merasakan adanya ketimpangan kesetaraan gender. Saya tidak membantah, namun dari beberapa pengalaman saya tinggal di beberapa daerah memang dari budaya sudah terasa adanya ketimpangan gender, secara rerata hampir tiap daerah di negeri kita. sebagai contoh di Bali, tugas dan peran wanita lebih berat dibanding lelaki. Entah karena sebagai seniman sebagai penghasilan hidup. Walau ada juga yang berbeda dengan budayanya seperti di Sumatera Barat.

    Tetapi sekali lagi saya tidak ingin membantah dan bukan juga berarti ada kesalahan budaya kita karena persamaan gender pun baru berkembang di era tahun 90-an (mungkin bisa dianggap budaya barat).

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post