The Greatest Showman: Panggung Tepat Belajar Manajemen Risiko

by | Jun 3, 2018 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

All the shine of a thousand spotlights,

All the stars we steal from the nightsky,

Will never be enough..

(Never Enough-Original Soundtrack The Greatest Showman)

 

Salah satu lirik lagu tersebut menambah gegap gempita megahnya panggung yang ditampilkan oleh Phineas Taylor Barnum, sang legenda pertunjukan di Amerika Serikat, yang cerita perjuangan hidupnya dikisahkan dengan apik dalam film The Greatest Showman.

Film  yang disutradarai oleh Michael Gracey ini meroket menjadi box office dalam waktu singkat dan akhirnya bertengger cukup lama di banyak bioskop di berbagai negara pada medio Desember 2017 sampai dengan Maret 2018.

Salah satu lagu indah yang menghiasi film tersebut, This is me, berhasil meraih gelar sebagai lagu orisinal terbaik pada gelaran Golden Globe tahun 2018 ini.

Bagi saya, panggung berikut kisah dibaliknya itu bukan saja menyiratkan kebahagiaan dan kekaguman penonton, tetapi juga penuh makna dan pelajaran berharga dalam menimba ilmu bagaimana mengelola risiko.

Sebelum mulai membaca tulisan ini, satu hal perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini mengandung spoiler bagi pembaca yang belum menonton filmnya.

Sikap Risiko Barnum

Diceritakan pada awal perjalanan bisnisnya, Barnum kehilangan pekerjaan karena perusahaan tempatnya bekerja mengalami kondisi pailit. Barnum, yang diperankan oleh Hugh Jackman, yang digambarkan sebagai seorang yang ambisius untuk membahagiakan keluarganya, yaitu istri dan dua anaknya, tidak mudah berputus asa begitu saja.

Setelah mendapatkan pinjaman dari bank ia memutuskan untuk mendirikan sebuah museum yang berisikan benda-benda unik. Namun, sayangnya museum itu tidak mendapatkan sambutan positif dari masyarakat di sana. Barnum’s Museum pun kemudian kolaps dan tutup.

Barnum memang tidak pernah kering dari ide. Museum yang tadinya berisi barang unik tetapi mati, diubahnya menjadi sebuah tempat pertunjukan sirkus yang berisi benda unik dan hidup. The Barnum’s Circus mencoba eksis dengan menunjukkan competitive advantage dengan menampilkan sesuatu yang berbeda.

Dalam pertunjukan tersebut, Barnum mengumpulkan orang-orang dengan penampilan yang unik, yaitu manusia jangkung, obesitas, albino, manusia berbulu, dan manusia dengan keunikan lainnya.

Ide tersebut adalah strategi yang berani dan tentu saja berisiko. Keberanian Barnum untuk mengambil risiko tersebut menunjukkan bagaimana sikap Barnum terhadap risiko.

Sikap risiko atau dikenal dengan risk attitude sangat bervariasi karena berbentuk spectrum. Terdapat empat risk attitude yang diketahui dan telah didefinisikan secara luas, yaitu risk averse, risk tolerant, risk neutral, dan risk seeking/risk taking.

Jika Barnum adalah seseorang yang memiliki sikap risk averse maka ia tidak akan mungkin mencari penampil unik untuk sirkusnya, karena pada dasarnya manusia unik tersebut digambarkan sebagai manusia yang dijauhi oleh masyarakat.

Para risk averse akan merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian. Mereka hanya memiliki sedikit toleransi terhadap ambiguitas dan mencari keamanan dalam menghadapi risiko. Mereka akan cenderung lebih memilih opsi yang kurang menguntungkan, tetapi minim risiko.

Sedangkan dua klasifikasi risk attitude lainnya yaitu risk tolerant dan risk neutral memiliki unsur yang sama yaitu tidak terpolarisasi ke salah satu kutub, risk averse maupun risk seeking.

Perbedaannya adalah seseorang yang toleran terhadap risiko merasa bahwa ketidakpastian adalah sesuatu yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Sikap tersebut dapat menyebabkan orang gagal dalam mengelola risiko dengan tepat yang berujung pada dua hal, yaitu terkena dampak atas risiko yang terjadi sekaligus kehilangan kesempatan atas keuntungan yang ada di balik risiko.

Sedangkan orang yang netral terhadap risiko (risk neutral person) selalu memilih strategi yang jelas akan mendatangkan keuntungan di masa depan (future pay-offs). Dalam menghadapi ancaman dan peluang orang jenis ini sangat dewasa, hanya akan mengambil tindakan saat sebuah kondisi secara jelas memiliki potensi memberikan manfaat. Bisa dibilang risk neutral person merupakan sikap ideal dari risk attitude yang cenderung hanya ada di teori saja.

Berkebalikan dengan risk averse, seseorang yang terkategori sebagai risk seeking cenderung cepat beradaptasi dan tidak ragu-ragu untuk bertindak. Orang dengan tipe seperti ini akan sangat antusias dalam menangani ketidakpastian. Namun, kadang antusiasme itu justru dapat menyebabkan keputusan dan tindakan yang tidak tepat serta dapat menghalangi pandangannya terhadap adanya potensi bahaya.

Barnum adalah seorang risk seeking person. Ia melihat ancaman dan peluang secara terbalik. Ia cenderung meremehkan ancaman baik dari sisi probabilitas maupun konsekuensinya.

Di sisi lain ia menilai terlalu tinggi akan pentingnya sebuah peluang, yang kemudian memancingnya untuk mengejar peluang itu dengan sangat agresif serta bersedia menoleransi kemungkinan hasil yang merugikan.

Faktor yang Memengaruhi Sikap Risiko

Sikap Barnum dalam melihat risiko disebabkan oleh berbagai faktor antara lain conscious, subconscious, dan affective factors.

Conscious merupakan faktor yang memiliki karakteristik measurable dan controllable. Seseorang mengambil keputusan atau penilaian secara sadar dan penuh perhitungan. Faktor ini juga didasari oleh pengetahuan dalam menentukan langkah-langkah pengambilan keputusan.

Perhitungan Barnum mengenai jumlah pinjaman dana dikaitkan dengan biaya mendirikan museum ataupun sirkus adalah salah satu penggunaan faktor conscious dalam menyikapi risiko. Namun, faktor ini tidak terlihat menonjol dalam diri Barnum. Ia lebih mengutamakan faktor kedua dalam segala tindakannya.

Faktor kedua adalah subconscious, suatu faktor yang lebih bersifat tidak disadari, sulit diukur, dan juga sulit dikendalikan. Subconscious ini mirip dengan intuisi, yaitu asumsi seseorang terhadap suatu hal yang tidak disadari dan sulit dijelaskan, tetapi dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu.

Subconscious ini berpotensi mendatangkan sebuah jebakan (confirmation trap). Barnum terlalu percaya diri dengan ide-idenya, hal yang membuat sudut pandangnya terhadap sesuatu menjadi sempit dan hanya berasal dari suatu perspektif tertentu. Bahkan, ketika Barnum diingatkan oleh asisten pertunjukannya yang telah berpengalaman, ia tidak pernah menggubrisnya.

Subconscious juga berpotensi menghadirkan fatalism bias, yaitu semacam optimisme berlebihan. Barnum tidak menghiraukan adanya kemungkinan lain dan hanya berfokus pada hasil. Ia selalu optimis bahwa skenario yang telah direncanakan adalah skenario terbaik yang akan terjadi.

Faktor ketiga adalah affective factors, yaitu berbagai faktor yang terkait dengan emosi dan perasaan seperti rasa takut, keinginan, cinta, kebencian, kebahagiaan, ataupun kesedihan yang mampu mendorong seseorang untuk memutuskan sesuatu  maupun melakukan suatu tindakan.

Affective factor dalam diri Barnum jelas tergambar di berbagai percakapan dengan Charity, istrinya. Barnum selalu menjelaskan bahwa ia ingin mengubah nasib dirinya dan keluarganya agar lebih terpandang oleh masyarakat.

Perasaan benci dan dendam terhadap anggapan masyarakat yang selalu meremehkan keluarganya saat ia kecil sangat mendorong segala tindakan Barnum.

Ditambah lagi faktor kecintaan kepada keluarga kecilnya membuat ia selalu bersemangat dan agresif dalam memutuskan segala sesuatu tentang bisnisnya.

Ketiga faktor tersebut bagaikan sebuah untaian tali yang erat dan saling terkait. Masing-masing faktor memengaruhi persepsi yang kemudian mendorong sikap seseorang dalam memerlakukan risiko.

Dilematika Mengelola Risiko vs Tindakan Etis

Barnum mengembangkan usahanya secara agresif, bahkan ketika Barnum’s Circus semakin menunjukkan keberhasilan, ia belum juga puas.

Barnum memutuskan untuk bekerja sama dengan seorang penyanyi wanita bertalenta, Jenny Lind, untuk menggelar serangkaian tour dengan kembali bermodalkan pinjaman dari bank.

Ia lupa melihat bahwa ancaman datang dari berbagai hal termasuk risiko yang secara frekuensi sangat kecil tetapi jika terjadi akan berdampak sangat besar,  yang biasa disebut sebagai black swan. Di sinilah bagian paling menarik dari manajemen risiko terlebih jika fenomena black swan dikaitkan dengan tindakan etis.

Dikisahkan dalam film, Barnum selalu memperlakukan Jenny Lind dengan sangat baik agar kebutuhannya sebagai artis selalu terpenuhi. Barnum pun terlihat menjaga jarak dengan Jenny agar relasi profesionalitas tetap terjaga.

Risiko kegagalan tour yang disebabkan oleh kecewanya si artis terlihat sangat diperhitungkan oleh Barnum. Namun demikian, terdapat satu faktor yang kurang diantisipasi oleh Barnum yaitu adanya kedekatan personal antara Barnum dan Jenny seiring dengan intensitas pertemuan dan kerjasama mereka yang semakin solid.

Kedekatan personal yang sebenarnya dapat berdampak positif terhadap pencapaian tujuan, yaitu kesuksesan penyelenggaraan tour yang berujung pada bertambahnya pundi-pundi kekayaan Barnum dan Jenny.

Sampai pada suatu saat, Barnum menolak ajakan Jenny untuk melangkah lebih jauh terkait dengan kedekatan mereka. Tindakan yang dilakukan Barnum untuk tidak ingin mengkhianati cinta istri dan keluarganya merupakan tindakan etis yang dipilih oleh Barnum.

Namun siapa sangka, justru dengan tindakan etis tersebut, Jenny kecewa, marah, dan berujung pada pembatalan kontrak kerjasama secara sepihak. Pembatalan kontrak itu mengakibatkan kerugian besar bagi Barnum.

Sebuah paradoks muncul antara melakukan tindakan etis dengan terjadinya sebuah risiko. Risiko justru terjadi sebagai akibat tindakan etis yang dilakukan. Dengan kata lain, tidak serta merta segala tindakan etis yang dilakukan selalu aman dan berkorelasi positif dalam mencegah terjadinya suatu risiko.

Sepertinya, peristiwa dilematis semacam itu seringkali tidak dapat dihindari oleh siapa pun juga meski dalam bentuk lain. Dalam kondisi demikian, tampaknya diperlukan sikap berani sebagai seorang risk taking untuk dapat berdiri tegak melakukan tindakan etis.

Epilog

Akhirnya, menyaksikan film tersebut mengajarkan banyak hal kepada kepada banyak orang yang menontonnya. Selain pesan-pesan kekeluargaan, semangat pantang menyerah, dan pesan persamaan hak dalam kehidupan sosial, film ini juga memberikan sarana bagi kita untuk mempelajari hal-hal utama dalam manajemen risiko.

Berbagai alur kisah dalam film ini telah berhasil menunjukkan bahwa manajemen risiko sebenarnya bukanlah sebuah ilmu yang rumit, melainkan aplikatif. Meskipun demikian, aplikasi yang diterapkan dalam mengelola risiko tidak selalu dalam bingkai measurable (dapat diukur) dan predictable (dapat diprediksi), tidak dapat juga menafikkan relasi sosial dalam masyarakat sebagai kehidupan nyata dalam berorganisasi.

Film ini mampu menunjukkan bahwa mengelola risiko adalah sebuah keberanian, tidak terkecuali bagi seseorang yang memiliki sikap risk averse.

“I never minded the risk, but we always did it together.”

–  Charity Barnum to her husband

 Salam Risiko.

 

 

0
0
Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Author

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post