Sepasang Orang Gila di Cibaduyut

by | Dec 20, 2019 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Pagi itu seperti biasa saya nyalakan radio biru saya. Suara bariton seorang penyiar pria segera memenuhi kamar. Pagi-pagi begini, seperti biasa radio berita favorit saya itu menyiarkan ocehan solo sang penyiar sejak jam 6 sampai dengan jam 9 pagi. Sesekali, ocehannya diselingi suara pendengar yang menelepon ke studio atau mengirim SMS berisi pengaduan.

Ada beberapa macam pengaduan, misalnya untuk perusahaan daerah air minum (PDAM), urusan telekomunikasi (PT Telkom), dan urusan listrik ke PLN. Kadangkala terdengar pula laporan tentang kondisi jalan: macet atau kecelakaan di jalan X, traffic light rusak di perempatan Y, rombongan pejabat sudah lewat atau belum, sampai dengan polisi tidur yang ketinggiannya “ugal-ugalan” di perumahan Z. Pokoknya macam-macam.

Sampai suatu ketika sang penyiar membacakan satu pesan singkat. Isinya sungguh mengejutkan.

“Ada sepasang orang gila, laki-laki dan perempuan, yang melakukan adegan yang hanya pantas dilakukan suami istri – di emperan salah satu toko di Jalan Cibaduyut.”

Sang penyiar diam sejenak, bingung harus berkata apa.

“Pagi-pagi begini?” tanyanya heran.

Ini nyata, bukan syuting film, saudara-saudara. Parahnya, orang-orang yang melintas di jalan itu malah menonton adegan tak pantas itu – membuat kemacetan di Cibaduyut, Kota Bandung, semakin panjang dan lama.

Tak lama kemudian, ada suara pendengar lain masuk membenarkan isi pesan singkat itu. Sang pendengar lain, seorang ibu-ibu, malah memberi bonus komentar, “Yang nonton itu yang sebenarnya lebih gila dari (orang gila) yang ngelakuin,” katanya gemas.

Pendengar lain yang masuk malah bercerita bahwa orang gila yang laki-laki itu sebenarnya sudah mempunyai 2 pasangan dan bla… bla… bla… Panjang sekali ceritanya.

Kejadian menghebohkan bertajuk kelakuan sepasang orang gila di Cibaduyut itu adalah kejadian beberapa belas tahun yang lalu, saat saya masih kuliah di Bandung. Saat itu saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya.

Pameran Aib di Depan Publik

Hari ini, belasan tahun kemudian, rasanya realita tak banyak berubah. Kalau kita menonton TV, mendengarkan radio, membaca koran, majalah, atau internet, pameran aib di depan publik semacam ini ternyata menjadi jauh lebih “meriah”. Lihatlah judul-judul berita mereka yang begitu seram: “Saling Tuding X vs Y”, “Z Sering Menyakiti Saya”, “Istriku Bau Ikan Asin”, “Suamiku Direbut Pelakor” dan lain-lain.

Dari jam 7 pagi sampai menjelang isya, kita bisa dengan mudah menemukan berita-berita “miring” tentang artis atau pejabat anu. Dengan mudah kita bisa mendapat informasi macam-macam, sensasional, tetapi justru diperjualbelikan.

Misalnya, kabar bahwa artis cantik idola itu ternyata punya pekerjaan sambilan sebagai pekerja seks komersil (PSK), bahwa penyanyi tampan idaman gadis-gadis anak baru gede (ABG) itu ternyata pecandu narkoba, bahwa kehidupan rumah tangga aktor-aktris yang semula kita anggap sebagai ikon pernikahan bahagia itu ternyata berantakan, bahwa mereka sudah lama pisah ranjang, dan sebagainya, dan sebagainya.

Akun Gosip dan Media Mainstream

Seakan tak cukup, kini bahkan 24 jam dalam sehari kita bisa meng-update gosip terbaru lewat akun “lambe-lambean”. Akun-akun gosip ini bahkan sekarang menjadi kiblat dari media mainstream.

Inilah jaman di mana wartawan infotainment kalah cepat dari informan tanpa nama, yang sering kali hanya bermodalkan “hengpon jadul“, untuk memergoki seseartis sedang apa dan bersama siapa.

Berkat “jasa” akun-akun itu, sambil sarapan di kantin kita bisa membahas kenapa Citra Kirana mau menerima lamaran Rezky Aditya, atau dengan siapa lagi Nikita Mirzani berseteru. Kita memasukkan mereka dalam obrolan sehari-hari, seolah-olah kita kenal betul dengan wajah-wajah yang sebenarnya hanya kita kenal lewat layar kaca dan dunia maya itu.

Apalagi di jaman sekarang, orang-orang biasa bisa menjadi selebritis dadakan. Tak harus menjadi artis dan tak harus punya karya. Tanpa prestasi pun, cukup dengan sensasi, orang biasa bisa terkenal dan viral.

Inilah zaman di mana segala kegiatan sekecil apapun dilaporkan dan dipamerkan di media sosial. Inilah zaman di mana kita merasa harus berbagi apapun: kesedihan, kebahagiaan, bahkan kalau perlu aib juga kita bagikan.

Kekuatan Jari Para Netizen

Jangan remehkan kekuatan jari para netizen negeri +62. Mereka bisa mengambil asumsi tertentu hanya dengan petunjuk kecil: semisal artis A menikah bulan apa, lalu anaknya lahir bulan apa. Dengan hitungan sederhana itu saja bisa disimpulkan apakah artis A hamil di luar nikah atau tidak.

Mereka bahkan bisa mengira-ngira kapan Mr. B mulai selingkuh hanya dengan melihat sebuah komen atau jempol Mrs. C yang “sedang sial” karena mampir di akun selingkuhannya tanpa perhitungan yang matang.

Jadi, kalau sekedar membongkar identitas asli berdasar inisial atau clue kecil, itu soal gampang. Apalagi yang namanya jejak digital, susah sekali dihapus. Status yang sudah terlanjur di-posting mungkin bisa kita hapus. Tetapi, siapa yang bisa menjamin di seberang dunia sana tak ada orang yang sudah men-screenshoot status tersebut?

Yang namanya berita buruk, dia jauh lebih cepat tersebar, di-repost oleh satu akun ke akun lain, dibahas di satu grup ke grup lain, dibumbui komentar dan asumsi orang-orang, berkembang menjadi bola panas yang melebar kemana-mana.

Ketika Aib Sudah Terbuka

Sungguh mengerikan membayangkan ketika di dunia ini semua orang sudah terbuka aibnya. Murid-murid akan malas mendengar ajaran sang guru di sekolah yang mereka tahu ternyata suka mabuk minuman keras, umat akan muak mendengar ceramah sang kyai yang ternyata suka main judi, dan entah apa yang akan terjadi jika semua pelacur dan bandar narkoba di seluruh dunia bersatu dan membongkar identitas para pelanggannya, dan sebagainya, dan sebagainya.

Bersyukurlah karena Allah masih berkenan menutup aib kita hingga di mata keluarga dan teman-teman, kita tampak manis, baik, dan tak patut dibenci. Andai saja kenikmatan satu itu Allah ambil sedikiiit saja, entahlah apakah ayah-ibu kita masih mau mengakui kita sebagai anaknya.

Entah apakah kakak-adik kita kita masih mau membela kita. Entah apakah teman-teman sudi bergaul dengan kita atau bahkan sekedar menoleh pada kita. Entah apakah pasangan dan anak-anak kita masih mau mengakui kita sebagai suami, istri, atau orang tuanya.

Entah apakah kita sanggup melihat rekaman perjalanan hidup kita di hari akhir kelak. Di dunia, kita masih bisa berkelit dengan bermacam alasan. Namun di sana, semua aib – walau hanya tersimpan dalam hati — tak akan sanggup kita bantah dan tutupi.

Jika suatu saat aib kita terbuka sedangkan kita tak lagi malu karenanya – bahkan malah merasa bangga – maka kita harus waspada. Karena pada saat itu, mungkin sudah tak ada lagi bedanya, antara kita dengan sepasang orang gila di Cibaduyut itu.

 

 

 

 

1
0
Fatma Ariana ◆ Active Writer

Fatma Ariana ◆ Active Writer

Author

Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.

1 Comment

  1. Avatar

    di jaman TVRI menjadi satu-satunya siaran di layar kaca, dan juga saat media cetak masih menjadi raja dan ratunya sumber berita, nyaris setiap orang tua senang ketika anak-anaknya rajin menyimak media-media itu.
    sekarang ? saat anak-anak menonton televisi, remote control harus siap kita sambar dan tekan. di acara anak-anak pun, sering masih lewat entah berupa running text atau pun iklan yang tak sesuai untuk mereka. koran cetak yang mestinya hendak saya lestarikan menjadi bahan bacaan mereka pun seringkali harus saya sembunyikan. ada banyak berita yang tak elok sejak di judulnya.
    dan memproteksi total itu sulit. sulit sekali.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post