Proyek Perubahan, Quo Vadis?

by | May 3, 2017 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Kekesalan Presiden Joko Widodo nampak ketika memberikan sambutan pada acara pembukaan Musrenbangnas tahun 2017 baru-baru ini.  Presiden menyampaikan tentang perlunya saat ini menyusun perencanaan yang fokus, integrasi program pusat-daerah, dan melakukan inovasi di berbagai bidang untuk memenangkan persaingan global. Seyogyanya hal itu membuka pikiran para Pimpinan Instansi di negeri ini.

—-

Salah satu faktor utama ketidakmampuan kita dalam mencapai kemandirian ekonomi adalah rendahnya daya saing akibat lemahnya inovasi.  Di ASEAN, per Februari 2017 daya saing Indonesia (4,52) menduduki peringkat ke 6, masih di bawah Thailand (4,64), Malaysia (5,16), Singapura (5,72), dan Brunei Darussalam (5,8), dan lebih baik dari Philipina (4,36), Vietnam (4,31), Laos (3,93), Myanmar (3,32), dan Timor Leste (3,17).

Avanti Fontana dalam bukunya Innovate We Can!, menggarisbawahi bahwa inovasi tidak hanya berlaku pada dunia usaha saja, namun juga sektor publik dan masyarakat (societas). Inovasi di sektor publik, bukan hanya sekedar menciptakan “kebaruan”, namun kebaruan yang mampu memberikan nilai guna/tambah bagi  dunia usaha dan masyarakat.

Kemandirian ekonomi negeri ini tidak dapat dipungkiri juga dipengaruhi oleh kinerja pelayanan birokrasi dalam arti luas pada semua sektor. Oleh karenanya, para profesional birokrat pada semua sektor dituntut mampu menciptakan inovasi yang dapat memberi nilai guna/tambah yang berarti bagi dunia usaha dan masyarakat umum (societas).

Ketiadaan inovasi pada dunia usaha akan membawa pada kebangkrutan karena kalah dalam persaingan. Kejumudan birokrasi dalam menciptakan inovasi pelayanan publik akan mempengaruhi dunia usaha dan masyarakat, dan dapat menciptakan kondisi “negara gagal”.

Saya jadi teringat dengan inovasi “proyek perubahan” pada diklatpim yang diciptakan oleh Almarhum bapak Agus Dwiyanto semasa beliau mejabat sebagai Kepala LAN periode 2013 – 2015. Inovasi tersebut bertujuan membentuk pemimpin perubahan dan memperluas arus perubahan di birokrasi sektor publik, serta mampu melahirkan pemerintahan berkinerja tinggi, pemerintahan berkelas dunia. Kebutuhan untuk mencetak pemimpin perubahan tersebut sangat mendesak karena negeri ini dihadapkan pada tantangan global yang semakin kompleks.

Proyek perubahan yang diciptakan oleh pejabat publik yang mengikuti diklatpim diharapkan dapat diterapkan di instansi masing-masing setelah selesai mengikuti diklatpim. Sayangnya, tujuan yang diharapkan oleh “bapak perubahan” tersebut tampaknya belum sepenuhnya sesuai harapan. Jika sudah tercapai, mungkin hari ini kondisi birokrasi kita tidak begini keadaannya.

Padahal, sejak tahun 2013 ribuan pejabat profesional birokrasi sudah mengikuti diklatpim dan menghasilkan berbagai proyek perubahan. Pertanyaannya, dimana sekarang semua proyek-proyek perubahan itu?

Meskipun para peserta diklatpim dimentori oleh atasannya sendiri selama proses pembelajaran, namun hal itu belum tentu menjamin proyek perubahan yang “mereka” ciptakan bisa langsung diterapkan. Meskipun selama diklatpim secara individu peserta akan bertambah pengalamannya dalam  mengelola inovasi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan, namun apalah artinya jika proyek perubahan tersebut tidak diterapkan. Mubazir, bukan? Di sisi lain, sayangnya LAN pun juga tidak punya otoritas untuk melakukan pemantauan setelah itu.

Bisa jadi, ada kelemahan dalam kualitas ide atau rancangan proyek perubahan yang diusulkan oleh peserta diklatpim. Dengan kata lain, proyek perubahan yang diciptakan tidak betul-betul inovatif. Kualitas proyek perubahan yang tidak memberikan nilai guna/tambah bagi instansi asal, dunia usaha, dan masyarakat, akan percuma untuk diterapkan.

Jika kecenderungannya semakin banyak yang tidak inovatif, maka dikuatirkan proyek perubahan diklatpim hanya akan menjadi instrumen kelulusan semata. Lantas, apa sesungguhnya kendala penerapan berbagai proyek perubahan yang diciptakan dalam diklatpim?

Selain diperlukan daya tahan (endurance) dari alumni diklatpim dalam implementasinya, seyogyanya juga ada kemauan baik (goodwill) pemerintah sendiri untuk mengakomodir penerapan berbagai proyek perubahan inovatif yang telah diciptakan selama ini. Proyek perubahan, sekali lagi, bukan hanya sekedar pelengkap kelulusan semata diklatpim bagi profesional birokrat. Kemanfaatannya harus juga dirasakan oleh dunia usaha dan warga masyarakat secara luas, untuk memperkuat daya saing negeri ini di kancah persaingan global.

 

 

1
0
Tiar Muslim ▲ Active Writer

Tiar Muslim ▲ Active Writer

Author

Tak ada yang bisa kutulis tentang diriku. Nikmati saja aku.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post