Pendidikan Di Tengah Keterbatasan

by | May 21, 2020 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Satu bulan lebih, kebijakan Belajar dari Rumah atau Learning From Home (LFH) diterapkan. Selepas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease, dunia pendidikan kita seketika mengubah pendekatan belajar keluar dari rutinitas kesehariannya.

Pemerintah berstrategi mengimplementasikan gagasan Merdeka Belajar  secara lebih cepat dan masif melalui kebijakan LFH tersebut. Di lain pihak, sekolah bergegas menyiapkan skema dan pendekatan belajar jarak jauh. Di pihak lainnya, orangtua bersiap mengambil peran lebih  dalam aktivitas belajar anak di rumah. Semua komponen bergerak serempak mengubah pendekatan pendidikan saat ini, baik secara sistematis maupun sporadis.

Berbagai respon tersebut sudah cukup memberikan gambaran bahwa semua pihak bersepakat, belajar tetap harus berjalan walau di tengah keterbatasan. Orangtua diserahkan peran  penuh dalam pembelajaran siswa yang biasanya menjadi ranah sekolah dan guru. Sumber-sumber belajar dan pendekatan pembelajaran menjadi kewenangan mutlak siswa dan orang tua, yang biasanya hanya diarahkan oleh guru dan sekolah melalui interaksi di dalam kelas.

Metode belajar digunakan dengan memanfaatkan inovasi dan berbagai media, dengan tujuan agar aktivitas pembelajaran di rumah tetap mampu dijalankan selayaknya proses belajar yang biasanya berlangsung di sekolah. Belajar memang tidak selalu harus di sekolah.  

Kendala Proses Belajar

Dalam praktiknya, kebijakan LFH menjadi pembuka tabir bahwa ada banyak hal yang belum sepenuhnya dipahami dalam proses pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajaran digital misalnya, dibangun pada konstruksi berpikir general, bahwa praktik belajar di era digital adalah aktivitas belajar yang membutuhkan dukungan penuh fasilitas yang memadai berbau teknologi.

Semakin canggih perangkat belajar, semakin berkualitas pembelajaran yang dilakukan. Ketika guru ditanyakan tentang konsep pembelajaran digital di dalam kelas, penggunaan komputer, internet dan materi presentasi, menjadi lebih banyak mereka pahami dibandingkan dengan optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang tersedia melalui inovasi dan pendekatan strategis dalam pembelajaran.

Hal serupa juga terjadi pada praktik LFH. Pada banyak kasus, proses pembelajaran jarak jauh di rumah pada sekadar diartikan pada pelaksanaan pembelajaran melalui video/teleconference dengan pemanfaatan berbagai perangkat digital tanpa adanya proses persiapan pembelajaran dan pendampingan belajar.

Pembelajaran kurang dimaknai sebagai pemanfaatan model-model layanan pendidikan yang sifatnya terstruktur dan bersifat kontekstual yang mempertimbangkan kemampuan siswa dan orangtua.

Padahal, di beberapa daerah masih ditemukan praktik belajar di rumah tanpa perangkat digital dan aktivitas daring, namun dibangun melalui inisiatif guru yang melakukan “jemput bola” dengan mengunjungi siswa ke rumah demi memantau pembelajaran yang berlangsung di rumah.

Praktik tersebut bisa jadi dirasa lebih efektif memantau perkembangan belajar siswa dibandingkan berbagai aktivitas daring dengan kendala infrastruktur yang selalu dilematis karena belum mampu sepenuhnya tertuntaskan. Kondisi ini yang kemudian memunculkan dampak pelaksanaan LFH dirasakan tidak nyaman untuk siswa dan orangtua.

Kendala Hasil Belajar

Penentuan target pencapaian hasil belajar siswa dalam praktiknya juga menemukan kendala. Hasil Survei Cepat Pembelajaran dari Rumah dalam Masa Pencegahan Covid-19 yang dirilis Kemendikbud menunjukkan bahwa, 51,6% guru masih mengejar ketuntasan kurikulum dalam aktivitas pembelajaran mereka di LFH ini.

Padahal, sebagai sebuah praktik Merdeka Belajar, LFH memberikan ruang terbuka kepada guru untuk bereksplorasi menerapkan prinsip kemerdekaan belajar yang sesungguhnya, yaitu merumuskan kembali komitmen pada tujuan belajar yang ingin dicapai.

Dari konsep itu, fleksibilitas perlu dipahami dengan lebih jauh dalam praktik belajar. Otonomi pembelajaran yang diberikan tidak sekadar dimaknai pemberian kebebasan dan kesempatan yang diberikan dalam praktik belajar, tetapi harus mengacu pada target capaian belajar yang disepakati di awal ketika pembelajaran akan dijalankan.

Target pencapaian tujuan belajar perlu dirumuskan ulang untuk tidak sekadar mengejar ketuntasan kurikulum dan bahan ajar, namun pemahaman dan penguasaan keterampilan hidup siswa. Siswa perlu cakap dan terampil agar mampu berjuang mempertahankan hidupnya saat ini dan di masa yang akan datang. Ini yang harus sepenuhnya dipahami oleh guru, orang tua dan juga siswa.

Orangtua didorong untuk mampu melibatkan secara aktif anak-anak mereka dalam upaya menetapkan prioritas pembelajaran sehari-hari di rumah. Guru diberikan otonomi untuk melakukan penyederhanaan dalam pembelajaran, dengan tidak memberikan arahan instruksional yang kaku tentang bagaimana seharusnya siswa belajar di rumah.

Penyesuaian aktivitas belajar juga dapat disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang siswa yang beragam, dan akan menjadi sangat sulit memaksakan satu metode pembelajaran yang harus dilakukan oleh guru dengan segala keterbatasannya.

Di ranah tersebut, aktivitas belajar dimaknai lebih cair dan fleksibel. Siswa dibebaskan untuk menyesuaikan kebutuhan dirinya akan belajar. Guru lebih banyak melatih siswa untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan belajarnya.

Kemampuan tersebut penting dimiliki siswa, selaras dengan karakteristik generasi yang oleh David Stillman (2017) dalam bukunya Gen Z at Work: How The Next Generation is Transforming the Workplace, yang menyebutkan bahwa salah satu karakteristik generasi muda saat ini adalah hiperkustomisasi terhadap kebutuhannya sendiri.

Metode Flipped-Classroom

Membalik proses pembelajaran, harus mulai menjadi keseharian praktik di sekolah-sekolah kita. Siswa perlu lebih banyak dibebaskan untuk mencari sendiri bahan belajar di luar aktivitas di kelas atau di rumah mereka, untuk kemudian didiskusikan secara lebih intensif dalam aktivitas belajar di dalam kelas.

Pada konsep ini, siswa masuk ke dalam kelas dengan berbekal pemahaman tentang kebutuhan belajarnya, dan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah penegasan tentang pemahaman kebutuhan yang telah dimiliki setiap siswa. Ini yang dalam pendekatan pembelajaran dinamakan sebagai flipped-classroom.

Hasil kajian tentang Digitalisasi Pembelajaran yang Berkualitas dan Inklusif dari Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemendikbud (2019) menunjukkan 67,5% guru menyepakati bahwa metode flipped-classroom dalam pembelajaran dinilai lebih efektif dibandingkan dengan metode belajar tatap muka satu arah yang biasa terjadi di dalam kelas.

Aktivitas belajar di luar sekolah mendorong pembelajaran dapat dilakukan dengan didasarkan pada pemahaman tentang kondisi dan kebutuhan anak-anak yang sesungguhnya. Siswa melalui orangtua diberikan otonomi yang memerdekakan dalam mengelola proses belajaranya sehari-hari.

Anak-anak lebih banyak didekatkan dengan keluarga inti mereka untuk dapat saling belajar dan memberikan masukan. Orangtua berperan sebagai fasilitator belajar, namun aktivitas belajar tetap diserahkan sepenuhnya kepada anak-anak.

Konsep itu serupa dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh Peter Gray (2011) dalam Freedom To Learn: The Roles of Play and Curiosity as Foundations of Learning, bahwa sesungguhnya orang dewasa tidak dapat mengintervensi pengalaman belajar anak-anak, karena anak-anaklah yang mampu mengedukasi dirinya sendiri.

Pada ranah ini, LFH memberikan keleluasaan pada anak-anak untuk menemukan hakikat belajarnya, didorong pada keyakinan bahwa pada dasarnya, setiap anak dapat bertumbuh secara alami melalui prinsip mencontoh dan menduplikasi lingkungannya tanpa harus selalu mendapatkan pendidikan pada institusi formal bernama sekolah.

Pengalaman beberapa sekolah di negara maju telah menunjukkan bahwa mekanisme ini dapat berjalan. Salah satunya seperti yang terjadi di Sudbury Valley School, Massachusetts Amerika yang dinilai berhasil menerapkan konsep belajar melalui pendekatan budaya berburu dan meramu (hunter-gatheres) di masa lalu, dan memberikan pembuktian bahwa sejak ratusan ribu tahun yang lalu, anak-anak mampu mendidik diri mereka sendiri melalui aktivitas bermain secara mandiri dan mengeksplorasi alam secara bebas.

Refleksi Atas Keterbatasan

Belajar tetap harus berjalan walau di tengah keterbatasan. Oleh karenanya, setiap aktivitas belajar harus berfokus pada upaya reflektif atas keterbatasan itu sendiri. Refleksi dilakukan untuk menilai pencapaian yang telah dilakukan dalam pembelajaran yang dijalankan.

Pada praktik LFH, sikap reflektif dapat diwujudkan dalam pembiasaan melakukan dokumentasi proses dan hasil belajar yang telah dilakukan. Fungsinya selain sebagai bahan penilaian guru, dan juga merupakan media untuk melatih siswa terbiasa mengkritisi hasil kerjanya dan terlibat dalam mengawasi proses metakognisi melalui pengalaman belajarnya.

Guru juga perlu intensif membuka ruang-ruang diskusi terbuka dengan orangtua dan siswa mereka tentang rutinitas belajar mereka di luar sekolah. Pertemuan tatap muka guru dan siswa harus mampu membangun motivasi siswa untuk terbiasa menyampaikan gagasannya secara terbuka tentang pengalaman belajar serta kebutuhan mereka akan belajar selama ini.

Pendidikan harus menjadi media penumbuhan upaya-upaya demokratisasi dalam  pembelajaran. Penyesuaian bentuk-bentuk asesmen pembelajaran menunjukkan bahwa self regulation pada siswa, orangtua dan juga guru adalah pencapaian puncak terhadap aktivitas pembelajaran yang terjadi selama ini.

LFH menekankan pada pemberian kesempatan pada siswa untuk bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pengawasan serta melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang dilaluinya. Ini yang kemudian diharapkan akan menjadi umpan balik yang membantu semua aktor menemukan celah dan kekurangan dalam praktik pembelajaran yang dijalankan selama ini di sekolah. Baik di ranah praktik maupun kebijakan.

Epilog

Momentum pelaksanaan kebijakan LFH ini menjadi pintu pembuka berbagai kekurangan dan kelemahan dalam pendidikan Indonesia selama ini untuk selekasnya dapat diperbaiki. LFH menyadarkan banyak pihak bahwa melakukan variasi pendekatan pembelajaran dengan sistem tatap muka di dalam kelas melalui metode semacam flipped-classroom ataupun blended-learning, akan memudahkan efektivitas dan fleksibilitas pembelajaran di masa depan.

Selain itu, LFH dapat menjadi salah satu indikator dan media ujicoba perencanaan pendidikan Indonesia di masa depan yang ingin memerdekakan. Apakah gagasan Merdeka Belajar akan benar-benar mampu diimplementasikan di tengah keterbatasan, atau sekadar menawarkan kemerdekaan semu tanpa efektivitas dalam pencapaian menjembatani anak-anak pada pengalaman belajar mereka yang berkesan dan menyenangkan.***

0
0
Diyan Nur Rakhmah ◆ Professional Writer

Diyan Nur Rakhmah ◆ Professional Writer

Author

Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud-Ristek.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post