Pelajaran dari Sang Penyintas Badai Covid-19 Berat

by | Oct 2, 2020 | Motivasi | 0 comments

Analisis dan Kronologis Terpapar Covid-19

Saya telah berusaha waspada terhadap Covid-19 saat awal pandemi. Saya yang biasanya “Roker Bogor Jakarta” (rombongan penumpang kereta api Bogor-Jakarta) alias KRL lovers langsung putus hubungan dengan angkutan umum begitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan.

Saya paksakan diri saya untuk membawa mobil pribadi ke kantor meskipun lelah letih mendera karena menyetir. Untungnya seminggu hanya diwajibkan sekali ke kantor di Jakarta atau WFO (work from office).

Empat hari kerja lainnya WFH (work from home). Dua hari libur ya di rumah. Protokol Covid-19 pun saya jalankan semaksimal mungkin dengan menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan menggunakan sabun. Karena itu saya merasa aman dari terpapar Covid-19.

Karena itu timbul pertanyaan di manakah saya terpapar Covid-19?

Apakah terpapar di kantor saya?

Mari kita analisis. Lingkungan kantor saya adalah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang berkantor pusat di Jalan Dr. Wahidin 1 Jakarta Pusat.

Kantor saya menerapkan protokol Covid-19 ketat. Setiap hari hanya 15% yang boleh WFO. Karenanya seorang pegawai hanya WFO satu hari, 4 hari lainnya WFH di rumah. Setiap masuk kantor kami disemprot.

Liftnya diatur posisi berdiri, bahkan ada yang semestinya menghadap dinding. Meskipun praktik di lift ini terkadang tidak sesuai protokolnamun secara umum protokol Covid-19 di kantor saya cukup ketat.

Apakah saya terpapar Covid-19 di kantor? Bisa ya bisa juga tidak. Saya demam pertama kali 23 Juli 2020. Berdasarkan masa inkubasi 2-14 hari berarti saya terkena pada 10 Juli-21 Juli 2020. Saya WFO pada 16 Juli 2020.

Seharusnya saya WFO juga pada 22 Juli 2020 tetapi karena ada demo di depan kantor, saya yang sudah sampai di jalan depan kantor memutuskan pulang karena mobil saya tidak bisa masuk ke dalam kantor.

Apakah pada 16 Juli saya terkena di kantor? Memang beberapa  teman kantor sudah ada yang positif Covid-19 sebelumnya, namun saya tidak pernah berinteraksi dengan teman-teman kantor yang positif Covid-19.

Menurut saya kemungkinan saya terpapar dari lingkungan kantor saya sangat kecil. Alasan lainnya, beberapa teman kantor yang positif Covid-19 belum tentu terpapar dari lingkungan kantor. Oleh karena itu, kemungkinan saya terpapar dari lingkungan kantor semakin kecil.

Apakah saya terkena dari lingkungan sekitar rumah saya?

Karena kami waspada Covid-19 di lingkungan kami, begitu PSBB Kab Bogor diberlakukan, sebagai ketua DKM masjid di lingkungan kami, saya memutuskan penutupan dua kali sholat Jumat. Ini bukan keputusan mudah.

Setelah itu masjid dibuka dengan protokol: membawa sajadah sendiri, menggunakan masker, menjaga jarak, tidak salaman, dan cuci tangan menggunakan sabun.

Karena memang lingkungan saya beragam pengetahuannya soal Covid-19, maka praktiknya:

  1. membawa sajadah sendiri; mayoritas (80% jamaah) melakukannya,
  2. menggunakan  masker banyak yang abai; hanya 3-4 orang yang menggunakan masker (termasuk saya),
  3. tidak bersalaman (yang merupakan kebiasaan setelah sholat); lumayan dipatuhi, dan
  4. mencuci tangan menggunakan sabun juga berjalan.

Dengan kondisi demikian maka probabilitas saya terpapar dari lingkungan sekitar rumah ini cukup besar. Ketika WFH saya biasa melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang ada di lingkungan sekitar rumah.

Terkadang saya juga ikut rapat-rapat masjid karena saya adalah ketua DKM Masjid Al Barokah yang ada di lingkungan sekitar rumah saya. Sesekali saya juga keluar rumah untuk membeli buah-buahan.

Aktivitas-aktivitas ini sangat memungkinkan tertular Covid-19 karena di daerah Ciomas pelaksanaan Covid-19-nya terhitung longgar pada bulan Juli 2020 tersebut. Banyak masyarakat yang belum mematuhi protokol Covid-19 terutama protokol menggunakan masker.

Bila benar saya terpapar dari lingkungan di sekitar rumah, maka ini memberikan bukti tambahan bahwa bila kita menggunakan masker tetapi berinteraksi dengan orang-orang yang tidak menggunakan masker, akan tetap berisiko tertular Covid-19.

Artinya, bila ingin aman maka kita yang menggunakan masker hendaknya berinteraksi dengan orang-orang yang juga menggunakan masker kecuali ada keadaan yang mendesak untuk kita berinteraksi dengan orang yang tidak menggunakan masker.

Pada saat saya terpapar di periode 10-21 Juli 2020 tersebut, saya terkena Covid-19 bersama-sama dengan beberapa tetangga saya. Karena itu kemungkinannya saya tertular dari lingkungan sekitar rumah saya sangat besar.

Saya dan beberapa tetangga tersebut terkena bersamaan dan merupakan kasus positif Covid-19 yang terdeteksi pertama kali di lingkungan rumah saya, maka saya menduga kami terpapar oleh OTG (orang tanpa gejala) yang berinteraksi dengan kami.

OTG ini sangat dimungkinkan karena di lingkungan kami memang banyak yang berinteraksi dengan lingkungan Jakarta saat mereka bekerja. Kemungkinan terpapar dari lingkungan sekitar rumah ini besar menurut saya. Saya ingat bahwa pada periode 10-21 Juli 2020 tersebut saya pernah melakukan rapat masjid di serambi masjid yang terbuka.

Deteksi Thypus dan Terkena Hypoxia Saat Terpapar Covid-19

Saya demam sejak tanggal 23 Juli 2020 disertai lemas tak bertenaga. Saya tidak menduga bahwa deman dan lemas tak bertenaga tersebut terkait dengan Covid-19 karena tidak ada ciri lain seperti batuk, pilek, ataupun sakit tenggorokan.

Karena itu untuk sekitar 3 hari saya hanya dirawat oleh isteri di rumah sendiri. Ketika tiga hari ternyata demam saya tidak juga reda, saya pun ke dokter praktik di Ciomas yang dekat dengan rumah.

Di sana saya diberi obat dan diminta untuk ke laboratorium untuk cek darah. Hari berikutnya saya cek darah di laboratorium Prodia dan hasilnya ternyata tidak ada yang mencurigakan. Hanya ada sedikit kemungkinan terjadi thypus.

Oleh dokter yang telah melihat hasil cek darah dari Prodia, saya diminta untuk meminum obat yang telah diberikan.  Sekitar tanggal 30 Juli demam saya reda namun lemas tak bertenaga saya masih ada.

Saya pun kembali ke dokter praktik tersebut dan disarankan untuk ke rumah sakit, di-rontgen dan dicek darah kembali. Saya pun ke RS Ummi Bogor namun karena penuh akhirnya saya ke RS Melania Bogor.

Hasil rontgen di RS Melania Bogor menunjukkan paru-paru saya dalam keadaan buruk, terdapat kabut putih pada bagian bawah kedua paru-paru saya. Hasil cek darah pun mendukung hasil rontgen tersebut. PO2 saya ternyata hanya 64, menunjukkan saya terkena Hypoxia –yaitu rendahnya jaringan fungsi-fungsi tubuh menyerap oksigen dalam darah.

Timbul pertanyaan besar terkait hypoxia tersebut karena saya tidak komorbid, atau punya penyakit penyerta bawaan. Setiap tahun saya melakukan general checkup ­–yang terakhir di akhir tahun 2019 menunjukkan tidak adanya penyakit dalam tubuh saya.

Kemudian saat saya cek darah ke Prodia setelah demam tidak terdeteksi penyakit lain kecuali kemungkinan gejala thypus –itupun yang kemungkinannya sangat kecil.

Bagaimana menjelaskan kasus hypoxia yang menimpa saya? Menurut saya hal itu dapat dijelaskan dengan kemungkinan terjadinya badai sitokin.

Inti dari badai sitokin adalah adanya gangguan pada sitokin yang seharusnya memberikan sinyal secukupnya agar pasukan sistem imunitas tubuh datang. Ternyata, terjadi error dengan memberikan sinyal yang berlebihan, mengakibatkan pasukan imunitas tubuh tersebut berlebihan jumlahnya.

Sehingga, tidak hanya membasmi virus tetapi juga menyerang jaringan fungsi tubuh sendiri. Badai sitokin ini dalam kaitannya dengan Covid-19 sering berdampak negatif pada sistem pernafasan kemudian mengakibatkan hypoxia.

Berlebihannya pasukan imunitas tubuh pada diri saya setidaknya dapat dilihat dari meningkatnya jumlah leukosit hingga mencapai 21.000 dari jumlah normal sekitar 5.000-10.000. Dua kali lipat lebih jumlah leukosit yang berusaha menjalankan peran imunitas tubuh dalam menghadapi virus yang masuk ke dalam diri saya.

Strategi Bahagia untuk Meningkatkan Imunitas Tubuh

Saya di-swab pertama kali pada tanggal 4 Agustus 2020 dan hasilnya keluar pada tanggal 6 Agustus 2020. Pada dini hari 6 Agustus 2020 saya dipindahkan dari RS Melania Bogor ke RSPG Cisarua karena kondisinya buruk (terjadi hypoxia pada angka PO2 64) yang bisa berakibat kematian.

Bahkan, kondisi saya sempat memburuk dengan hypoxia 55,8. Secara teoritis saya harusnya mengalami sesak nafas dan akan membutuhkan ventilator pernafasan. Itulah alasan utama saya dipindahkan ke RSPG Cisarua.

Namun ternyata, saya tidak mengalami sesak nafas karena “Happy Hypoxia Syndrome”. Padahal, sindrom ini sangat membahayakan karena pasien seolah-olah tidak merasakan kesulitan nafas meskipun kadar oksigen dalam darah yang berhasil diserap oleh jaringan-jaringan fungsi tubuhnya anjlok (hypoxia).

Hypoxia ini bila tidak diatasi segera dapat menyebabkan kematian bila tubuh pasien tidak lagi mampu dengan kondisi sedikitnya oksigen dalam darah yang mampu diserapnya tersebut.

Oleh karena itu, meskipun saya tidak kesulitan nafas tetapi saya tetap diberi selang oksigen untuk menjaga pernafasan saya. Di RSPG Cisarua saya tidak jadi diberikan ventilator pernafasan karena dengan selang oksigen yang dimasukkan ke lubang hidung tersebut sudah mencukupi.

Pada tanggal 7 Agustus 2020 saya dipindahkan ke ruang bertekanan negatif dan saat itulah saya diberitahu bahwa hasil swab test saya positif. Karenanya saya mulai mengambil sikap untuk menentukan strategi terbaik untuk diri saya.

Strategi yang saya pilih adalah strategi untuk tetap bahagia dalam menghadapi Covid-19 yang sudah menyerang saya. Strategi tersebut saya pilih karena imunitas tubuh sangat penting dan kondisi BAHAGIA saya yakini mampu meningkatkan imunitas tubuh saya.

Strategi tersebut saya tuliskan dalam tulisan pendek berjudul “Hati Yang Bahagia” dan saya share di grup-grup Whatsapp (WA). Hal ini memunculkan dukungan secara masif dari teman-teman di grup-grup WA.

Strategi bahagia  tersebut tidak mulus tentunya karena adanya halangan yang sedikit menyulitkan. Halangan itu berupa kamar bertekanan negatif yang diperuntukkan untuk saya. Kamar tersebut intinya menyedot segala infeksi dan mengganti udara dengan udara yang berkualitas terbaik.

Akan tetapi, efek samping dari sistem kamar bertekanan negatif tersebut adalah dinginnya kamar yang super-duper dinginnya seperti dinginnya udara Bromo, Dieng, atau Gunung Gede.

Saya menyebutnya sebagai kamar yang dinginnya kulkaswi, alias sedingin kulkas. Tetapi, saya berhasil mengalahkan rasa kedinginan tersebut dengan terus-menerus berinteraksi dengan dunia luar melalui WA maupun facebook.

Apa yang Membantu Recovery?

Saya berusaha mensyukuri segala sesuatu meskipun tampak sepele, untuk bisa menjalankan strategi “tetap bahagia dalam menghadapi Covid-19”. Hal ini mendatangkan tambahan nikmat-nikmat dari Allah SWT. Salah satunya, nikmatnya makanan yang disajikan oleh RSPG Cisarua –sederhana tetapi rasanya sangat pas di lidah dan lezat.

Karena saya merasa sangat terbantu dengan makanan RSPG Cisarua ini, saya pun berusaha mengapresiasi juru masak melalui tulisan saya. Dengan mengapresiasi juru masak melalui postingan di FB tersebut saya merasa bahagia karena telah berterima kasih kepada mereka yang memasak makanan lezat.

Selain makanan, yang juga membantu recovery/penyembuhan adalah dukungan dari keluarga, sahabat, dan teman-teman. Doa dan motivasi mereka dapat memberikan kebahagiaan yang meningkatkan imunitas tubuh.

Akhirnya saya dinyatakan sembuh pada tanggal 23 Agustus 2020 setelah swab test saya tanggal 13 dan 14 Agustus 2020 keluar hasilnya (hasilnya sangat lama keluarnya karena waktu itu RSPG Cisarua tidak memiliki alat Real Time PCR sendiri) dan hasil rontgen 23 Agustus 2020 menunjukkan kondisi paru-paru saya telah baik.

Cerita lengkap terkait apa yang saya alami semenjak demam hingga sembuh dari Covid-19  terdapat pada novel terbaru saya yang berjudul Gelombang Cinta & Nikmat Sang Penyintas Badai Covid-19 (HP/WA-08979560850).

Pelajaran yang Dapat Diambil

Pelajaran yang dapat diambil untuk menghadapi Covid-19 intinya adalah menjaga dan meningkatkan imunitas tubuh kita. Selain makanan empat sehat lima sempurna, perlu juga makanan hati berupa bahagia untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Agar kita bisa menjaga untuk tetap bahagia maka kita harus mampu mensyukuri nikmat-nikmat sekecil apa pun, termasuk di antaranya dengan memberikan apresiasi kepada orang-orang yang telah memberikan dukungan kepada kita.

Demikian, semoga sharing saya bermanfaat dalam upaya kita menghadapi pandemi Covid-19.

2
0
Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Author

Auditor Madya pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang fokus pada internal control dan risk management serta memiliki hobi menulis novel.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post