New Normal dan Guncangan Sosial Menuju Equilibrium Baru

by | Jun 2, 2020 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Menjelang Lebaran 2020, warganet Lumajang dikejutkan dengan sebuah foto yang diambil dari sebuah pusat perbelanjaan di kota Lumajang. Gambar tersebut menyajikan sebuah fakta: masyarakat mengabaikan himbauan untuk menjaga jarak aman dan tidak berkerumun dalam jumlah lebih dari 10 orang, sebagaimana amanat pasal 3 Perbup No. 16 tahun 2020.

Presiden Joko Widodo telah menetapkan Penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional yang bersifat nonalam sebagaimana Keputusan Presiden No. 12 tahun 2020. Hal ini karena bencana non-alam yang disebabkan oleh penyebaran COVID-19 telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas.

Oleh karena itulah diperlukan upaya percepatan penanganan agar penyebaran COVID-19 dapat diputus melalui kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Misalnya, dengan cuci tangan pakai sabun, menggunakan masker 2 lapis, menjaga jarak aman, dan tidak berkerumun.

Namun, tampaknya kepatuhan terhadap protokol kesehatan, khususnya menjelang hari raya Idul Fitri lalu tidak lagi diindahkan oleh masyarakat Lumajang. Hal ini tentunya menjadi keprihatinan tersendiri karena di saat jumlah kasus pasien positif COVID-19 terus meningkat, ternyata sikap masyarakat cenderung abai terhadap protokol kesehatan tersebut.

Risiko Kematian Akibat COVID-19

Menurut situs alodokter.com per tanggal 14 Mei 2020, case fatality rate atau tingkat kematian yang disebabkan oleh COVID-19 di Indonesia mencapai 6,5%.

Jika dikategorikan dengan menggunakan kelompok usia, maka diperoleh data bahwa tingkat kematian tertinggi adalah pada kelompok usia diatas 46 tahun, yaitu mencapai 26,2%. Sedangkan jika didasarkan pada data dari seluruh penderita COVID-19 yang meninggal dunia, maka persentase kematian tertinggi juga berada pada usia diatas 46 tahun, yaitu 74,6%.

Hal ini semestinya memberikan pemahaman bahwa kelompok yang paling rentan terhadap penyebaran COVID-19 adalah mereka yang telah “cukup” berumur, yaitu di atas usia 46 tahun. Sedangkan mereka yang berada di bawah usia 46 tahun, meskipun juga dapat meninggal dunia, tetapi kemungkinannya tidak sebesar mereka yang berusia di atas 46 tahun.

Oleh karena itulah, himbauan dan aturan untuk selalu mematuhi protokol kesehatan bukanlah semata-mata untuk menyelamatkan diri kita yang berusia di bawah 46 tahun, melainkan secara khusus untuk mereka yang telah berusia di atas 46 tahun, karena mereka rentan.

Bahkan, masih menurut situs alodokter.com, seseorang yang terpapar COVID-19 bisa juga tidak menunjukkan gejala apapun, sehingga tidak perlu memeriksakan diri ke Rumah Sakit, cukup tinggal di rumah selama 14 hari dan membatasi kontak dengan orang lain. Inilah kenapa kita harus patuh menjalankan protokol kesehatan.

Realitas Kesehatan Masyarakat: Idul Fitri vs COVID-19

Lalu kenapa masyarakat (Lumajang), khususnya menjelang hari raya idul fitri tidak mengindahkan protokol kesehatan tersebut? Menurut pendapat penulis hal ini karena COVID-19 masih belum menjadi realitas keseharian masyarakat. Hal ini tentu saja berbeda dengan realitas perayaan Idul Fitri yang telah menjadi tradisi.

Idul Fitri selalu identik dengan baju baru, silaturahim, dan makanan sebagai perayaan. Masa pandemi COVID-19 tidak akan menghalangi niat masyarakat untuk tetap membeli baju baru dalam keadaan berdesak-desakan. Dengan kata lain, masyarakat lebih takut untuk tidak merayakan hari raya daripada terinfeksi COVID-19.

Mengacu pada teorinya Emile Durkheim tentang fakta sosial, maka merayakan Idul Fitri dengan membeli baju baru dalam pandangan penulis merupakan sebuah fakta sosial. Membeli baju baru merupakan sesuatu yang secara nilai, budaya, dan norma telah mengendalikan tindakan dan kepercayaan individu masyarakat secara keseluruhan.

Dengan demikian, keputusan untuk berbelanja bukanlah keputusan individual, melainkan sesuatu yang telah mengalami obyektivasi menjadi lebih dari sekedar tindakan. Berbelanja baju baru merupakan moralitas obyektif yang sui generis dalam kehidupan masyarakat.

Fakta Sosial dan Kebijakan New Normal

Selanjutnya, Emile Durkheim selalu menegaskan bahwa sebuah fakta sosial merupakan segenap bentuk keberlakuan, terpaku atau tidak, yang dapat menderakan kepada seorang insan kekangan eksternal atau lainnya, segenap bentuk keberlakuan umum dalam sebuah masyarakat yang pada saat yang sama hadir pada dirinya sendiri terlepas dari manifestasi individualnya.

Oleh karena itulah, apabila seseorang tidak membeli baju baru menjelang hari raya Idul Fitri akan ada kemungkinan seseorang tersebut akan mendapatkan gunjingan sosial, setidaknya berasal dari internal keluarganya. Membeli baju baru telah memenuhi syarat sebagai fakta sosial karena kebiasaan membeli baju baru telah ada sejak lama, dan sifatnya koersif berupa gunjingan sosial jika tidak membeli baju baru dalam merayakan Idul Fitri.

Selain fakta sosial berbelanja baju baru tersebut, fakta sosial masyarakat lainnya yang tidak bisa dikekang adalah kebiasaan kebersamaan, kerjasama, solidaritas, atau bentuk lainnya dalam interaksi sosial.

Bayangkan jika Anda di sebuah perkampungan kemudian tidak pernah berinteraksi sosial dengan masyarakat sekitar. Yang terjadi adalah labeling terhadap anda sebagai orang yang sombong, orang yang nanti jika mati akan menggotong jenazahnya sendiri dan lain sebagainya.

Hal inilah yang (mungkin) dirasakan oleh Presiden Joko Widodo, sehingga berfatwa bahwa masyarakat harus berdamai dengan COVID-19 dan mulai melakukan penyesuaian dalam keseharian (new normal), khususnya menerapkan protokol kesehatan dalam keseharian.

Apakah Presiden Joko Widodo Menyerah?

Menurut penulis tentu saja tidak. Dalam perspektif struktural fungsionalnya Talcott Parson, keadaan new normal tersebut justru merupakan tatanan sosial baru yang akan dijalankan oleh masyarakat setelah mengalami “guncangan sosial”. Bahasa yang digunakan Parsons adalah evolusioner yang tertib.

Guncangan sosial tersebut pada akhirnya akan menjadi sebuah keseimbangan kembali dalam sistem sosial. Inilah yang dinamakan dinamika dalam keseimbangan. Merujuk pada Parsons, maka keadaan new normal yang diharapkan Presiden adalah sebuah upaya integrasi sosial.

Integrasi sosial ini, meskipun tidak pernah dapat dicapai secara sempurna, tetapi secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis. Yaitu, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara. Tujuannya agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya, hanya akan mencapai derajat yang minimal.

Epilog

Keadaan new normal inilah yang akan kita jalani mulai dari saat ini hingga benar-benar ditemukan vaksin yang mampu membumihanguskan COVID-19 dari muka bumi. Belajar hidup di antara COVID-19 bukan berarti kita menyerah, melainkan lebih pada membiasakan protokol kesehatan dalam keseharian.

Bagaimanapun, rasa-rasanya kita memang tidak punya pilihan yang lain lagi, selain meresapi apa hakikat dari new normal dan berusaha menjalaninya. Sebab beradaptasi adalah bagian penting dari eksistensi peradaban manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Tentu saja, penulis turut berdoa, semoga COVID-19 segera musnah dari Indonesia.

1
0
Aksanul Inam ◆ Active Writer

Aksanul Inam ◆ Active Writer

Author

ASN pada Bagian Organisasi, Setda Kabupaten Lumajang, Jawa Timur

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post