New Normal: Bukan Sekedar Perubahan

by | May 30, 2020 | Birokrasi Berdaya | 5 comments

Akhir-akhir ini, istilah “new normal” menjadi primadona baru dalam pergaulan sehari-hari. Dari ibu rumah tangga, kalangan intelektual, hingga politisi dan Presiden, semua beramai-ramai bicara soal new normal. Namun, pemahaman setiap orang terhadap istilah ini sangat berbeda-beda.

Seorang Amien Rais bahkan menilai telah terjadi salah paham mengenai istilah new normal ini, sehingga beliau meminta agar istilah ini tidak dipakai lagi karena bisa mengelabui diri sendiri (CNN Indonesia, 25/05/2020).

Old dan New normal

Untuk itu, saya mencoba memaknai new normal sebagai sebuah tradisi baru yang baik, yang secara terpaksa atau sukarela dipraktikkan secara kolektif sebagai dampak dari penyebaran virus Korona.

Perkuliahan melalui Googleclassroom, rapat-rapat dan pelatihan yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom, belajar di rumah bagi anak-anak SD dengan pemberian penugasan melalui Whatsapp orangtuanya, atau tukang sayur yang melayani pengantaran ke rumah, adalah beberapa contoh rutinitas masyarakat yang dikategorikan sebagai “normal baru”. Kebiasaan mencuci tangan, memakai masker, atau menjaga jarak, baik saat masih ada pandemi maupun tidak, adalah juga new normal.

Namun, apakah benar kita sudah masuk pada era new normal itu?

Saya memiliki pendapat yang berbeda dengan pandangan umum. Saya meyakini bahwa new normal itu belum terjadi dan belum tentu dalam waktu dekat akan benar-benar menjadi kenyataan. Banyak argumen yang bisa menjelaskannya.

Pertama, jika ada new normal berarti ada situasi normal lain yang mendahuluinya, sebut saja “old normal”. Nah, coba perhatikan dengan baik, berapa lama kita hidup dalam era normal terdahulu? Berapa lama kita telah bekerja dengan cara normal, pagi buta berangkat ke kantor, terjebak kemacetan, sampai di kantor langsung absensi, menerima tamu dari luar kota secara tatap muka, berpindah dari rapat yang satu ke rapat lainnya, dan seterusnya?

Atau, sudah berapa lama anak-anak kita belajar secara “normal” di sekolah dengan ibu guru di kelasnya? Lantas, mungkinkah new normal itu terjadi begitu tiba-tiba tanpa proses pembiasaan yang panjang sampai menjadi sebuah habit?

Kedua, dari perspektif manajemen perubahan, apa yang terjadi saat ini sebenarnya barulah sebatas “perubahan”. Tetap tidak ada garansi perubahan itu akan menjadi sebuah norma baru yang akan berlangsung lama.

Model Perubahan

Salah satu teori yang sangat pas untuk menjelaskan fenomena perubahan dalam merespon pandemi Covid-19 adalah teori Kurt Lewin tentang Unfreeze, Change, Refreeze. Tahap unfreeze (mencairkan yang beku) ditandai oleh munculnya peristiwa atau situasi yang memberi urgensi untuk sebuah perubahan. Misalnya, keuntungan perusahaan yang terus merosot, kinerja karyawan, dan iklim kerja yang memburuk, dan seterusnya.

Awal Maret 2020 ketika pertama kali pemerintah mengumumkan adanya pasien positif Covid-19, adanya juga tahap unfreeze. Begitu muncul kesadaran bahwa kita sudah berada di tahap unfreeze, maka dilakukanlah berbagai cara untuk merespon, yang disebut dengan change (perubahan).

Perubahan kerja di kantor menjadi work from home (WFH), atau belajar dan kuliah dari rumah, ibadah dari rumah, belanja dari rumah, bisnis dari rumah, dan sebagainya, adalah tahap kedua dari Change Management Model-nya Lewin.

Pada tahap ketiga atau refreeze (membekukan kembali), perubahan yang terjadi pada tahap kedua tadi harus dilembagakan untuk bisa menjadi kultur baru. Syaratnya, kultur lama harus ditinggalkan sebagian atau seluruhnya, sehingga membentuk kultur baru (sama sekali baru atau kombinasi kultur lama dan kultur baru). Inilah hakekat dari new normal itu.

Kita juga bisa telaah new normal dari teori Bruce Tuckman tentang Team Development Model. Meskipun teori ini lebih tepat untuk melihat bagaimana sebuah tim bisa dibentuk dalam sebuah organisasi, tetapi logikanya cukup bermanfaat untuk melihat bagaimana respon kita terhadap pandemi bisa diinstitusionalisasi.

Menurut Tuckman, perkembangan tim atau organisasi dilalui tahapan forming, dilanjutkan dengan storming, norming, baru dihasilkan sebuah situasi baru bernama performing. Dalam konteks pandemi, tahap forming adalah tahap sebelum merebaknya virus dan masyarakat hidup dalam sebuah bentuk (form) yang ajeg atau rutin.

Pengumuman pemerintah tentang pasien positif Covid-19 menandai tahap storming, yang dipenuhi dengan kebingungan, kecemasan, dan bahkan munculnya korban jiwa dari pandemi tersebut. Segera setelah wabah ini menyebar, muncul respons untuk tetap survive di tengah gempuran wabah yang semakin mengkhawatirkan.

Kebijakan PSBB, pemberian bantuan sosial, pemanfaatan teknologi digital untuk mendukung fungsi pendidikan dan perkantoran, dan sebagainya, adalah upaya membentuk norma baru (norming) untuk menggantikan tradisi lama pada tahap pertama. Nah, jika upaya norming ini bisa dilanjutkan, maka akan sampailah pada tahap selanjutnya yakni performing. Tahap inilah yang kita maknakan sebagai new normal.

Tidak Sebatas Berubah

Dari teori Lewin maupun Tuckman di atas dapat dilihat bahwa new normal itu tidak mudah untuk dicapai. New normal juga berbeda dengan perubahan, bahkan jauh lebih menantang dibanding perubahan itu sendiri. Tahapan change (Lewin) atau norming (Tuckman) belum bisa dikatakan sebagai era normal baru, tetapi masih sebatas transisi menuju era baru.

Untuk menuju kesana, kita harus pandai-pandai menjaga agar masa transisi dan segenap perubahan yang menyertainya, bisa terlembagakan menjadi tradisi dan sistem baru, bukan hanya sebagai inisiatif sesaat di kala terjadi situasi darurat.

Seandainya wabah Corona telah berlalu, kemudian kita mengulang lagi cara lama kita dalam bekerja, menempuh ilmu, berbelanja, dan seterusnya, maka tahap refreeze atau performing tidak akan pernah terwujud. Yang terjadi justru sebaliknya, kita kembali ke tahapan freeze atau forming. Dalam situasi seperti ini, tidak ada sama sekali era bernama new normal itu.

Oleh karena itu, tantangan terbesar kita adalah bagaimana melakukan institusionalisasi terhadap perubahan yang banyak terjadi di masa transisi ini. Salah satu cara yang paling efektif untuk proses institusionalisasi tersebut adalah dengan menyesuaikan seperangkat aturan yang tidak lagi kompatibel dengan perubahan.

Sebagai contoh, aturan working from home, mestinya segera diakomodir ke dalam peraturan di bidang kepegawaian. Jika tidak, maka WFH hanya akan menjadi kenangan indah di masa yang sulit. Demikian pula, jika anak-anak sekolah kembali ke kelasnya dan dijauhkan dari platform digital, sementara orang tua tidak lagi intens membimbing anaknya belajar dan menyerahkan kembali pendidikan anak sebagai urusan guru, artinya kita kembali ke masa old normal.

Epilog

Singkatnya, pandemi Covid-19 adalah momentum bagi umat manusia untuk memperbaiki cara menjalani kehidupannya. New normal adalah kurva baru yang menandakan umat manusia sudah beralih ke peradaban yang lebih baik.

Jika pandemi tidak membawa manusia ke era new normal, ada dua kerugian besar yang harus dibayar, yakni korban materi dan jiwa yang amat banyak, serta kegagalan berhijrah ke peradaban baru. Namun, new normal pun jika berlangsung terlalu lama akan menjadi usang atau obsolete, sehingga umat manusia harus mencari new normal berikutnya.

Ya, sejarah peradaban umat manusia pada hakikatnya adalah mencari perbaikan secara berkesinambungan, berpindah dari sebuah tradisi ke tradisi baru yang semakin baik.

*Tulisan ini merupakan hasil moderasi dari artikel berjudul “Tentang New Normal”, yang ditulis oleh penulis yang sama, dimuat di Inagara Magz edisi Vol. 5 No. I. Tahun 2020.  

7
0
Tri Widodo Wahyu Utomo ♥ Associate Writer

Tri Widodo Wahyu Utomo ♥ Associate Writer

Author

Penulis merupakan Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administasi Negara (KKIAN) LAN RI. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 1968, meraih gelar Sarjana Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1992. Studi jenjang S-2 beliau teruskan di Graduate School of International Development (GSID) Nagoya University Jepang dan lulus dengan gelar Master of Arts (MA) pada tahun 2004. Selanjutnya, pada tahun 2015 beliau meraih gelar Doktor bidang Ilmu Administrasi Publik dari Sekolah Pascasarjana Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di luar tugas formal sebagai Deputi, beliau juga menjadi reviewer beberapa jurnal nasional, pengajar program Magister di STIA LAN Jakarta, narasumber/penceramah dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional serta pembicara dam forum-forum ilmiah nasional maupun internasional. Beliau cukup banyak mempublikasikan buah pikir dalam bentuk buku, artikel jurnal, proceeding, maupun artikel populer di berbagai media massa seperti The Jakarta Post, Kompas, Sinar Harapan, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, dan sebagainya.

5 Comments

  1. Avatar

    Pada akhirnya kita kembali ke new normal, saya sangat tertarik dengan artikelnya pak 🙏🙏. Saya masih baru di dunia widyaiswara, dengan artikel ini memacu saya untuk lebih belajar belajar dan belajar.

    Reply
  2. Avatar

    Pada akhirnya kita kembali ke new normal, saya sangat tertarik dengan artikelnya pak 🙏🙏.

    Reply
  3. Avatar

    Assalamualaikumww…
    Untuk menambah wawasan dan mengaktualisasi diri, izinkan sy brrgabung di group ini dan bisakah beberapa tulisan dari karya tulis ilmiah bisa di publis melalui media iji.?
    Atas perkenannya kamu ucapkan terimaksh.

    Reply
  4. Avatar

    Terima kasih tanggapannya. Kalau saya melihat “new normal” yang akan kita bukan sebuah keterpaksaan, melainkan PILIHAN. Kendali sepenuhnya ada di kita apakah akan memasuki era dan budaya baru, ataukah kembali ke tradisi lama. Kelompok2 yg resisten, misalnya ga mau menjaga jarak, atau ga taat protokol lain (spt kita lihat di video2 yg viral di wag), adalah contoh orang yang ga siap atau ga mau masuk ke new normal. Bahkan ketika aparat telah memaksa untuk mentaati protokol, mereka keukeuh dengan pilihannya.

    Reply
  5. Subroto

    mantap artikelnya pak memberikan pencerahan tentang makna new normal.
    Namun saya boleh rembug saran pak bahwa new normal yang saat ini kita hadapi mungkin sedikit berbeda, karena bukanlah seperti suatu keadaan yang kita rencanakan sebelumnya tatkala ingin mengganti suatu sistem sehingga kita tidak dapat mengendalikan tahap-tahap yang telah bapak paparkan. menurut saya mungkin seperti quantum leap, lompatan yang harus kita lalui dengan keterpaksaan. Seperti halnya kita terpaksa berhadapan dengan dunia digital dan bisnisnya yang hingga kita kini belum terselesaikan berkaitan dengan persiapan infrastruktur bagi kalangan birokrat. Walau ada ketakjuban ternyat kita dapat juga melampaui dan tidaklah merasa kegagalan dihadapi seperti yang kita pikirkan sebelumnya. sebagai contoh, seorang awam pun kita bisa menggunakan HP android tak perlu belajar secara akademis dengan bimbingan teknis secara formal. Walau tidak optimal toh mereka bisa menggunakan HP andorid yang canggih sepanjang dia memiliki dengan keterbatasan latar belakang pendidikan sekalipun. Simpulan saya, rasanya kita harus melawan kekhawatiran yang kita hadapi dan lakukan apa yang telah kita miliki secara optimal, dengan metode trail and error semua akan bisa teratasi jika kita punya keyakinan dan rasa optimis diri

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post