Menyoroti Keberpihakan DJP pada Era Covid-19

by | Sep 18, 2020 | Birokrasi Melayani | 1 comment

Melihat tren penambahan pengidap positif covid-19 di Indonesia yang akhir-akhir ini berada pada kisaran 3000-an manusia per hari, seolah memberi sinyal bahwa penyebaran wabah covid-19 masih cenderung bergerak naik hingga waktu yang sulit diprediksi.

Apalagi ditambah ramainya isu RUU HIP, penegakan hukum atas kasus Djoko Tjandra, kontroversi kebakaran gedung Kejagung, kontroversi RUU minerba, distribusi bansos yang tidak tepat sasaran, pertumbuhan ekonomi minus 5% pada kuartal II, rencana privatisasi IPO subholding Pertamina, tentu poin-poin ini menjadi isu seksi bagi publik.

Publik semakin mempertanyakan kepada siapa keberpihakan pemerintah –terlepas dari pertanyaan apakah respons publik ini digoreng oleh suatu pihak tertentu atau memang muncul secara alami. Konsekuensinya, wajar jika berita yang beredar selama periode Maret hingga September 2020 tidak jauh-jauh dari sentimen negatif masyarakat atas kebijakan pemerintah.

Akan tetapi, sebagai sebuah negara yang menerapkan nilai Pancasila dan demokrasi yang sehat, alangkah baiknya jika kita terbiasa membudayakan tabayyun (buka data dan fakta) terlebih dahulu sebelum terbawa oleh isu. Sehingga, sentimen yang kita berikan dalam menilai kinerja pemerintah memiliki dasar yang jelas (tidak gampang ikut arus suara-suara yang tidak bertanggung jawab).

Sebagai penulis dalam tulisan kali ini, saya berupaya secara netral/obyektif menyoroti keberpihakan Direktorat Jenderal Pajak/DJP selaku pihak pemerintah yang memiliki otoritas di bidang perpajakan. Tujuannya, agar publik bisa mencerna lebih lanjut dan menilai keberpihakan pemerintah.

Mari kita baca bersama bagaimana DJP merespons eksistensi covid-19 yang memiliki efek lintas sektoral (kesehatan, sosial, pendidikan, keamanan, hingga ekonomi). Rupanya, DJP menerapkan kebijakan insentif perpajakan kepada para pelaku usaha dalam berbagai bentuk.

1) Memberi diskon angsuran PPh pasal 25 per bulan sebanyak 30% hingga Juli, kemudian meningkatkan diskon 50% hingga desember

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020, pemerintah secara tegas memberikan potongan 50% pada angsuran pajak PPh pasal 25 per bulannya. Ilustrasinya begini, misal PT B tadinya diharuskan mengangsur PPh pasal 25 sebesar 40 juta rupiah per bulan pada tarif normal. Kini, PT B mendapat hak diskon sebesar 50% dari angka 40 juta (sekitar 20 juta) sehingga PT B hanya perlu mengangsur sisa 20 juta rupiah saja.

Lalu, sah-sah saja jika publik bertanya, “Mengapa tidak sekalian digratiskan angsurannya?” Jawaban saya secara pribadi, tentu saja DJP yang tugas utamanya menghimpun penerimaan utama negara tidak mungkin menggratiskan pajak. Ingat, penerimaan dari sektor Pajak dan Cukai ditargetkan menopang sekitar 73% APBN 2020 pada kondisi normal sebelum covid-19.

Dengan tanggung jawab porsi 73% APBN, saya pikir sangat tidak logis jika DJP menggratiskan angsuran pasal 25 yang berbasis pada “estimasi keuntungan teratur” masyarakat.

Lalu, pertanyaan berikutnya muncul, “Mengapa tidak dari April saja diberlakukan kebijakan diskon 50%, mengapa harus bertahap dari 30%?” Jawaban saya secara pribadi, pada April 2020 lalu belum bisa dipastikan apakah Covid-19 memberikan dampak masif pada pertumbuhan ekonomi secara nasional.

BPS (Badan Pusat Statistik) pada saat itu melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama masih positif. Selanjutnya, ketika BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi minus 5% pada kuartal kedua, maka Menteri Keuangan segera merespons dengan memberi stimulus diskon 50% angsuran PPh pasal 25.

Jika masyarakat mendapat stimulus pengurangan pajak tiap bulan, hal ini berarti menambah kemampuan likuiditas arus kas masyarakat tiap bulannya. Dengan penambahan arus kas bagi sisi perusahaan, perusahaan diharapkan bisa menekan dan menahan laju PHK besar-besaran bagi karyawan.

Dengan penambahan arus kas bagi masyarakat ini, diharapkan mereka tetap mampu mempertahankan daya beli konsumtif untuk menggenjot kelangsungan hidup usaha usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

2. Menanggung PPh Final 0,5% UMKM hingga Desember 2020  

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020, pemerintah secara tegas menanggung pajak atas penghasilan pengusaha UMKM. Ilustrasinya begini, dalam kondisi normal si Benjo (pengusaha bengkel) mesti menyetor pajak sebesar 0,5% dari omzet bulanan. Kini, Benjo tak perlu lagi menyetor pajak sebesar 0,5% omzet bulanannya karena dianggap telah ditanggung pemerintah.

Jika pengusaha UMKM mendapat stimulus “penggratisan” pajak tiap bulan, hal ini berarti menambah kemampuan likuiditas arus kas pengusaha tersebut tiap bulannya. Dengan penambahan arus kas bagi pengusaha UMKM, usahawan orang pribadi diharapkan bisa tetap mempertahankan kelangsungan siklus hidup usahanya.

Menurut saya kebijakan ini cukup baik. Sektor UMKM sangat perlu ditopang oleh pemerintah karena sektor UMKM mampu memberi kontribusi hingga sekitar 60% terhadap produk domestik bruto/PDB 2019 (jawapos.com).

3. Mewajibkan e-bukpot PPh pasal 23 untuk semua pelaku usaha yang tergolong sebagai PKP

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 368/PJ/2020, seluruh wajib pajak, yang memiliki status sebagai “pengusaha kena pajak atau PKP”, wajib menerbitkan bukti potong dan melaporkan pemotongan PPh pasal 23 secara online jika pada bulan tersebut memiliki aktifitas ekonomi yang tergolong sebagai objek PPh pasal 23.

Perbedaan utama antara e-bukpot dengan e-spt PPh pasal 23 adalah e-bukpot berbasis online, sehingga tidak perlu proses instalasi di desktop komputer. Kemudian perbedaan lainnya, output pelaporan hasil  e-spt belum bisa di-submit di laman resmi DJP. Wajib pajak tetap harus antri ke kantor pajak untuk menyerahkan file berbentuk CSV pada media flashdisk.

Bisa saja wajib pajak mengantarkan file CSV e-spt melalui jasa ekspedisi. Namun tetap saja ada biaya ekspedisi tambahan dan tidak praktis. Dengan diwajibkannya e-bukpot, seluruh wajib pajak PKP bisa memanfaatkan efisiensi waktu dan biaya.

Perlu diingat, istilah PKP tidak hanya melekat pada wajib pajak dengan omzet lebih dari 4,8 milyar rupiah saja. Bisa saja pengusaha UMKM dengan omzet 620 juta setahun melekat status PKP karena zaman dahulu syarat PKP hanya terbatas pada batas 600 juta ke atas saja. Selain itu, UMKM yang karena desakan pihak lain diperbolehkan mengajukan sebagai PKP –meskipun tidak memenuhi syarat omzet di atas 4,8 milyar rupiah setahun.

4. Penerbitan NPWP seketika di lokasi on the spot perbankan

Hal efisien lainnya yang terasa nyata bagi pelaku usaha UMKM adalah proses penerbitan NPWP di lokasi perbankan ketika mengajukan proses peminjaman hutang usaha. Hal ini diatur oleh Peraturan Direktur Jenderal Pajak no 4/PJ/2020.

Jika pada masa-masa sebelumnya, pelaku usaha UMKM harus bolak balik kantor pajak dan lokasi bank, kini pengusaha UMKM yang sedang dalam proses pengajuan kredit dapat langsung memperoleh NPWP tanpa perlu bolak balik.

Namun perlu dicatat, mekanisme ini hanya diperuntukkan perolehan nomornya saja. Jika kita ingin memperoleh kartu fisiknya maka kita harus ke kantor pajak untuk mengkonfirmasi permohonan NPWP secara daring untuk ditukar dengan kartu fisik NPWP.

5. Menanggung PPh pasal 21 bagi karyawan yang memiliki akumulasi take home pay setahun tidak melampaui 200 juta rupiah

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 86/PMK.03/2020, pemerintah secara tegas menanggung pajak bagi karyawan yang dalam setahun memiliki total salary tidak melebihi angka 200 juta rupiah.

Ilustrasinya begini, anggap saja si Badu bekerja di PT B dengan gaji sebulan 9 juta rupiah (berarti setahun gajinya bisa dianggap 108 juta). Karena angka 108 juta masih tidak melewati angka 200 juta rupiah, maka pph pasal 21 yang biasanya dipotong dari penghasilan Badu kini tidak perlu dipotong lagi oleh PT B karena dianggap telah ditanggung pemerintah.

Hal ini berlaku hingga Desember 2020. Bahkan jika covid-19 masih memberi dampak masif bagi perekenomian negara, besar kemungkinan kebijakan ini akan diperpanjang. Jika Badu yang bergaji 9 juta sebulan saja tidak dipotong pajak atas gajinya, tentu saja tetangga kita yang rutin bergaji 6 juta, 5 juta, atau 750 ribu jelas tidak perlu dipotong pajak lagi.

6. Memberi layanan tatap muka hanya pada layanan tertentu

Berdasarkan siaran pers pada laman resmi pajak.go.id, DJP memberlakukan layanan tatap muka hanya untuk segelintir layanan tertentu saja –yang memang tidak bisa dilakukan secara daring. Itupun harus didahului SOP pemesanan nomor antrian berbasis online pada laman  kunjung.pajak.go.id per 1 September 2020.

7. Membebaskan PPh pasal 22 Impor dan Menanggung PPN atas impor (pemanfaaatan) barang/jasa terkait keperluan penuntasan Covid-19 hingga masa Desember 2020

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020, pihak rumah sakit atau lingkaran produsen yang melakukan impor barang maupun melakukan peredaran barang kepada para distributor yang berkaitan langsung dengan penanganan pandemi Covid-19 (misalnya obat-obatan dan APD/alat pelindung diri) dibebaskan dari kewajiban pemungutan pph pasal 22.

Sejalan dengan itu, aspek PPN atas kegiatan dengan karakter di atas juga tak perlu dirisaukan oleh pengusaha maupun para konsumen APD (dalam hal ini rumah sakit). PPN dianggap ditanggung pemerintah (tidak dipungut). Konsekuensinya, harga perolehan APD dan obat-obatan bagi pihak rumah sakit (pihak medis) menjadi lebih murah sehingga kapasitas pelayanan medis juga lebih luas.

8. Menerapkan kewajiban PPN pada pelaku usaha platform digital market place (e-commerce)

Berdasarkan Peraturan Direktur jenderal Pajak Nomor 12/PJ/2020, pelaku usaha digital dengan nama besar seperti Netflix, Google, Amazon, hingga Spotify, wajib melakukan kewajiban sehubungan dengan aktifitas sebagai pemungut PPN 10% kepada para konsumen akhir. Respons pun cenderung menyayangkan kebijakan ini.

Maka agar tersedia informasi berimbang, ada yang perlu dipahami juga. PPN memiliki sifat unik yakni konsumen akhirlah yang menanggung pajaknya. Itu berarti bahwa sejatinya nama-nama besar ini tidak terbebani oleh besarnya pajak PPN.

Namun logika sehat kita tentu bisa mencerna, “Kira-kira, apakah masyarakat yang berlangganan Netflix-Spotify dan yang bertransaksi dengan platform Google maupun Amazon, berasal dari kalangan rakyat kecil atau justru kelas menengah ke atas?” Silahkan menilai sendiri.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas (dan tentunya tidak terbatas pada 8 kegiatan DJP ini saja), penulis berharap bisa mengarahkan sinyal konstruktif kepada publik agar bisa mencerna dan menilai apakah keberpihakan pemerintah (dalam hal ini melalui DJP) memang tidak pro rakyat kecil atau justru sangat mempertimbangkan kemaslahatan UMKM sebagai ikon rakyat kecil?

Begitu juga di kementerian atau lembaga lainnya, penulis meyakini keberpihakan serupa. Bahkan bisa jadi lebih baik jika publik terbiasa tabayyun dalam mengeksplorasi data-fakta terkait program kerja pemerintah. Pada akhirnya, saya meminjam diksi yang sering Bang Karni Ilyas kumandangkan, “Penulis hanya mengabarkan, biarkan publik yang menilai”.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan nomor 110/PMK.03/2020 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 86/PMK.03/2020 TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK PANDEMJ CORONA VIRUS DISEASE 2019

Peraturan Menteri Keuangan nomor 86/PMK.03/2020 tentang INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019

Peraturan Menteri Keuangan nomor 28/PMK.03/2020 tentang PEMBERIAN FASILITAS PAJAK TERHADAP BARANG DAN JASA YANG DIPERLUKAN DALAM RANGKA PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019

Peraturan Direktur jenderal Pajak nomor 12/PJ/2020 tentang Batasan Kriteria Tertentu Pemungut serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik

Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor 368/PJ/2020 tentang PENETAPAN PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26 YANG DIHARUSKAN MEMBUAT BUKTI PEMOTONGAN DAN DIWAJIBKAN MENYAMPAIKAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26 BERDASARKAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-04/PJ /2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2020 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID- 19)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2020 TENTANG PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA

27
0
Zico Karya Saputra Domas ◆ Active Writer

Zico Karya Saputra Domas ◆ Active Writer

Author

ASN pada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Sedang menjalani tugas belajar di PKN STAN

1 Comment

  1. Avatar

    Semangat,,,

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post