Menyadari Keterbatasan Energi: Kisah Perjalanan Dinas Lapangan Pertama

by | Nov 8, 2018 | Perjalanan/Pengalaman | 0 comments

Pengantar

Tulisan ini saya buat bukan untuk membanggakan 12 jam perjalanan saya, bukan pula untuk menyombongkan kesempatan yang saya lalui, apalagi  untuk menampilkan ego sektoral tempat saya mengabdi.

Bukan juga untuk menggurui Anda, para pembaca, karena saya tahu bahwa ilmu saya jauh lebih cetek dari Anda. Pengalaman saya juga tidak ada seujung kuku pun dari Anda. Jadi, tulisan ini lebih kepada untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.

Ada hikmah yang saya rasakan saat perjalanan dinas pertama saya yang ingin saya bagi sebagai pengingat untuk saya sendiri di kemudian hari, ataupun sekedar penambah referensi dan pandangan Anda.

 Perjalanan Dinas Lapangan Pertama

Tahun 2015 adalah awal saya menjalani bakti sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di kementerian yang mengurusi bidang energi. Sebagai pegawai yang belum lama menggeluti bidang ini, ada hal menarik yang ingin saya bagi kepada Anda, ketika saya ditugaskan melakukan perjalanan dinas pertama ke lapangan.

Saya ditugasi pimpinan untuk melakukan inventarisasi  dan pemeriksaan fisik barang milik negara (BMN) di empat kabupaten di Provinsi Bengkulu. Salah satu aset BMN yang menjadi tanggung jawab tim saya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat 15 kWp yang dibangun di Desa Sinar Pagi, Kecamatan Seluma Utara, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Perjalanan Menuju Desa-Desa di Seluma Utara

Desa Sinar Pagi terletak di salah satu bukit di deretan Bukit Barisan nan perkasa yang menopang Pulau Sumatera di Lempeng Eurosia. Bukit tersebut berada di perbatasan antara Bengkulu dan Sumatera Selatan. Desa Sinar Pagi berpenduduk sekitar 800 jiwa.

Untuk mencapai desa tersebut sangat tidak mudah. Sebelum berangkat ke lokasi, tim saya mesti menempuh waktu 90 menit dari Kota Bengkulu menuju pusat perkantoran Kabupaten Seluma, Pematang Aur untuk berkoordinasi dengan dinas terkait sebelum ke lokasi. Dari kantor dinas tersebut, kami baru bergerak menuju ke lokasi PLTS Terpusat yang dibangun menggunakan dana APBN.

Tiga puluh menit pertama perjalanan, jalan yang kami lalui masih bagus nan mulus. Sepertinya jalan tersebut adalah jalan provinsi. Selepas waktu tersebut, mulai dari ujung aspal  jalan provinsi itu hingga satu setengah jam perjalanan kemudian, jalan yang kami lalui adalah jalan berlubang dan berbatu.

Beberapa kali mobil yang kami tumpangi tidak kuat menanjak di jalan berkontur kasar tersebut sehingga kami pun harus turun dari mobil agar pengemudi dapat melewati rintangannya.

Tiba di Desa Talang Empat, bapak pengemudi menyerah untuk melanjutkan perjalanan sampai pada titik yang lebih jauh karena pertimbangan faktor keselamatan mobil serta penumpang.

Diputuskan bahwa ketua tim saya, perwakilan dari dinas daerah, dan saya sendiri yang melanjutkan perjalanan ke atas hingga ke lokasi PLTS. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan motor modifikasi kepunyaan warga setempat yang telah hafal dengan medan jalan yang mesti dilalui.

Setelah 45 menit berboncengan naik motor modifikasi di jalanan yang semakin memprihatinkan, kami diminta turun ketika melewati sebuah jembatan gantung yang dibuat dari kabel baja. Jembatan tersebut menghubungkan dua bukit yang terbelah oleh sungai. Punggung  bukit seberang jembatan adalah lokasi modul surya tersebut dibangun.

Perjalanan dari seberang sungai hingga ke Desa Sinar Pagi kami tempuh selama hampir 1 jam dengan menggunakan motor yang telah bertransformasi. Namun, saya lebih banyak berjalan mendaki bukit ketimbang menaikinya karena jalan setapak yang sangat kecil dan curam. Energi yang dibutuhkan untuk tracking tersebut rasanya sama dengan half marathon yang saya ikuti di bulan sebelumnya.

PLTS Sebagai Solusi Terbaik

Sesampainya kami di lokasi semua rasa lelah terasa hilang tak bersisa setelah mengetahui bahwa PLTS Terpusat masih dalam kondisi terawat baik dan dimanfaatkan dengan tepat oleh penduduk Desa Sinar Pagi. Mereka merasa sangat terbantu dan bersyukur atas bantuan yang memang mereka butuhkan itu.

Beberapa desa di punggung bukit hanya dihuni oleh kurang lebih 125 kepala keluarga. Secara ekonomis, sepertinya Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak bersedia membangun fasilitas listrik di desa yang dipimpin oleh seorang ibu ini. PLTS Terpusat ini lah yang saat ini menjadi solusi terbaik, meskipun seharusnya bukan menjadi solusi permanen.

PLTS ini dikelola secara swadaya oleh masyarakat desa. Setiap kepala keluarga membayar iuran Rp20.000,00 tiap bulan untuk mendanai biaya operasional pembangkit listrik cahaya matahari ini. Salah seorang di antara mereka telah dilatih dan dididik untuk merawat dan mengoperasikan PLTS Terpusat dengan 78 battery ini. Bang Asti namanya.

Sebagai informasi, penduduk Desa Sinar Pagi rata-rata mencari nafkah dengan berkebun kopi dan tanaman produktif lainnya di sekitaran bukit tempat mereka bermukim. Ketika beristirahat di salah satu rumah penduduk, kami disuguhi kopi yang mereka petik dari kebun sendiri dan ditumbuk sendiri hingga menjadi bubuk kopi yang siap seduh.

Kemudian, kopi tersebut dihidangkan dengan air matang yang direbus dengan menggunakan kayu bakar dan sedikit gula. Menyeruput kopi sembari memandang matahari yang mulai tenggelam di balik kebun milik masyarakat, membuat saya sempat terpikir kenapa mereka tidak pindah saja ke desa yang lebih mudah diakses dengan fasilitas yang lengkap.

Bijaksana dalam Keterbatasan

Masyarakat Desa Sinar Pagi, yang saya amati, pendidikannya tidak lebih tinggi dari kita semua, tetapi telah menyadari arti penting dari energi listrik sehingga mereka menggunakannya dengan sangat bijak dan teliti dengan mengamalkan prinsip-prinsip penghematan energi.

Keterbatasan energi listrik yang mereka dapatkan, membuat mereka memilih menggunakannya pada hal-hal penting dan bermanfaat. Lampu penerangan di malam hari digunakan untuk belajar anak-anak mereka atau untuk mengisi kembali daya pada  alat komunikasi mereka.

Semua mereka lakukan dengan perhitungan dan pertimbangan yang bijak pada daya yang dapat dihasilkan oleh PLTS dan dapat mereka gunakan pada hari itu.

Saya yakin, ketika mereka mampu, mereka tidak akan tidur dengan AC yang diatur pada suhu 22 derajat celcius, tetapi lebih memilih memakai selimut tebal atau double. Mereka tidak akan lupa mematikan lampu kamar mandi ketika tidak dipakai. Mereka tidak akan lupa mematikan kulkas ketika tidak ada isinya. Ya, mereka telah terbiasa dengan kehidupan dengan supply energi listrik yang terbatas.

Epilog

Lalu, bagaimana dengan kita, termasuk saya? Apakah kita terlena dengan ketersediaan energi listrik yang melimpah dan jarang terjadi gangguan seperti yang kita rasakan? Faktanya, kondisi sebenarnya tidaklah seindah yang selama ini kita pahami. Negara kita akan kehabisan sumber energi primer untuk pembangkit listrik hanya dalam beberapa puluh tahun lagi.

Kita perlu menyadari bahwa hidup hemat energi dan efisien dalam pengunaan energi listrik adalah hal yang dapat, bahkan wajib kita lakukan bersama, dalam rangka menyelamatkan kita dari krisis energi suatu saat nanti. Walaupun mungkin hanya dapat menunda krisis beberapa puluh tahun, tetapi itu pasti sangat membantu kehidupan kita hari ini.

Hidup hemat energi itu gampang dan tidak susah dipraktikkan. Saudara sebangsa dari rekan-rekan yang hidup di Desa Sinar Pagi, Seluma, Bengkulu telah membuktikannya. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan rasa keterpaksaan untuk berhemat pada diri sendiri.

Kisah yang sederhana ini mungkin dapat  mengubah cara pandang kita tentang pentingnya memanfaatkan energi bagi kehidupan kita.

Salam.

 

 

0
0
Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Author

Abdi negara di kementerian yang mengurusi energi. Juga berkicau di twitter @RArisyadi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post