Menggagas Asuransi atas “Kriminalisasi” Pengadaan

by | Jun 7, 2017 | Birokrasi Berdaya | 1 comment

Kisah tentang pejabat pengadaan yang berakhir di bui sudah tak terhitung jumlahnya. Para pejabat pengadaan itu sebenarnya berharap bisa mengabdi untuk negeri, namun nyatanya diganjar hukuman untuk kesalahan yang tidak diperbuatnya. Untuk meringankan beban pejabat pengadaan yang bernasib serupa di masa  yang akan datang, maka sepertinya diperlukan skema  pengamanan berupa Asuransi Pengadaan.

—-

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Kegiatan pengadaan Barang/Jasa, dengan demikian, merupakan suatu hal yang selalu ada dan terus berlangsung, sepanjang keberadaan institusi pemerintahan.

Sayangnya, proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh praktisi pengadaan tidak selalu berlangsung mulus karena adanya peristiwa tindak pidana korupsi (tipikor). Berdasarkan pemberitaan berbagai media, sekitar 70 persen kasus tipikor terjadi dalam proses pengadaan barang/jasa. Bisa dibayangkan apa yang akan dihadapi para praktisi pengadaan apabila hal itu benar-benar ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, seharusnya dipandang secara objektif dan proporsional. Kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah harus dibedah sedemikian rupa sehingga dapat dipetakan antara kesalahan administrasi, kesalahan perdata, atau kesalahan pidana. Juga harus dipetakan di mana kesalahan terjadi akibat ketidaktahuan, kurangnya pengalaman, paksaan/intervensi dalam berbagai bentuk, atau memang karena kesengajaan.

Bila kita lihat kenyataan empiris di lapangan, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kasus pengadaan barang/jasa pemerintah yang diduga mengalami kriminalisasi. Meski, ada juga yang nyata-nyata sengaja melakukan tindak pidana korupsi, namun tidak sedikit yang (diduga) dikorbankan demi keselamatan pihak lain. Nah, apabila kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah seluruhnya dipandang sebagai kasus tipikor, maka tidak akan ada lagi ASN yang akan mau menjadi praktisi pengadaan. Karena pekerjaan itu berisiko dikriminalisasi.

Sementara itu, satu-persatu praktisi pengadaan terjerat masalah hukum, dan harus mengeluarkan materi yang tidak sedikit untuk membiayai urusan itu. Mereka harus menyewa pengacara sendiri. Harus membiayai seluruh proses persidangan yang harus diikutinya. Tidak jarang pengadilan berada jauh dari kediamannya. Belum lagi biaya untuk menghadirkan saksi ahli yang berpengalaman. Itupun belum tentu menjamin praktisi pengadaan itu bisa lepas dari jeratan hukum.

Bertolak dari fakta-fakta tersebut, melalui Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 pasal 115, negara telah mewajibkan pimpinan instansi untuk memberikan pelayanan hukum. Pelayanan hukum tersebut berupa pendampingan hukum kepada ASN praktisi pengadaan yang terjerat masalah hukum.

Bila kita membaca Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada pasal 115 ayat (3) secara tegas menyebutkan Pimpinan Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi wajib memberikan pelayanan hukum kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen/Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar/Bendahara/Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dalam menghadapi permasalahan hukum dalam lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sayangnya, penerapan isi aturan itu masih sebatas angan-angan belaka. Sepertinya, instansi pemerintah tidak mampu menyediakan alokasi anggaran yang cukup untuk membiayai seluruh proses hukum yang harus dijalani oleh para ASN praktisi pengadaan yang memiliki masalah hukum, seperti menyewa pengacara dan mendatangkan saksi ahli. Di sisi lain, tidak ada tindakan hukum (sanksi) apapun bagi pimpinan instansi yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, atas nama keadilan sosial, permasalahan ini harus segera dicarikan solusi.

Dalam pandangan saya, jika pelayanan hukum tidak mampu diberikan oleh pimpinan instansi sebagaimana amanat PP Nomor 4 tahun 2015, maka solusinya adalah bahwa tanggung jawab itu harus dipikul oleh para ASN praktisi pengadaan sendiri namun dilakukan secara bersama-sama (gotong royong). Salah satu solusinya adalah perlunya penyiapan pendanaan premi “Asuransi Pengadaan” oleh para ASN praktisi pengadaan sendiri.

Salah satu jenis asuransi yang mendekati kebutuhan bagi ASN praktisi pengadaan adalah asuransi tanggung gugat. Asuransi tanggung gugat adalah asuransi yang memberikan jaminan perlindungan kepada tertanggung  terhadap risiko yang timbul karena adanya tuntutan dari pihak lain sehubungan dengan aktivitas personal.

Beberapa perusahan asuransi di tanah air telah memiliki produk berupa asuransi tanggung gugat, namun khusus untuk kebutuhan spesifik ASN praktisi pengadaan, barangkali perusahaan asuransi perlu membuat rumusan ulang jenis pertanggungan yang akan diberikan dan hal itu akan berpengaruh pada jumlah premi yang harus dibayarkan oleh ASN praktisi pengadaan. Apakah pertanggungan hanya terbatas pada biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses hukum atau termasuk tuntutan kerugian dari pihak negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ASN praktisi pengadaan.

Karena risiko tuntutan berasal dari negara, maka tidak mungkin pembiayaan premi asuransi tersebut dianggarkan pada instansi pemerintah yang bersangkutan. Oleh karenanya, pendanaan premi asuransi tanggung gugat tersebut harus ditanggung sendiri oleh ASN praktisi pengadaan. Namun demikian akan lebih baik apabila premi bisa dianggarkan pada APBN/APBD melalui pembiayaan rekanan/menyatu dalam kontrak pekerjaan yang akan dilaksanakan sebagaimana BPJSKetenagakerjaan yang ditanggung oleh rekanan/kontrak.

Berdasarkan data LKPP, sebanyak 700 Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi telah membentuk lebih dari 500 Unit Layanan Pengadaan (ULP). Masing-masing ULP memiliki lebih dari satu Kelompok Kerja ULP (Pokja ULP). Masing-masing Pokja ULP memiliki minimal 3 anggota. Bila kita asumsikan 1 ULP memiliki 2 Pokja ULP dan masing-masing Pokja ULP memiliki 3 orang anggota, maka terdapat 500 x 2 x 3 = 3.000 orang unsur ULP. Dengan premi Rp. 1 juta (asumsi Rp. 100 ribu/bulan) maka sudah terkumpul dana abadi sebesar Rp. 3,6 milyar per tahun. Itu baru dari unsur ULP. Belum lagi unsur PA/KPA, PPK, PPHP, PPSPM dan unsur lainnya. Premi dibayar selama ASN praktisi pengadaan aktif dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Sedangkan klaim asuransi berlangsung seumur hidup. Dengan kata lain premi yang dibayarkan selama aktif di pengadaan barang/jasa akan menanggung seluruh biaya menghadapi permasalahan hukum selama seumur hidupnya.

Pertanyaannya, adakah perusahaan asuransi di negeri ini yang tertarik dengan ide “Asuransi Pengadaan” sebagaimana dibahas di atas?

 

 

1
0
Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Author

Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. Saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Inspektur Daerah Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018, dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com.

1 Comment

  1. Avatar

    Mungkin sebelum berangkat ke konsep tersebut, ada baiknya penyederhanaan regulasinya terlebih dahulu. Saatnya rejim hukum dilepaskan dari pbj

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post