Membantah Anggapan Lama tentang Pegawai Negeri Sipil

by | Apr 17, 2018 | Birokrasi Bersih | 4 comments

“Dek, bayar berapa untuk bisa masuk PNS (Pegawai Negeri Sipil)?” tanya seorang ibu kepada saya di sebuah kubikel Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Hati saya langsung cenat-cenut. Saya tidak mengenal ibu itu. Kebetulan saja ia sedang meminta bantuan saya untuk mengoperasikan mesin ATM, dan tampaknya ia tahu saya bekerja sebagai PNS di salah satu instansi pemerintah.

Meski merasa dongkol, saya tetap tersenyum mahfum. Mau apa lagi, berita tentang PNS yang harus membayar sejumlah uang  agar bisa diterima sudah terdengar sejak zaman dulu.

“Saya tidak membayar, Bu,” kata saya. Dalam hati saya bersyukur karena bisa membuktikan bahwa anggapan itu keliru. Saya memang berhasil diterima menjadi PNS pada tahun 2012 tanpa membayar uang sepeser pun, tanpa koneksi dari siapa pun.

Namun, anggapan bahwa proses rekrutmen PNS menggunakan ‘pelicin’ rupanya masih melekat di benak masyarakat. Pantas saja jika masih banyak orang kena tipu dan rela membayar uang puluhan juta demi bisa lolos tes CPNS.

Karena pengalaman yang tidak mengenakkan tadi, akhirnya saya menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tulisan ini semacam testimoni untuk membantah, syukur-syukur mampu mengubah paradigma lama tentang PNS yang kini telah berubah sebutan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menjadi PNS Biar Kaya Raya

Banyak orang bilang menjadi PNS akan memiliki masa depan cerah. Kepastian menerima gaji dan mendapat jaminan hidup di hari tua adalah dua hal yang sangat didambakan bagi kebanyakan orang. Meski terdengar klasik, kedua hal itu ada benarnya. Oya, tak jarang, kriteria yang ditetapkan oleh orang tua untuk mendapatkan menantu pun salah satunya adalah si calon berprofesi sebagai PNS.

Di sisi lain, kini bekerja menjadi karyawan bukan PNS atau di sektor swasta sebenarnya justru lebih berpotensi menjamin kehidupan masa muda sekaligus masa tua. Namun, orang tua yang memiliki anak yang sedang mencari pekerjaan, masih saja banyak yang berharap anaknya diterima sebagai PNS dengan alasan jaminan gaji dan hari tua.

Lalu bagaimana dengan si anak sendiri setelah menjadi PNS? Sepertinya sejarah mencatat, banyak orang yang salah sangka terhadap harapan orang tuanya dulu saat menginginkan anaknya menjadi PNS.

Harapan kenyamanan dan hidupnya terjamin, diterjemahkan oleh si anak, setelah menjadi PNS menjadi orang yang hidup dengan materi berkecukupan dan cenderung kaya-raya. Kebetulan juga, kesempatan tersebut seringkali menganga terbuka meskipun dengan menghalalkan segala cara.

Saya pernah mendengar secara langsung, tetangga saya mengatakan, “Pantaslah dia kaya-raya karena bekerja sebagai PNS, di keuangan lagi”.

Hmm, tetapi sesungguhnya,  bekerja sebagai PNS bisa membuat kaya-raya itu anggapan yang keliru alias tidak ada benarnya.

Mari kita hitung. Bagaimana mungkin PNS yang menerima gaji dan tunjangan sebesar lima sampai sepuluh juta sekian bisa membuat dirinya cepat kaya? Gaji dan tunjangan sebesar itu adalah ukuran penghasilan seorang PNS yang rata-rata sudah bekerja selama 5 sampai 10 tahun. Andai kata ukuran kekayaan dilihat dari seberapa banyak tas Hermes yang dikoleksi, maka PNS jelas tidak termasuk hitungan.

Jika berbicara gaji dan tunjangan, penghasilan PNS hanya cukup untuk memenuhi biaya hidup keluarganya. Itu pun dengan kualitas di kisaran menengah cenderung ke bawah. Beberapa PNS mampu membeli mobil atau pun rumah juga tidak bisa lepas dari bantuan Surat Keputusan (SK) pengangkatan yang laku keras di kalangan perbankan.

Jika kemampuan membelinya digunakan untuk membeli barang yang kualitasnya di atas kelas menengah, perlu kita berikut tetangga-tetangga kita mempertanyakan sumber penghasilannya.

Biasanya orang akan menjadi maklum jika dia memang anak orang kaya. Sejak lahir ‘brojot’ sudah kaya. Kita juga sering menjadi maklum jika PNS tersebut memiliki keahlian  lain yang kemudian digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan sampingan, berdagang misalnya. Meskipun demikian, saya kadang bertanya, kalau sudah bisa berdagang dan berhasil, ngapain juga masih menjadi PNS?

Jadi sekali lagi, PNS tidak bisa kaya, PNS ‘tidak boleh’ kaya! Kalau ingin kaya jangan menjadi PNS, tetapi jadilah pengusaha.

PNS adalah Pegawai Negeri Santai

Apa yang Anda pikirkan tentang profesi PNS? Mereka datang siang, duduk ngerumpi, baca koran, lalu pulang sebelum waktunya? Sementara itu gaji mereka tetap mengalir meskipun mereka tidak berkinerja?

Mungkin masih ada satu-dua PNS yang berkelakuan seperti itu. Namun, jangan buru-buru menyalahkan mereka juga. Jika melihat sejarahnya, PNS memang mengalami booming secara kuantitas sejak era orde baru. Pada awal orde baru PNS hanya berjumlah sekitar 400 ribu, lalu mendadak menjadi 2 juta di tahun 1980, dan meningkat tajam menjadi 4 juta-an di tahun 1993. Kenapa bisa demikian? Lonjakan jumlah PNS ini tidak lepas dari kepentingan untuk memperkuat posisi politik penguasa pada waktu itu.

Akibatnya, banyak PNS waktu itu tidak mendapatkan bagian tugas dan harus puas membaca koran dan main catur. Saat itu kondisi semacam itu tidak menjadi masalah karena kebijakan dan implementasinya sudah dirancang sedemikian rupa untuk berhasil.

Namun, akibat kesalahan booming PNS di masa lalu sepertinya masih terbawa hingga sekarang. Masih ada saja PNS yang terkesan santai karena selain sikap yang sudah terlanjur membudaya, juga karena memang tidak mendapatkan tugas akibat kuantitasnya tidak seimbang dengan kapasitas pekerjaan. Atau, kalaupun pekerjaan banyak, hanya beberapa gelintir PNS saja yang sanggup mengerjakan, barangkali karena banyak dari mereka yang tidak kompeten.

Kini, menurut saya, anggapan bahwa PNS bekerjanya santai sebenarnya sudah jauh dari kenyataan. Bahkan, banyak PNS yang memiliki moto ‘pantang pulang sebelum petang’, akibat banyaknya beban pekerjaan yang harus diselesaikan.

Belum lagi PNS yang harus rela meninggalkan keluarganya selama berhari- hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan demi menyelesaikan tugas negara. Mereka terpaksa menjalankan long distance marriage serta rela menahan rindu sekian purnama untuk bertemu keluarga. Karena pertimbangan satu dan lain hal, mereka tidak mengikutsertakan keluarga ke lokasi penugasan.

Karena semangat bekerja itu pilihan, bisa jadi mereka yang terlihat tidak punya tugas adalah pegawai yang kurang bersemangat dan kurang kompeten. Mereka barangkali adalah korban dari rentetan kesalahan pengelolaan PNS di masa lalu. Mereka terpaksa “diparkir” tidak mendapat tugas oleh atasan.

Lalu kalau menjadi rajin dan semangat bekerja bukanlah pilihan, apakah Anda masih akan memberi makan keluarga dengan gaji buta selamanya?

PNS kerjanya santai? Gile lu, Ndro!

Menjadi PNS Harus Menyetor Uang

Logikanya begini saja, mencari kerja itu untuk dibayar, lah kok sampean malah mau mbayar demi dapat kerjaan? Percayalah, saya dan teman-teman seangkatan adalah saksi lolos tes CPNS tanpa melakukan suap sepeser pun.

Jika proses rekrutmen sarat akan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), hal ini tentu tidak baik bagi penyelenggaraan organisasi pemerintahan.  Karena PNS yang diangkat melalui jalur KKN kemungkinan tidak kompeten untuk mengemban amanah sebagai abdi negara. Akibatnya, kualitas pelayanan publik yang akan dikorbankan.

Saya pikir negara ini sudah banyak berbenah. Apalagi sejak tahun 2013 seleksi masuk Calon PNS (CPNS) telah menggunakan sistem Computer Assisted Test atau biasa juga disebut Cepat, Akuntabel, Transparan (CAT). Dengan menggunakan CAT, hasil ujian dapat diketahui setelah ujian selesai dan nilai seluruh peserta ditampilkan secara live sehingga perolehan passing grade dapat dipantau oleh semua peserta.

Tidak ada lagi yang namanya sogok-sogokan. Kalaupun ada, itu adalah ulah oknum yang memang tidak takut terkena Operasi Tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Pemerintah saat ini pun sedang serius mewujudkan birokrasi kelas dunia, yaitu pemerintah yang memanfaatkan data secara optimal dengan menggunakan teknologi informasi, serta memiliki SDM yang kompeten.  Salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita itu adalah dengan melakukan perekrutan yang transparan.

Jadi, masih mau menyetor uang untuk menjadi PNS? Mending kasih saya aja!

Epilog

Apakah setelah membaca artikel ini prasangka buruk tentang PNS masih tetap ada pada diri Anda? Jika ya, saya sarankan Anda, terutama bagi yang bukan PNS, untuk mengikuti tes CPNS. Jika Anda sudah diterima, silakan laksanakan tugas negara dan rasakan sendiri sensasinya. Jika Anda adalah seorang PNS, mungkin lebih baik mencari keahlian lainnya dan silakan berkarya di tempat lain agar lebih bermanfaat.

Seperti kata pepatah, yang sedikit saya modifikasi, “If you never put yourself in PNS’s shoes, don’t judge!”

 

 

 

0
0
Mikhael Natal Naibaho ♥ Associate Writer

Mikhael Natal Naibaho ♥ Associate Writer

Author

Saat ini bertugas di Stasiun Meteorologi Binaka, Gunungsitoli, Nias. Terlahir dari keluarga yang sangat sederhana di kota kopi, Sidikalang, Sumatera Utara. Dengan perjuangan keras, kedua orangtuanya berhasil menyekolahkannya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bermodal ijazah perguruan tinggi, ia masuk Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika di tahun 2012. Pada tahun 2016, ia melanjutkan tugas belajar di Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Geofisika (sekolah kedinasan BMKG).

4 Comments

  1. Avatar

    pas prajab dulu, guru kami (widyaiswara) pernah menasihati seperti ini
    ” kalau mau kaya, jadilah saudagar. PNS itu hanyalah kenyamanan status (sosial)”

    Reply
    • Avatar

      Ya, Pak. Banyak memang yang mengatakan demikian 🙂 tetapi menjadi PNS bukan ‘hanya untuk kenyamanan status’, banyak cerita yang melatari seseorang menjadi PNS. Salam hangat, Pak.

      Reply
  2. Subroto

    Hmmh… Adik ini masih CPNS atau PNS ?. Dengan berjalannya waktu, semoga Dik Naibaho tetap berpegang dengan sikap dan pendirian seperti itu. Saya berharap akan bermunculan para PNS spt adik.

    Reply
    • Avatar

      Salam hangat, Pak. Saya sudah PNS sejak 2013. Semoga harapan Bapak terwujud. Beberapa teman yang saya kenal memang, banyak yang berorientasi pada pelayanan prima dan birokrasi bersih. Semoga kami semakin baik dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Salam.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post