Melawan “Kriminalisasi” PNS Melalui Undang-Undang serta Penyetaraan Kewenangan APIP dan APH*

by | Jan 9, 2018 | Birokrasi Berdaya | 3 comments

Masih ingatkah Anda dengan surat terbuka yang dimuat di Birokrat Menulis dengan judul “Surat Terbuka untuk Jaksa dan Hakim yang Menjeruji Kawan Kami, Palupi”? Surat itu menyatakan:

Kami terpukul dan merasa sangat kecewa. Bukan saja karena yang menjalani ini adalah seorang PNS yang berintegritas, tetapi karena kami melihat ketidakadilan itu kini nyata di depan mata.

Bila kesaksian penulisnya tentang integritas kawannya tersebut benar, maka mau tidak mau kita harus menghadapi kenyataan adanya peluang besar “kriminalisasi PNS” di masa datang akan berulang, sebagaimana tampak di kutipan berikut:

Mungkin deretan nama-nama kami tinggal menunggu waktu, terjerembab dalam ketidakadilan itu.

Selain Palupi, pernah terjadi seorang PNS yang melakukan tugas negara dalam urusan pengadaan juga harus mendekam di bui. Padahal, ia menyatakan: “Saya tidak korupsi.”

Boleh jadi ia bersalah, tetapi mungkin saja sebenarnya kesalahannya hanyalah kesalahan administratif dan bukan kesalahan yang bersifat tindak pidana korupsi.

Perlindungan dalam Menjalankan Tugas dan Pencegahan Korupsi

Surat terbuka itu mengingatkan penulis pada undang-undang tentang administrasi pemerintahan (nomor 30 tahun 2014) yang sebenarnya telah memberikan perlindungan kepada PNS dalam menjalankan tugasnya.

Undang-undang tersebut telah mengatur dengan jelas tentang larangan penyalahgunaan wewenang (termasuk diskresi), jenis-jenis penyalahgunaan wewenang, dan pengawasan atas penyalahgunaan wewenang aparat pemerintahan.

Undang-undang tentang administrasi pemerintahan tersebut juga mengatur bentuk hasil pemeriksaan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang seorang PNS menjadi tiga jenis, yaitu tidak terdapat kesalahan administratif,  terdapat kesalahan administratif, dan terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Undang-undang tersebut mengakui bahwa kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara dapat terjadi bukan karena disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang, tetapi lebih karena aspek administratif.  Menurut penulis, undang-undang ini merupakan salah satu alat penting pencegahan korupsi.

Mengapa demikian? Sebab, undang-undang tersebut telah memberikan batasan yang jelas mengenai penyalahgunaan wewenang PNS. Dengan demikian, terdapat rambu-rambu yang jelas dalam melaksanakan administrasi negara.

Selain itu, di dalamnya juga telah menetapkan aturan mengenai sanksi administratif atas penyalahgunaan wewenang yang dapat memberikan efek jera. Sanksi administratif dalam undang-undang tersebut malah jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman disiplin PNS seperti diatur dalam peraturan pemerintah tentang disiplin pegawai negeri sipil (nomor 53 tahun 2010).

Sebagai perbandingan, bila dalam peraturan pemerintah tentang disiplin pegawai negeri sipil dikenal hukuman disiplin tingkat sedang kedua berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, hukuman tingkat sedang kedua pada sanksi administratif pada undang-undang tentang administrasi pemerintahan malah langsung berupa pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan.

Peraturan pemerintah tentang disiplin pegawai negeri sipil dipandang kurang memberikan efek jera karena ancaman pemberhentiannya baru ada pada hukuman disiplin tingkat berat keempat. Sementara itu,  pada undang-undang tentang administrasi pemerintahan sejak sanksi administratif tingkat sedang kedua sudah berupa pemberhentian sementara. Kemudian, sanksinya semakin meningkat ke pemberhentian tetap pada sanksi administratif tingkat berat.

Beratnya ancaman sanksi administratif di undang-undang tentang administrasi pemerintahan dimaksudkan memberikan efek jera kepada PNS agar tidak menyalahgunakan wewenangnya sehingga dapat dicegah perbuatan yang koruptif.

Kesetaraan Kewenangan APIP – APH

Menariknya, di sisi lain, undang-undang tentang administrasi pemerintahan juga memberikan kesetaraan kewenangan kepada aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) dan aparat penegak hukum (APH). Sebab, kewenangan APIP diperjelas dalam undang-undang ini, yaitu pengawasan atas penyalahgunaan wewenang para PNS di lingkungannya.

Kesetaraan kewenangan ini sangat terasa sekali bila kita membaca peraturan pemerintah tentang tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pejabat pemerintahan (nomor 48 tahun 2016) yang merupakan aturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut.

Menurut  peraturan pemerintah tersebut, pengaduan yang disampaikan masyarakat kepada APH dalam jangka waktu paling lama lima hari kerja sejak diterima oleh APH harus dilakukan pemeriksaan oleh APH setelah mereka berkoordinasi terlebih dahulu dengan APIP. Dengan demikian, APIP kini memiliki kewenangan yang jelas untuk dilibatkan sejak awal oleh APH dalam penanganan pengaduan masyarakat.

Pelibatan sejak awal ini memberikan kewenangan kepada APIP untuk ikut memberikan pandangannya ke APH bila ternyata penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat hanyalah bersifat administratif belaka. Bila penyimpangan itu hanya bersifat administratif, maka kewenangan pemeriksaan selanjutnya menjadi kewenangan APIP.

Dengan adanya mekanisme ini, maka penanganan pengaduan masyarakat atas dugaan penyimpangan terkait PNS telah melalui proses penelaahan yang ketat (due process) dan PNS dapat terhindar dari “kriminalisasi” atau tindakan semena-mena APH.

Tentu saja, apabila terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya tindak pidana korupsi, misalnya seperti pada kasus e-KTP, maka APH tetap berwenang menjalankan fungsinya.

Perjuangan Keadilan

Undang-undang tentang administrasi pemerintahan juga memberikan hak kepada PNS yang diduga menyalahgunakan wewenang untuk memperjuangkan keadilan bagi dirinya, yaitu dengan mengajukan keberatan dan banding melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Karenanya, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung tentang pedoman beracara dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang (nomor 4 tahun 2015). Peraturan ini memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menerima, memeriksa, dan memutus atas permohonan evaluasi administrasi terkait penyalahgunaan wewenang setelah adanya hasil pengawasan APIP.

Sayangnya, peraturan Mahkamah Agung ini juga mengakui bahwa kewenangan pengadilan itu sebelum adanya proses penanganan pidana oleh APH. Akibatnya, peraturan ini masih membuka peluang seorang PNS yang diadukan kehilangan haknya untuk menyampaikan keberatan di PTUN apabila APH langsung memproses dirinya sebagai pihak yang terkait dengan suatu tindak pidana.

Peluang ini lebih terbuka lagi jika APH malah lebih mengedepankan hukum pidana ketimbang undang-undang tentang administrasi pemerintahan dan peraturan pelaksanaannya. Bahkan, peluang ini akan semakin besar jika APH kurang tersosialisasi dan secara diam-diam menolak legitimasi undang-undang dan peraturan pelaksanaannya tersebut.

Langkah Selanjutnya

Sebagai aparatur sipil negara (ASN), PNS semestinya berkepentingan atas diakuinya legitimasi undang-undang tentang administrasi pemerintahan, yang  pada dasarnya merupakan “adik kandung” undang-undang tentang aparatur sipil negara (nomor 5 tahun 2014).

Jika mengharapkan pihak lain — terutama APH – mau melegitimasi undang-undang tentang administrasi pemerintahan secara formal dan informal, tanpa usaha sungguh-sungguh dari insan birokrasi sendiri, ia ibarat ‘pungguk merindukan bulan’.

Karenanya, seluruh ASN mesti bersatu padu melakukan ‘perlawanan’ dengan mensosialisasikan undang-undang tentang administrasi pemerintahan dan peraturan pelaksanaannya dengan sepenuh jiwa raga agar “kriminalisasi” atas PNS yang berintegritas tidak terjadi lagi.

Terdapat beberapa langkah-langkah perlawanan yang perlu kita lakukan. Pertama, APIP dan seluruh ASN mesti sejak awal memahami undang-undang tentang administrasi pemerintahan dan peraturan pelaksanaannya. Karenanya, gerakan penyadaran secara masif perlu dilakukan, terutama dengan memasukkan materi undang-undang ini sebagai kurikulum pendidikan dan pelatihan kepemimpinan ASN (Diklatpim).

Kedua, APIP hendaknya meningkatkan mentalnya agar secara formal dan informal penampilannya setara dengan APH, yaitu dengan cara memahami dan menguasai kesalahan yang bersifat tindak pidana, dapat membedakan kesalahan yang bersifat administratif dan kesalahan yang bersifat tindak pidana korupsi, dan mengenal petunjuk-petunjuk yang dapat memberikan simpulan apakah ada “mens rea” atau niat jahat dalam kesalahan yang dilakukan PNS. Sebab, niat jahat merupakan unsur dalam suatu tindak pidana.

Salah satu cara agar mental APIP dapat meningkat dan mereka setara dengan APH adalah dengan mendidik semua auditornya (auditor pertama, muda, madya, dan utama) tentang perbedaan kesalahan administratif dan kesalahan yang bersifat tindak pidana korupsi di pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional auditor (diklat JFA). Cara lainnya adalah mengirim para auditor ini ke pelatihan militer di Kopassus ataupun Marinir.

Ketiga, manajemen APIP, terutama pimpinan puncaknya, mesti lebih berani memberikan tekanan kepada APH agar mereka secara sadar mau menerima legitimasi undang-undang tentang administrasi pemerintahan dan peraturan pelaksanaannya.

Keempat, ASN melakukan kampanye masif, baik formal maupun informal, kepada APH terkait dengan kewajiban mereka mesti berkoordinasi terlebih dahulu dengan APIP bila terdapat pengaduan masyarakat.

Kelima, ASN perlu menyampaikan masukan kepada Mahkamah Agung agar merevisi peraturan mereka menjadi berbunyi:

Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan sebelum adanya proses pidana yang telah mengindahkan PP 48/2016 (pasal 2 ayat (1) peraturan Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2015).

Akhirnya, mari kita songsong 2018 ini dengan semangat pencegahan yang bersamaan dengan upaya pemberantasan korupsi, yaitu dengan memperkuat legitimasi undang-undang tentang administrasi pemerintahan.

Dengan demikian, terwujud birokrasi yang bersih dan berdaya dan tidak terdengar lagi PNS yang mengalami “kriminalisasi” mulai tahun 2018 ini.

*) Tulisan ini merupakan buah pemikiran penulis bersama Ferdy Haris Pandoe, S.H.

 

 

0
0
Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Author

Auditor Madya pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang fokus pada internal control dan risk management serta memiliki hobi menulis novel.

3 Comments

    • Avatar

      Silakan. Maaf telat balasnya.

      Reply
  1. Avatar

    Boleh kah share kisi2 uji kopentensi p2upd. Krn saya bukan sarjana ekonomi tapi sosial

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post