Kata Siapa (Pemerintah) Indonesia Tidak Kapitalis?

by | Mar 3, 2020 | Birokrasi Melayani | 2 comments

Kapitalisme itu kejam, karena saking bebasnya maka siapapun orang yang kaya bisa jadi juara. Kapitalisme itu kejam karena tanpa adanya intervensi negara, kebebasan menjadi kebablasan. Lanjutannya, yang kaya makin kaya dan yang miskin menderita. Kesenjangan mereka berdua adalah sebuah keniscayaan yang nyata.

Untungnya tidak begitu yang terjadi di negaraku Indonesia. Soalnya, kami ini negara yang menerapkan ekonomi Pancasila – bukan kapitalisme atau bahkan lawannya, sosialisme.

Begitulah yang kupercaya sebagai seorang warga negara yang sudah hampir 34 tahun lamanya dicekoki dengan pendidikan kewarganegaraan dengan basis ideologi Pancasila. Bahwa Indonesia ini telah memiliki sebuah sistem yang menjelma dalam berbagai sektor kehidupan – ekonomi, sosial politik, demokrasi, pendidikan, kehidupan beragama, sampai yang terbaru dalam pengucapan salam, bernama Pancasila.

Aku tak berani mengkritisi sebenarnya bagaimana perumusan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Tak sebanding umurku dengan banyaknya penelitian yang harus kutempuh untuk menelusuri sejarah saat negeri ini  mula-mula berdiri. Yang kutahu, kala itu Pancasila-lah yang menyatukan Indonesia – sebuah negeri dengan keragaman budaya, bahasa, dan pesona; akan tetapi terkungkung sebagai negeri jajahan Belanda dan penerusnya.

Sebagai seorang warga negara kelahiran tahun 80-an, yang mampu kulakukan kini di usia produktifku sebagai generasi milenial hanyalah mengamati: apakah benar yang diajarkan oleh guru-guruku dahulu. Katanya, Indonesia itu berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena itu, kita ini tidak berazaskan kapitalisme. Karena itu pula, kita juga bukan penganut sosialisme. Sudah, titik.

Berhubung pelajaran sejarah selama 12 tahun mulai SD sampai dengan SMA selalu mengajarkanku tentang kejamnya komunisme – yang entah mengapa identik dengan sosialisme, maka hingga saat ini aku tak perlu ragu dengan pernyataan guruku. Oke setuju, Indonesia itu bukan negara sosialis.

Toh, hingga hari ini komunisme dan sosialisme masih menjadi istilah yang tabu untuk dibahas, terlepas dari kontroversi kebenaran cerita tentang G-30/S/PKI. Begitupun tentang berbagai peristiwa gejolak politik yang melanda Indonesia pada masa presiden pertama – “yang katanya” dekat dengan pemerintah negara-negara sosialis kala itu, belum bisa dijelaskan dengan cukup meyakinkan. Dalam asumsiku sosialisme tidak punya tempat di negeri ini.

Tapi sebuah pertanyaan masih bertahta dalam benakku. Yaitu, “Kalau benar tidak sosialis, apakah negeri ini kapitalis?” Mungkin tidak. Harusnya sih, tidak.

Bukankah (masih kata guruku lagi) kapitalisme itu tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang sejak zaman dahulu suka bantu-membantu, bergotong royong demi kesejahteraan bersama. Karenanya, bahkan dikatakan bahwa sokoguru perekonomian Indonesia ialah koperasi. Koperasi adalah pengembangan dari co-operatives yang dapat pula diterjemahkan sebagai kerja sama.

Dulu aku sangat percaya bahwa koperasi sebagai sebuah badan usaha yang dibangun, dijalankan dan menghasilkan untuk para anggotanya, mengutamakan prinsip kerjasama, adalah benar sokoguru perekonomian Indonesia. Mungkin karena pada masa itu orang tuaku yang berprofesi sebagai guru merupakan pelanggan tetap jasa kredit yang disediakan oleh koperasi guru di kecamatan.

Lalu, warga desaku juga setiap hari menyetorkan hasil ternak berupa susu sapi ke koperasi, ditampung untuk disalurkan ke perusahaan pengolahan susu di kota sebelah. Koperasi sangat tidak asing bagi anak sekolah pada zamanku. Oh iya, kami dulu kalau jajan juga di koperasi sekolahan.

Lha, bagaimana dengan sekarang? Ah. Rupanya sudah jauh beda. Aku hampir tidak pernah menemukan koperasi di sekitarku, lebih-lebih yang skala bisnisnya bisa mengalahkan kemajuan toko swalayan waralaba. Ada sih kulihat satu dua toko kelontong yang sejenak menarik perhatian karena didirikan dengan nama ‘Yayasan ABC’ atau ‘Koperasi Karyawan XYZ”.

Namun, tak lama kemudian sinarnya tenggelam di balik bayang-bayang toko lain yang tergabung dalam dua jaringan ritel waralaba terbesar di Indonesia. Anda tahulah namanya. Saking kuatnya, dalam radius 1 kilometer dari rumahku, terdapat 6 toko waralaba tersebut. Luar biasa. Eh, pemiliknya siapa? Koperasi bukan ya.

Nah, sekarang mari kita lihat contoh lainnya. Suatu hari, datanglah seorang tamu berkunjung ke rumah tetanggaku. Namanya Narsih Nyffenegger, seorang perempuan kelahiran Indonesia yang kini berubah kewarganegaraan menjadi penduduk Swiss, mengikuti suaminya yang asli pribumi dari sana.

Ada banyak hal menarik yang sempat kujadikan bahan obrolan dengan mbak Narsih, ketika ia dan keluarga kecilnya berkunjung ke Indonesia. Salah satunya, ketika aku bertanya tentang betapa kerennya menjadi warga Swiss, negara yang begitu kaya, maju, dan sangat mengayomi warganya. Ternyata jawaban dari Narsih cukup mengagetkan.

“Tidak begitu. Lebih baik di Indonesia.”

“Mengapa?,” aku bertanya karena jawaban itu berbeda jauh dari ekspektasiku.

“Di Swiss itu, Anda nggak boleh terlalu kaya. Iya benar semua orang mendapatkan layanan dasar yang sama. Tapi, untuk membayar itu semua, ada pajak yang sangat tinggi besarnya harus disetor kepada negara.”

Narsih menghela nafas lalu melanjutkan, “Kalau di Indonesia, mau rumahmu sebesar istana, mobilmu keluaran limited edition, hartamu melimpah ruah; tapi pajak yang dipungut kepadamu tidak sebesar kami. Bebas sekalilah pokoknya. Pemerintah tidak terlalu ikut campur.”

“Uh, la..la..”, begitu batinku bersuara sembari mengangguk-angguk tanda setuju. Meskipun sebenarnya dalam hatiku muncul sebuah pertanyaan kegelisahan, “Nah, ciyusan begitu yang seperti ini di Indonesia (yang kaya makin kaya, yang miskin yang sabar yaaaa) lebih baik daripada kenyataan di negeri Swiss nun jauh di sana?”

Eh, tapi, by the way, kalau benar sebebas itu berarti kita ini hidup dalam sebuah sistem kapitalis dong ya namanya? Ah, tidak. Sepertinya masih butuh pembuktian yang lebih akurat lagi. Oke. Yuk, aku masih punya cerita satu lagi.

Jadi, perekonomian dunia akhir-akhir ini sedang dilanda kegelisahan karena hadirnya sebuah virus yang katanya mematikan dari negeri tirai bambu. Namanya Covid-19, sempat disebut pula sebagai Wuhan Corona Virus. Awalnya kehadiran virus ini hanya mengganggu kenyamanan masyarakat di negeri asalnya, China, tetapi kemudian dampaknya meluas hingga ke seluruh penjuru dunia.

Banyak perjalanan lintas negara yang dibatalkan. Beberapa industri pun terganggu karena pasokan bahan baku dan tenaga yang kebetulan terafiliasi dengan China mengalami kendala. Berkat itu pula, kita pun menjadi paham bahwa konstribusi China terhadap perekonomian negara-negara lain di seluruh dunia begitu besar. Sistemik istilahnya.

Lalu di mana sisi kapitalisme Indonesianya? Sederhana saja. Begini, sebagai bentuk preventif dari penularan Covid-19 yang mematikan itu, masyarakat berbondong-bondong membeli masker penutup wajah. Tidak hanya di negeri China yang tengah dilanda kemalangan karena puluhan ribu warganya terjangkit virus tersebut, rupanya masyarakat Indonesia pun mulai mengalami kepanikan ketularan.

Akibatnya, masker begitu banyak dicari oleh para konsumen. Karena tingginya permintaan konsumen, komoditi inipun diperjualbelikan dengan harga yang fantastis. Aku ingat sekali, pertengahan Januari lalu sebungkus plastik berisi 20 buah masker dibanderol seharga Rp10.000 saja di pedagang asongan sekitar pasar Palmerah.

Sekarang? Para penjual masker itu tidak tampak lagi. Masker sudah menjadi barang langka. Saking langkanya, masker Nexcare – sedikit lebih bermerek tapi tampilan fisiknya masih sejenis dengan yang di pedagang asongan, dibanderol dengan harga Rp70.000 per 10 biji di apotek resmi. Coba hitung berapa persen kenaikan harganya. Amazing!

Kenaikan harga masker dan ketersediaannya yang langka ini membuktikan bahwa pasar masker bergerak begitu bebas mengikuti mekanisme permintaan dan penawaran. Harganya semakin tinggi ketika pasokannya mulai menghilang dari pasaran – di sisi lain permintaan dari konsumen melonjak luar biasa. Ya, begitu memang bunyinya hukum permintaan dan hukum penawaran. Salah satu ciri khas dari pasar bebas yang kapitalis.

Pertanyaan mendasarnya ialah, “Lho, di mana campur tangan negara? Bukannya Covid-19 ini sudah menjadi isu global? Jika benar demikian, seharusnya pencegahan timbulnya penderita penyakit akibat virus Corona menjadi urgensi ya. Kalau mau membantu meredam penularan penyakit, tentu saja masker cukup efektif menjadi alatnya. Murah, sederhana, dan (seharusnya) mudah didapatkan di sekitar kita.”

Kalau sudah begitu, kira-kira sudah tahu jawabannya ya.
Jadi, Negara Indonesia ini kapitalis atau tidak?

 

 

 

9
0
Sofia Mahardianingtyas ◆ Professional Writer

Sofia Mahardianingtyas ◆ Professional Writer

Author

Seorang PNS perempuan yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal pemerintah.

2 Comments

  1. Bergman

    Enak bacanya mba, mengalir… Pancasila itu sejatinya sosialis tp tak mau disebut begitu terlebih pasca kudeta 1965. Orde baru ya jelas kapitalis 🙂

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post