Guru Honorer: Pilih Pahala Atau Gaji Layak?

by | Oct 24, 2019 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 2 comments

Pembahasan mengenai nasib yang menimpa guru honorer seolah tiada akhirnya dan sampai hari ini belum menemukan titik terang untuk mengatasinya. Selain soal tuntutan mereka untuk diangkat sebagai guru tetap, lagi-lagi juga soal gaji yang mereka terima.

Tentu saja kita sangat miris mendengarnya. Besaran gaji guru honorer ini sangat jauh jika kita bandingkan dengan penghasilan guru di negara Finlandia. Penghasilan seorang guru di sana bisa mencapai hingga puluhan juta. Sungguh penghasilan yang sangat fantastis dan menggiurkan.

Di negeri itu, seorang guru haruslah menjadi seseorang yang mumpuni di bidangnya sehingga benar-benar layak bagi negara memberikan penghasilan yang menggiurkan. Ternyata ada banyak kriteria yang harus dipenuhi.

Seleksi yang ketat untuk menjadi seorang guru tersebut, menjadikan guru sebagai profesi yang sangat istimewa di Finlandia. Dari sekian ratus calon guru hanya akan tersaring menjadi beberapa orang saja. Profesi ini menjadi sangat diidamkan. Jika ditanya mengenai cita-cita, hampir semua murid akan spontan menjawab, “Saya ingin menjadi guru”. Sebegitu mulianya guru di Finlandia.

Suasana yang berbeda jika dibandingkan dengan guru di Indonesia, lebih-lebih guru honorer. Tak sedikit yang memandang sebelah mata terhadap profesi guru honorer karena yang pertama kali mereka lihat adalah dari sisi penghasilannya.

Besaran gaji seorang guru honorer sudah menjadi rahasia umum, di kisaran 500 ribu rupiah perbulan, atau sedikit lebih tinggi, tapi tidak akan mencapai satu juta rupiah. Apakah angka ini layak bagi mereka? Menurut hemat penulis, sangat tidak layak. Salah satu alasannya karena perbedaam jam mengajar antara guru honorer dan guru PNS tidak jauh berbeda.

Inilah yang mengherankan bagi para guru honorer. Mengapa jam mengajar mereka sama dengan guru PNS tetapi pendapatan mereka jauh berbeda? Apakah memang harus dibedakan?

Menurut penulis, semestinya tidak perlu dibedakan karena honorer maupun PNS sama-sama menjalankan tugas sebagai guru. Hanya berbeda status saja: ada dan belum ada SK dengan nomor induk pegawai negeri sipil (NIP). Perbedaan status inilah yang kemudian membuat guru honorer dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan guru yang sudah PNS.

Guru yang sudah PNS akan dipandang hebat dan keren karena gaji yang didapatkan sudah pasti jauh lebih layak dibandingkan dengan guru honorer. Bahkan, guru yang sudah berstatus PNS diberikan tunjangan pensiun meski tidak full gaji.

Lalu seorang guru honorer yang sudah mengabdi sekian puluh tahun sangat berharap banyak untuk diangkat menjadi PNS. Namun, kenyataannya sampai hari ini sangat banyak yang belum bisa mendapatkan kehormatan itu.

Apakah pantas gaji seorang guru yang sudah lama mengabdi masih tetap sama dengan guru yang masih baru? Penulis berpendapat hal itu tidak lazim. Pemerintah mestinya lebih mengapresiasi para guru honorer ini untuk diangkat menjadi PNS karena perjuangannya yang sudah bertahun-tahun.

Namun, kenyataannya berbanding terbalik dengan harapan. Beberapa waktu yang lalu tersiar berita seorang guru bernama Nining Suryani (44) di Pandeglang tinggal di WC sekolah karena tidak sanggup mengontrak apalagi membeli rumah.

Sungguh kondisi yang mengenaskan sekali dan memang inilah nasib menjadi seorang guru honorer di Indonesia. Nasib selalu kurang berpihak kepada guru honorer. Meskipun sesungguhnya guru merupakan profesi mulia, tetapi di negeri ini penghasilan yang mereka terima (khususnya bagi guru honorer) masih belum pantas.

Menteri Muhadjir Efendy pernah berucap kurang lebih seperti ini, bahwa kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, nikmati saja, nanti masuk surga. Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa guru honorer hanya butuh pahala saja dibandingkan dengan materi.

Guru honorer dituntut bersyukur dengan gaji yang diterimanya sekarang, meski gaji yang didapat tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selama sebulan. Jika tidak bersyukur dibilang kufur. Pernyataan tersebut tentu saja kurang mencerminkan adanya perhatian dari pemerintah kepada para guru honorer.

Inilah yang selalu diteriakkan oleh guru honorer di pelosok negeri. Menuntut adanya kesejahteraan hidup bagi seorang guru merupakan hal yang wajar, apalagi mereka dengan ikhlas menjalankan profesinya tersebut puluhan tahun. Mereka hanya menuntut kesejahteraan yang lebih baik, dan itu bukan berarti mereka tidak bekerja dengan ikhlas.

Berapa besaran gaji seorang guru honorer yang pantas? Upah Minimum Regional (UMR) bisa menjadi acuan untuk menetapkan gaji guru honorer. Jika tidak bisa mencapai UMR, maka minimal gaji seorang guru honorer sebesar dua juta rupiah.

Besaran gaji sebesar itu setidaknya tidak membuat guru honorer sesak nafas setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Slip gaji guru honorer sekarang masih lebih kecil dibandingkan gaji seorang operator produksi di pabrik.

Di sinilah letak kelucuan di negeri ini. Guru yang sudah mengajar dengan sangat baik dan penuh kasih sayang kepada para muridnya selama puluhan tahun lamanya malah mendapatkan gaji yang tidak sesuai. Lalu apakah guru honorer harus pasrah dengan kenyataan yang ada? Seharusnya tidak karena masih banyak cara untuk meraup materi.

Jika hanya bertahan menjadi guru honorer dengan gaji yang sangat minim, maka dijamin mereka tidak akan bisa mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu banyak dari mereka yang melakukan pekerjaan sampingan seperti narik ojek online dan berdagang.

Dengan kedua cara itu, guru honorer terbantu untuk menutupi kekurangannya sehari-hari. Gaji yang didapat oleh guru honorer sudah habis buat membeli bensin saja, apalagi untuk makan sehari-hari. Jika guru honorer berstatus masih lajang saja sudah pasti kurang, apalagi yang sudah punya istri dan anak tentu gaji tersebut tidak akan cukup.

Sudah kecil gajinya, bahkan ada yang dirapel hingga tiga bulan lamanya. Padahal kebutuhan sehari-hari tidak bisa dirapel. Inilah uniknya menjadi guru honorer di Indonesia. Mereka harus memilih antara ikhlas dan kemudian mendapatkan pahala, atau memikirkan materi. Tentu saja keduanya harus berjalan seirama. Gaji guru honorer harus bisa dikatakan layak dan agar profesi guru menjadi istimewa di mata masyarakat.

Epilog

Ucapan Menteri Pendidikan mengenai gaji guru honorer yang kecil dan nanti masuk surga sudah pasti hanya untuk membesarkan hati para guru honorer. Alih-alih membesarkan jiwa dan hati guru honorer, Penulis berpendapat sebaiknya pemerintah mulai memikirkan solusi terbaik untuk memperbaiki kesejahteraan para guru honorer.

Wahai para guru honorer, pilih mana? Pahala atau gaji yang layak? Sepertinya kesabaranmu mesti diuji kembali sampai harapan kalian bisa terwujud.

***

 

 

3
0
Ibrahim Guntur Nuary ▲ Active Writer

Ibrahim Guntur Nuary ▲ Active Writer

Author

Penulis adalah peraih penghargaan Golden Generation 2017 dan Wisudawan Berprestasi 2018 IAIN SNJ Cirebon. Selain itu, merupakan Pegiat Komunitas NUN (Niat Untuk Nulis)

2 Comments

  1. Avatar

    Lalu ke mana anggaran pendidikan yang setiap tahun mencapai ratusan triliun rupiah?

    Reply
  2. Avatar

    jangankan 500ribu. bahkan masih banyak lho yang cuma dikasih kurang dari 200ribu. sebulan !!!

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post