Ego Sektoral di Tengah Bencana

by | Jan 17, 2019 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Bencana alam besar kembali datang di penghujung tahun 2018 yang lalu. Setelah gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Palu, pada 22 Desember 2018 yang lalu tsunami kembali menerjang dua provinsi yang dipisah oleh Selat Sunda, Provinsi Lampung, dan Provinsi Banten.

Dari data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat total 430 orang meninggal, 1.495 orang luka-luka, dan 16 orang dinyatakan hilang. Kejadian tersebut juga menarik atensi lebih luas karena di antara korban terdapat personil band kenamaan ibukota, Seventeen, dan artis pendukung sebuah acara temu ramah sebuah perusahaan malam itu. Terlebih, detik-detik mereka tersapu aliran air nan deras terekam dengan jelas dan tersebar secara viral di aplikasi berbagi pesan.

Saling Berdebat

Di samping duka mendalam yang dirasakan oleh keluarga korban dan masyarakat yang terdampak tsunami di malam minggu tersebut, sebuah fakta kurang mengenakkan disampaikan oleh beberapa media tentang buruknya koordinasi antar lembaga dalam kejadian naas ini.

Media tirto.id, misalnya, menyebutkan bahwa beberapa lembaga pemerintah yang berwenang dalam memberikan informasi terkait musabab tsunami malah terkesan saling berdebat dan membuat informasi jadi simpang siur.

Bermula dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis pernyataan melalui akun twitter-nya bahwa kejadian itu bukan tsunami. Namun, pada pukul 23.55, BMKG meralat pernyataan itu.

Melalui akun twitter-nya, BMKG menyebut bahwa gelombang pasang di Serang, Pandeglang, dan Lampung Selatan adalah tsunami. Kejadian ini bukan karena aktivitas gempa tektonik, melainkan akibat aktivitas gunung Anak Krakatau.

BMKG berkilah bahwa perubahan informasi tsunami yang dikeluarkan lembaganya itu dilakukan karena BMKG tak mencatat adanya aktivitas tektonik sebelum gelombang air laut naik.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), pada Badan Geologi Kementerian ESDM, menyatakan bahwa Gunung Anak Krakatau pada saat kejadian berstatus waspada seperti yang disampaikan Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG, Wawan Irawan.

Beliau beranggapan sangat kecil kemungkinan terjadi tsunami jika melihat dari letusan Gunung Anak Krakatau. Beliau juga mengatakan lembaganya tidak memiliki wewenang dalam mendeteksi terjadinya tsunami. Apalagi saat ini, kata dia, PVMBG memiliki kendala untuk melihat visual dari Krakatau.

Satu pekan lebih setelah kejadian naas tersebut, laman berita tirto.id kembali mengangkat keresahannya tentang tidak baiknya koordinasi antar instrumen negara ini. Kali ini dengan judul berita yang panjang dan lebih nyelekit, Debat BMKG-PVMBG Soal Tsunami Selat Sunda: Sia-sia & Harus Diakhiri. Berita tersebut dibuka dengan kutipan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  (ESDM), induk semang PVMBG tentang penyebab tsunamai tersebut.

Dalam ulasan tirto.id tersebut, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, tidak percaya tsunami Selat Sunda yang menghantam pesisir Banten dan Lampung Sabtu malam (22/12) disebabkan oleh letusan Gunung Anak Krakatau.

“Perlu ledakan serta longsoran berkekuatan yang sangat besar untuk bisa menyebabkan tsunami di Selat Sunda. Kalau letusan gunung Anak Krakatau saya kira tidak, kalau longsorannya mungkin salah satu faktornya,” kata Jonan saat meninjau Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, Banten, Jumat (28/12/2018) seperti dilansir Antara. Pernyataan Jonan tersebut menyalakan kembali perdebatan soal penyebab pasti tsunami Selat Sunda yang sejak awal simpang siur.

Disebutkan juga bahwa antara BMKG dan Badan Geologi sempat saling lempar tanggung jawab. Dalam instastory di instagram, Ahad (23/12), akun @infoBMKG menulis, “Jika ada kemungkinan tsunami akibat aktivitas vulkanik, itu adalah wewenang rekan kami di Badan Geologi.”

Kepala Sub Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami wilayah Barat PVMBG Badan Geologi, Ahmad Solihin, lantas membantahnya dengan mengatakan, “Untuk memantau dan memprediksi gejala tsunami dibutuhkan tide gauge untuk memantau tinggi muka air laut. Itu bukan wewenang PVMBG karena PVMBG tidak bisa memberikan peringatan dini terkait ancaman bencana tsunami. Badan Geologi bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan. Tugas dan kewenangan itu tidak meliputi peringatan dini tsunami”.

“Perdebatan” antar kedua lembaga ini direspon sinis oleh beberapa pakar. Pakar tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, menilai perdebatan antar lembaga itu sia-sia dan hanya membuang-buang waktu, terlebih yang menjadi korban adalah masyarakat.

Dia mengatakan lembaga pemerintah seharusnya fokus memasang alat pendeteksi dan peringatan bencana sebanyak dan seakurat mungkin di lokasi kejadian ketimbang berdebat. Hal ini perlu segera dilakukan karena fase erupsi Gunung Anak Krakatau masih berlangsung.

Widjo menekankan pentingnya lembaga pemerintah menghilangkan ego sektoral masing-masing. Bahkan, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Sukmandaru Prihatmoko menyarankan lembaga-lembaga yang menangani bidang kebumian dilebur jadi satu. Lembaga yang ia maksud adalah BMKG dan Badan Geologi dengan harapan mungkin hal seperti ini tidak terulang lagi dan mencoreng muka penyelenggara negara.

Kurang Koordinasi

Kritik tentang tidak berjalan dengan baiknya koordinasi antar lembaga negara oleh laman berita tirto.id tidak hanya tentang debat penyebab datangnya tsunami, tetapi juga tentang sebuah cuitan dan aksi kementerian pariwisata beberapa hari setelah kejadian menyeramkan tersebut.

Cuitan kementerian pariwisata (Kemenpar) yang berseri tersebut diunggah pada pada Rabu (26/12/2018) dimulai dengan “Hallo #SobatWisata ada kabar gembira nih di akhir tahun ini. Jalur wisata di kawasan Pantai Anyer hingga Tanjung Lesung, sekarang sudah berangsur normal. #BangkitkanPariwisataTjLesung.”

Inti dari rangkaian cuitan di twitter.com tersebut adalah jika kawasan Anyer hingga Tanjung Lesung berangsur normal usai dihantam tsunami empat hari sebelumnya. Namun, twit tersebut justru menuai kritik.

Langkah Kemenpar dinilai sembrono lantaran mempromosikan kawasan wisata di sejumlah pantai di Banten yang baru saja mengalami bencana tsunami dan saat  Gunung Anak Krakatau berstatus siaga atau level III.  Kemenpar pun akhirnya menghapus twit itu pada Kamis (27/12/2018) malam.

Kritik akan ajakan tersebut menyeruak dengan cepat di ruang maya internet oleh netizen dan dilanjutkan oleh beberapa pihak, seperti dari Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, yang mengingatkan agar pemerintah menyiapkan terlebih dahulu faktor keselamatan bagi wisatawan seperti rute, fasilitas, dan skema evakuasi.

Di samping itu, kata dia, belum adanya sistem peringatan dini tsunami yang memadai di kawasan pantai menjadi hal yang krusial dalam jaminan keselamatan wisatawan.

Kritik tajam disampaikan oleh Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra, yang berpendapat bahwa twit Kemenpar itu menjadi bukti ego sektoral lembaga yang telah lama terjadi dalam pemerintahan.

Ia memaklumi bila mempromosikan wisata memang merupakan tanggung jawab Kemenpar, tetapi, saat ini  kondisi daerah terdampak masih pada tanggap darurat bencana sehingga  informasi terkait kondisi wilayah wisata pasca bencana sepatutnya berkoordinasi dengan BMKG, PVMBG, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hingga Polri sebagai lembaga yang berwenang.

Karena itu, menurutnya, pemerintah semestinya segera menyingkronkan langkah antar lembaga. Kemenpar, kata dia, perlu mempertimbangkan data dan fakta yang juga dimiliki lembaga lain bila ingin mengonfirmasikan laporan terkait wilayah wisata di daerah bencana kepada masyarakat.

Ego Sektoral

Dua hal pemantik debat dan kritik terhadap penanganan bencana tsunami Lampung dan Banten ini disatukan oleh sebuah kata sakti yang sebenarnya tidak disukai oleh birokrat, yaitu ‘ego sektoral’.

Baik debat tentang penyebab datangnya tsunami malam itu dan ajakan berwisata ke daerah bencana yang terlalu dini dan tanpa koordinasi, disimpulkan karena masalah yang telah mengakar lama di sistem pemerintahan negara kita.

Ahli psikologi mendefinisikan kata ego sebagai struktur psikis yang berhubungan dengan konsep tentang diri, diatur oleh prinsip realitas dan ditandai oleh kemampuan untuk menoleransi frustrasi. Penyakit ego sektoral telah ada sejak lama di berbagai organisasi sebagai bentuk untuk menonjolkan kehebatan sektor atau bahkan untuk menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya.

Praktek ego sektoral pada pemerintahan sejatinya tidak menguntungkan siapapun, yang akan terjadi hanyalah sebuah organisasi dengan koordinasi yang kacau balau dan pada akhirnya hanya akan mendatangkan kerugian kepada rakyat, bangsa, dan negara.

Ego sektoral bukanlah sebuah penyakit yang tidak ada obatnya. Ranggi Ade Febrian, Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau, menyampaikan dalam jurnalnya dengan judul “Analisis Permasalahan Koordinasi Pemerintah (Tinjauan Konseptual dan Teoritis)”, ego sektoral penyelanggara pemerintah dapat diredam ketika setiap penyelanggara pemerintah memiliki kesadaran bahwa  setiap  lembaga negara memiliki tujuan yang sama meski disektor yang berbeda, yaitu memajukan negara dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Kesadaran akan tujuan yang sama tersebut menjadi sumber kekuatan untuk dapat meredam ego sektoral yang sering kali menjadi penghambat. Faktor penting lainnya untuk meredam ego sektoral adalah sosok pemimpin yang merangkul dan memiliki etika yang baik. Sebuah kepemimpinan yang telah dicontohkan Baginda Rasulullah SAW yang dapat merangkul semua sahabat dan umat.

Epilog

Sebenarnya baru pada perayaan Hari Ulang Tahun Korpri yang ke-47 pada November 2018, Presiden Joko Widodo mengingatkan para aparatur sipil negara (ASN) untuk tidak terjebak dalam ego sektoral dan  meminta ASN untuk saling bersinegeri.

“ASN di semua lapisan, saya minta untuk tidak terjebak dalam ego sektoral, tidak terjebak dalam ego organisasi, tidak terjebak dalam ego program masing-masing. Semua permasalahan yang ada di masyarakat bersifat lintas sektoral, bahkan lintas daerah,” ujar Presiden Joko Widodo saat menjadi inspektur upacara dalam HUT ke-47 Korpri di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (29/11/2018)

Perintah untuk meninggalkan ego sektoral telah ada sejak lama. Contoh kepemimpinan yang mulia juga telah diberikan oleh Baginda Rasulullah SAW. Nah, sekarang tinggal pribadi kita sebagai birokrat untuk sadar bahwa perjuangan itu butuh kerja sama lintas sektor yang baik. Ego sektoral tidak akan memberikan apa-apa kecuali coreng di muka.

Alfatihah untuk semua korban bencana alam di Indonesia.

 

 

1
0
Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Author

Abdi negara di kementerian yang mengurusi energi. Juga berkicau di twitter @RArisyadi.

1 Comment

  1. Avatar

    saya kasih solusi ya….
    itu keduanya dimerger aja

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post