Budaya Kerja: Bisakah Membentuk PNS Menjadi ‘Samurai?

by | Feb 19, 2017 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

“Saya sendiri masih mencari-cari apa ada hubungannya budaya kerja dengan kinerja. Jangan sampai kita juara budaya kerja tapi dari sisi kinerja tidak banyak yang berubah”

Pertanyaan seorang rekan di atas pada dasarnya juga menjadi pertanyaan saya setelah bergelut dengan budaya kerja selama lebih dari tiga tahun. Sebagai penggiat budaya kerja saya sendiri sebenarnya masih meragukan adakah kegiatan-kegiatan yang selama ini dirancang ada pengaruhnya terhadap kinerja. Ada beberapa saat dimana saya hampir putus asa dengan apa yang saya usahakan. Ah…seharusnya saya harus memasrahkan semua usaha hanya kepada Sang Pencipta. Pada titik itu pulalah saya merasakan bahwa apa yang telah saya lakukan tidak banyak membawa perubahan.

Di saat bersamaan rekan seperjuangan saya menyatakan mundur dari ‘arena’. Lengkap sudah apatisme saya. Untung saja ada Facebook (FB)..he..he.. Memang FB ibarat pisau yang bisa melukai sekaligus bisa membantu meracik aneka masakan yang lezat. Di situlah saya mengadukan persoalan saya kepada salah seorang rekan. Tak banyak membantu sebenarnya. Saya sendiri pun sebenarnya sudah sering mendengar informasi atau tips-tips yang diberikan rekan saya. Teoritis memang. Ya kerena rekan saya bekerja di salah satu bank milik swasta yang tentunya mempunyai budaya organisasi yang berbeda dengan instansi pemerintah. Namun, saya biarkan chatting mengalir hingga ia menyinggung tentang semangat samurai. Sejak saat itulah saya jatuh cinta dengan kata ‘samurai’, terlepas dari hal-hal negatif para penyandangnya .

Dari hasil googling-an, saya dapatkan informasi bahwa semangat samurai-lah yang membuat Jepang mampu bertahan setelah mengalami kehancuran pada perang dunia kedua dengan bom atom yang dijatuhkan di Heroshima dan Nagasaki. Semangat yang pantang menyerah itu pula yang membuat Jepang menjadi negara industri dengan produk-produknya yang mendunia. Intinya, pantang menyerah. Prinsip inilah yang selalu dipegang para jawara.

Kalau setelah beberapa saat sang samurai berhasil menawan hati saya, maka sedikit demi sedikit orientasi saya berubah. Saya belajar menerima hasil dan mulai belajar melupakan impian saya tentang ‘perubahan’. Tapi, tidak berarti saya berhenti. Ya..karena sesungguhnya saya lebih mencintai apa yang saya lakukan daripada hasil yang saya harapkan. ‘Kepergian’ rekan seperjuangan justru menjadi tantangan baru yang menggoda untuk ditaklukkan. Begitulah..hingga kemudian saya temukan ‘rekan-rekan’ baru. Mereka inilah yang menjadi pengobar bara semangat untuk tetap menyala.

Oooooops…Mari kembali pada konteks budaya kerja dan kinerja di atas.

Ya..bahkan hingga kini pun saya juga belum bisa membuktikan bahwa kegiatan-kegiatan budaya kerja di kantor punya pengaruh signifikan terhadap kinerja individu. Kegiatan-kegiatan budaya kerja unggulan kami adalah penyusunan bulletin, diskusi buku, lomba karya tulis, pengajian dua mingguan, senam aerobik tiap minggu pagi, band, outbond dan lainnya. Intinya, kegiatan tersebut seperti kegiatan ekstrakulikuler anak-anak SMA. Sekilas dan setelah dilihat dengan mata kepala sendiri pun tidak ada hubungannya dengan kinerja.

Jika begitu, masih perlukah kegiatan-kegiatan tersebut dilanjutkan?

Butuh waktu yang cukup lama untuk mendewasakan pemahaman tentang budaya kerja. Awalnya pun saya tak sepakat, setidak sepakat dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya ‘hura-hura’. Kalau kinerja yang diharapkan meningkat maka sistem  yang justru harus diperbaiki.

Jadi? Penerapan reward dan punishment yang jelas hingga penegakan SOP-lah yang perlu dilakukan. Lalu buat apa ada budaya kerja?

Begitulah bisikan-bisikan yang selalu merasuk dan menggoda saya untuk meragukan kredibilitas budaya kerja. Hingga pikiran saya akhirnya bermuara pada kisah-kisah saya bersama sahabat-sahabat MAKES ‘Al-Markaz for Khudi Enligtening Studies’ sepuluh tahun silam. Kala itu kami begitu asyik menikmati diskusi-diskusi yang melupakan waktu bahkan hingga adzan subuh. Seorang kawan waktu itu mengatakan ‘kalau kita ingin mengubah seseorang, maka yang harus diubah adalah pola pikirnya terlebih dahulu’. Waktu itu saya hanya meng-iya-kan saja hingga akhirnya kata-kata itu lenyap ditelan waktu.

Sampai saya temukan bukunya Adi W. Gunawan yang mengukuhkan pendapat kawan saya delapan tahun kemudian. Buku itulah yang kemudian meyakinkan saya bahwa perbaikan dan penegakan sistem dan konsistensi pada SOP adalah bagian dari peningkatan kinerja. Pola perbaikan semacam itu menggunakan pendekatan hard control kalau menurut bahasa SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah).

Nah, mengubah pola pikir merupakan pola perubahan yang bersifat soft atau pada sisi manusianya. Keduanya tidak berseberangan tapi saling melengkapi. Perbaikan hard control saja hanya akan membuat hidup menjadi kering, gersang, kaku, dan saklek. Soft control inilah yang justru menjadikan hidup menjadi lebih indah, lebih berwarna, dan lebih bermakna. Perbaikan pola pikir menjanjikan perubahan sikap dan perilaku dalam jangka panjang. Restorasi Meiji di Jepang memang telah mengubah kedudukan para samurai. Tapi ketika peran samurai dikurangi dan menjadi ‘rakyat biasa’ justru mereka mampu menularkan semangatnya kepada masyarakat sipil. Loyal, disiplin, beretika dalam berlaku, menjaga kehormatan, dan respek itulah yang kemudian membawa Jepang menjadi negara yang hebat meski pernah diluluhlantakkan Amerika. Dan kini, kita bisa saksikan, produk Jepang mendunia.

Begitu pula yang diharapkan dari budaya kerja…

Budaya kerja atau sering disebut organisation culture adalah ruh yang mampu menggerakkan jiwa-jiwa pekerja, pegawai, staf, atasan, birokrat menjadi seorang Shakespeare, Michael Angelo, dan Bethoven. Mereka itulah yang telah menggugah dunia dengan mahakarya yang dicipta sepenuh cinta dan kesungguhan dari dalam jiwa. Cinta dan kesungguhan itu membuncah menjelma menjadi passion yang menggerakkan pikiran, kaki , tangan, dan seluruh indra untuk mewujudkan karya yang abadi dan dikenang sepanjang masa.

Makanya, budaya kerja menjadikan hidup penuh warna, penuh keindahan, dan harmoni yang mengakar kuat yang tidak dibatasi oleh-oleh insentif finansial dan tidak memenjarakan kreatifitas. Budaya kerja mengubah pola pikir secara mendasar yang akan menjadi pijakan dalam bergerak, berbuat, dan bekerja.

Kalau begitu, membangun budaya kerja butuh waktu yang panjang. Memang. Namun, tidak berarti tak berbatas waktu. Kalaulah kemudian kegiatan-kegiatan yang selama ini dirancang belum menunjukkan adanya perubahan, mungkin perlu kembali dievaluasi efektivitasnya. Memang benar, membangun budaya kerja sama halnya dengan mengubah mindset.

Bayangkan, betapa sulitnya mencerabut akar pikiran yang menurut Adi W. Gunawan sebagai belief yang telah dipelihara puluhan tahun dalam otak dan diyakini sepenuh hati. Bukankah ia ibarat mencabut pohon yang juga berusia sama? Kalau yang kita lakukan hanyalah memotong ranting-rantingnya saja, pasti ranting baru akan bermunculan. Kemudian, kalau yang kita lakukan adalah menebang batangnya, boleh jadi suatu saat kelak ia akan tumbuh dan berkembang lagi. Itu baru mencerabut akar, belum menanam kembali pohon lain di tempat yang sama yang bisa memberikan banyak buah bercita rasa luar biasa. Tentu dibutuhkan waktu bertahun-tahun.

Jadi?

Dengan melihat ‘posisi’ budaya kerja di atas tentu sangat sulit untuk merubah pola kebiasan bekerja di kalangan PNS yang secara umum dikenal malas, tidak profesional, tidak berjiwa melayani, dan sebagainya. Penerapan reformasi birokrasi sesungguhnya cara jitu untuk menghasilkan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Setidaknya, penerapan reward dan punishment yang jelas, pola rekruitmen, dan penempatan pegawai yang benar otomatis akan menggeser equilibrium supply and demand kinerja pegawai ke sebelah kanan. Secara otomatis pula PNS berkinerja rendah seharusnya bisa tersingkirkan dari pasar PNS dan digantikan oleh mereka-mereka yang berkualitas. Namun, mungkinkah itu terjadi? Bisakah meng-kick-out PNS yang berkinerja rendah? Sulit rasanya, meski bukan tidak mungkin. Tentu, alangkah indahnya bekerja di instansi pemerintah yang seluruh pegawai dan pejabatnya bekerja sebagaimana yang diharapkan oleh Marthin Luther King, Jr: bekerja sebagaimana Michaelangelo melukis, Beethoven menggubah musik, ataupun Shakespeare menulis puisi.

Untuk menghasilkan peningkatan kinerja yang signifikan dalam waktu yang lebih pendek, maka budaya kerja harus diiringi dengan reformasi birokrasi atau sebaliknya. Keduanya harus seiring sejalan. Reformasi birokrasi sesungguhnya membuat ruang untuk perbaikan infrastruktur yang akan menghasilkan manusia-manusia yang taat pada hukum, patuh pada peraturan, dan selalu membuat perhitungan reward dan punishment.

Pola perbaikan semacam ini akan menghasilkan manusia berkarakter robot, budak, ataupun pedagang. Sebaliknya, budaya kerja akan melahirkan orang-orang yang arif. Budaya kerja memberikan ruh agar ketaatan dan kepatuhan tidak menjadikan PNS sebagai budak yang takut kepada majikan ataupun pedagang yang selalu menghitung untung rugi. Namun, budaya kerja menjadikan kita menjadi orang yang arif yang selalu mensyukuri hidup yang diberikan Sang Pencipta. Kepatuhan dan ketaatan orang yang arif didasarkan pada sebuah cinta yang tulus yang melahirkan hasrat untuk memberikan yang terbaik kepada Sang Pemberi Amanah.

Mengharapkan peningkatan kinerja dengan hanya membangun budaya kerja tentu dibutuhkan waktu yang jauh lebih panjang. Perubahan sesegera mungkin bisa ditemui pada beberapa gelintir orang yang kebetulan aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan catatan, kegiatan-kegiatan yang digagas adalah kegiatan yang terencana secara baik dan berkelanjutan. Maksudnya, kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang sesaat, tidak terencana, dan tidak terstrukur. Mengharapkan perubahan secara organisasional tentu sangat sulit jika tidak didukung oleh kebijakan yang mengharuskan setiap orang terlibat secara aktif dalam kegiatan ini.

Saya sendiri masih mempercayai bahwa mendesain kegiatan budaya kerja yang tepat akan berpengaruh secara langsung terhadap kinerja. Mau tahu kenapa?

Saat ini saya tinggal di sebuah lingkungan perumahan lama yang dibangun sekitar tahun 1964. Rumah yang saya tinggali pun rumah yang dibangun pada masa itu. Di lingkungan RW setiap minggu selalu diadakan pengajian yang konon sudah dimulai sejak tahun tersebut. Bisa dibayangkan, anak-anak kecil yang dulu diajak para ibu-ibu majelis taklim kini seluruhnya telah berkeluarga.

Tiga tahun yang lalu, sebelum anak kedua saya lahir, saya sering menghadiri pengajian ini. Rentang generasi sering menjadikan saya enggan untuk datang karena kebanyakan yang hadir seusia ibu saya seandainya saat ini beliau masih hidup. Di sisi lain, saya tertarik dengan materi yang disampaikan oleh ustadz pembina majelis taklim ini yang kebetulan pengurus sebuah pesantren terkenal. Saya seperti menemukan suasana pengajian yang telah lama saya tinggalkan. Berbeda dengan pengajian mingguan di kampung saya yang terkadang karena ketiadaan ustadz yang handal akhirnya materi diisi secara bergiliran oleh peserta meski terkadang orang tua kami mengundang beberapa ustadz untuk mengisi materi. Efeknya ternyata berbeda.

Atau, kalau kita coba perhatikan para aktivis kampus ataupun aktivis dakwah mereka punya karakter tersendiri. Bagaimana mereka bisa seperti itu?

Mereka tidak lahir begitu saja. Mereka adalah hasil didikan dari sebuah organisasi yang mempunyai komitmen kuat untuk mewujudkan tujuan bersama. Didikan itu bernama kelompok diskusi bagi para aktivis kampus dan halaqah bagi para aktivis dakwah. Setiap minggu atau bahkan lebih sering mereka dipertemukan dan dibina oleh senior yang dianggap mempunyai pemahaman lebih terhadap garis perjuangan atau garis dakwah. Mereka pun mempunyai ‘kurikulum’ tersendiri sehingga kader-kader dakwah sebagaimana yang diharapkan. Mereka yang ketika telah ‘tercelup’ kurikulum ini akan mempunyai loyalitas yang luar biasa terhadap organisasi. Mereka sanggup meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran demi kepentingan bersama. Bahkan, mereka berani menunjukkan ‘perbedaan’ mereka sebagai karakter yang merupakan cerminan dari organisasi. Mereka juga sanggup mengeluarkan rupiah untuk mendanaik kegiatan organisasi.

Di kalangan PNS pun pada dasarnya masih ada PNS-PNS yang mempunyai kinerja tinggi, punya komitmen, profesional, berintegritas, dan tidak selalu mengaitkan pekerjaan dengan insentif-insentif financial. Apa yang membuat mereka mampu mempertahankan idealisme sementara yang lain tidak? Inilah yang sering kemudian membuat orang kemudian menyimpulkan ‘tergantung masing-masing individu’. Atau, kalau menurut teman saya back to our self. Kalau jawaban seperti ini yang muncul, maka berakhirlah diskusi.

Pertanyaannya, bagaimana membuat PNS-PNS mempunyai karakter sebagaimana aktivis kampus dan aktivis dakwah yang rela mengorbankan, harta, jiwa dan raga untuk perbaikan pelayanan publik?

Tak ada salahnya mengujicobakan pola pembentukan karakter yang dilakukan oleh para aktivis kampus dan aktivis dakwah dalam kegiatan budaya kerja. Benang merahnya sebenarnya terletak pada sistematika dan kontinuitas pelaksanaan.

Kalau kegiatan budaya kerja hanya dilakukan tanpa ada arah yang jelas dan situasional, maka bersiaplah untuk menuai gugatan bahwa kegiatan budaya kerja hanyalah pemborosan belaka.

 

 

 

0
0
Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Nur Ana Sejati ◆ Professional Writer

Author

ASN Instansi Pemerintah Pusat alumni Program PhD of Accounting di Victoria University, Melbourne-Australia. Penulis yang satu ini memiliki gaya yang khas pada tulisannya yaitu “bersemangat” dan menginspirasi. Ana, panggilan khas sang penulis yang aktif ini, merupakan salah satu penggagas gerakan Birokrat Menulis.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post