Berkaca pada Gerakan #MeToo: Sudahkah ASN Terlindungi?

by | Aug 9, 2019 | Birokrasi Berdaya | 2 comments

Tagar, atau dalam istilah aslinya disebut hashtag (oleh anak-anak gaul dipelesetkan dengan ‘hestek’) dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mem-viralkan suatu informasi atau berita, terutama di media sosial.

Penggunaannya pun beragam, ada yang serius ada pula yang hanya merupakan candaan, tapi ujungnya tetap sama, yakni menjadi viral dan trending topic. Pada tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk membahas tentang satu tagar yang menyita perhatian dua tahun yang lalu, yakni tagar #MeToo.

Gerakan #MeToo

Me Too Movement atau Gerakan Me Too (gerakan #MeToo), yang pada praktiknya, istilahnya disesuaikan dengan negara masing-masing, memiliki pesan yang sama, yaitu merupakan gerakan melawan pelecehan seksual dan kekerasan seksual.

Gerakan ini mulai menyebar secara viral pada bulan Oktober 2017 sebagai tagar di media sosial dalam upaya untuk menunjukkan prevalensi yang luas dari kekerasan dan pelecehan seksual, khususnya di tempat kerja.

Lalu apa dampaknya? Ternyata gerakan tersebut memberikan dorongan yang sangat kuat bagi legislatif untuk concern pada hal itu, terutama di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Tidak hanya legislatif, dewan komisaris dan direksi di berbagai perusahaan di sana dengan serius bergerak untuk dapat menjawab gerakan tersebut.

Dampak Negatif Pelecehan Seksual

Kenapa gerakan ini mendapatkan perhatian dari berbagai pihak dan kemudian ditindaklanjuti? Pertama, karena gerakan ini pada hakekatnya merupakan bentuk penegakan hak asasi manusia, khususnya dalam hal kesetaraan gender dan tentang banyaknya masyarakat yang masih bersikap seksis.

Kedua, jika tidak ditangani dengan baik, kinerja organisasi akan terancam. Begini argumennya, Ed Lynch, asisten profesor di Departemen Akuntansi di California State University di Mihaylo College of Business and Economics Fullerton menjelaskan bahwa pelecehan seksual memiliki dampak negatif jangka panjang kumulatif pada kinerja.

Hal ini karena para korban merasakan keraguan diri yang berubah menjadi menyalahkan diri sendiri, dan kemudian berubah menjadi depresi. Bagi sebagian perempuan, hal itu dapat berujung pada gangguan stres pascatrauma, misalnya, serangkaian reaksi fisiologis seperti stres, gangguan tidur, nyeri leher, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, dan dalam kasus ekstrim, peningkatan risiko bunuh diri.

Selain kinerja, tentu reputasi merupakan hal yang sangat penting, yang harus menjadi pertimbangan bagi organisasi untuk memberikan perhatian besar kepada pencegahan terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja.

Robert Kuling, partner pada Enterprise Risk Services di Deloitte Canada di Calgary, menjelaskan bahwa berita yang masuk ke ranah publik dengan isu-isu seputar diskriminasi dan pelecehan benar-benar dapat menghancurkan reputasi dan kepercayaan terhadap organisasi.

Praktiknya di Indonesia?

Salah satu kasus pelecehan seksual yang menarik, yang dapat dijadikan contoh praktik sekaligus pelajaran mengenai penanganan praktik pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia adalah Kasus Rizky Amelia (Amel), yang bekerja di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Amel, yang kasusnya sempat menjadi ‘ramai’ beberapa waktu lalu, pada akhirnya harus menahan siksaan pelecehan seksual di tempat ia bekerja selama 2 tahun. Siksaan selama itu ia alami lantaran ia tidak menemukan jalur yang tepat untuk ia mendapatkan perlindungan dan keberpihakan.

Siksaan itu terpaksa ia alami akibat belum kondusifnya lingkungan kerja dalam merespon kejadian pelecehan seksual. Bahkan, saat kasus itu terkuak, masih saja banyak masyarakat yang mencelanya.

Begitu pun di lingkungan birokrasi pemerintahan, ternyata memang belum ada kebijakan khusus mengenai hal itu. Juru Bicara Badan Kepegawaian Negara (BKN), Muhammad Ridwan, mengakui tak ada aturan khusus untuk menangani korban kasus pelecehan maupun kekerasan seksual yang dilakukan sesama aparatur negara.

Segala pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil (PNS) hanya menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 yang menjabarkan jenis tindakan dan hukuman untuk pelaku. Mulai dari sanksi ringan berupa teguran, penurunan pangkat, hingga pemberhentian. Kondisi ini tentu tidak ideal mengingat potensi terjadinya pelecehan seksual di dunia birokrasi tidak berbeda dengan di tempat kerja lainnya, sehingga seharusnya mendapatkan perhatian yang sama.

Contoh Kebijakan

Penulis sempat berdiskusi dengan seseorang yang menjadi inisator implementasi pengelolaan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di perusahaannya. Restu Flazona, seorang Compensation Benefit and Payroll Manager pada Aditya Birla Yarn Co., pada tahun 2018 berhasil mewujudkan kebijakan POSH yang merupakan singkatan dari Prevention of Sexual Harrasment.

Gerakan itu menjadi gerakan nyata yang didukung oleh peraturan dan infrastruktur di lingkungan perusahaaannya. Ia menceritakan bahwa tantangan besar yang dihadapi pada awal rencana pembangunan POSH ini adalah sedikitnya referensi yang ada di Indonesia, sehingga perlu mengekstraksi dari berbagai sumber rujukan internasional.

POSH sendiri sejatinya merupakan pembuatan regulasi terkait apa saja perbuatan yang termasuk dalam kategori pelecehan seksual, dan bagaimana cara pelaporannya. Termasuk juga dijelaskan hukuman seperti apa yang akan dikenakan bagi pelakunya.

Selain itu, perlu dibangun komite yang secara khusus menangani permasalahan tersebut, yang nantinya menjadi satu-satunya pihak yang berhak turun menangani ketika ada masalah.

Tantangan berikutnya adalah memberikan pemahaman kepada pimpinan dan pegawai bahwa POSH merupakan sesuatu yang penting dan harus menjadi perhatian.

Sosialisasi dilakukan secara menyeluruh, melalui workshop kepada seluruh pegawai, sekali lagi, seluruh pegawai, sehingga tidak ada satu orang pun yang beralasan tidak tahu ada regulasi tersebut.

“Ya waktu sosialisasi awalnya banyak yang kurang serius dan terkesan becanda. Tapi setelah saya jelaskan bahwa setelah keluar dari ruangan workshop ini, jika ada yang terbukti melakukan hal-hal yang termasuk kategori pelecehan seksual, langsung dipecat, mereka langsung enggak main-main lagi”, demikian jelas Zona, panggilan akrab wanita tersebut.

Ia juga menegaskan bahwa kunci dari jalannya program tersebut adalah adanya komitmen pimpinan. Pimpinan memberikan dukungan dan berani memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya. Hal tersebut dinyatakan dalam berbagai arahan dan dinyatakan tegas dalam aturan yang disusun.

Ketika penulis menanyakan bagaimana implementasinya, Zona menegaskan bahwa sistem yang dibangun telah teruji karena telah melakukan penanganan beberapa kali kejadian, di mana pada akhirnya seluruh pelaku dikeluarkan dari perusahaan.

“Yang jadi masalah sebenarnya adalah banyak korban yang tidak tahu bahwa apa yang mereka alami itu merupakan pelecehan seksual. Selain itu, banyak yang tidak tahu harus melaporkan kemana, dan apakah aman baginya jika melaporkan.

Itulah kenapa POSH itu penting, karena ini melindungi pegawai untuk bisa bekerja dengan tenang”. Faktanya, ketidaktahuan tentang batasan perbuatan apa saja yang dikategorikan pelecehan seksual, bukan hanya pada wanita yang notabene kebanyakan menjadi korban, tetapi juga pada kaum prianya juga. Artinya, awareness merupakan sesuatu yang harus dilakukan.

Epilog

Kembali lagi, pertanyaan yang muncul adalah perlukah ada aturan khusus terkait pencegahan pelecehan seksual ini di dunia birokrasi kita? Jika pertanyaan itu diajukan kepada penulis, tentu penulis akan menjawabnya dengan tegas, perlu.

Tentu saja, perlu komitmen yang kuat dari pimpinan dan regulasi yang memadai, sehingga jika terjadi, sang korban tahu bahwa ia harus bicara, dan tahu harus bicara kepada siapa, tidak perlu takut terhadap sang pelaku, bahkan jika sang pelaku memiliki jabatan yang tinggi sekalipun.

Karena mendapatkan kenyamanan dan keamanan di tempat kerja merupakan hak semuanya, sama. Karena pada hakekatnya, dengan adanya gerakan #MeToo ini justru bukan berarti membatasi interaksi antara satu individu dengan individu lain di tempat kerja, tetapi justru dapat menciptakan batasan yang jelas dan membuat interaksi menjadi lebih nyaman dan tetap professional.

2
0
Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Author

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

2 Comments

  1. Avatar

    Baguss…penjelasa tidak panjang namun langsung kena. Selamat Mas Betrika…smg bermanfaat bagi pembacanya.

    Reply
    • Avatar

      terima kasih banyak pak riki, semoga bermanfaat bagi kita semua

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post