Berani Tidak Disukai: Adler dan Obat Kekacauan Dosis Tinggi

by | Jul 1, 2020 | Resensi/Ulasan Buku dan Film | 5 comments

Saya selalu merasakan sedikit kegelian ketika mendapati status sahabat atau kenalan yang mem-posting aktivitas hariannya di media sosial. Sebut saja sepasang suami istri yang sedang memasak bersama di dapur – mencoba beberapa resep baru dari Youtube, seorang istri yang menyiapkan pakaian dan sarapan untuk suaminya sebelum bekerja, atau seorang mahasiswi sedang sarapan lontong sayur sehabis lari pagi bersama keluarga atau kekasih. Mereka mengakhiri posting-annya dengan tagar #bahagiaitusederhana. Saya kemudian tergoda untuk bertanya, kira-kira bagian manakah yang membuat mereka meyakini bahwa kebahagiaan itu sederhana. Apakah karena aktifitasnya itu sendiri atau bahagia dengan posting-annya? Benarkah kebahagiaan bisa sesederhana itu?

Namun, kegelian itu mendadak berubah menjadi keyakinan setelah saya menamatkan beberapa kali buku The Courage to be Disliked atau Berani Tidak Disukai (2019) karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga. Meski dengan pemahaman yang belum benar-benar sempurna, saya perlahan-lahan mulai mendapatkan alasan paling masuk akal mengapa sahabat dan kenalan saya tersebut begitu percaya diri dengan tagarnya. Saya juga yakin kalau mereka lebih dulu menamatkan buku ini.

Dialog Naratif Filsuf dan Seorang Pemuda

Berani tidak disukai adalah sebuah buku tentang dialog naratif lima malam antara seorang filsuf yang meyakini bahwa dunia ini sederhana – sehingga kebahagiaan dapat diraih sekejap mata, dengan seorang pemuda yang merasa tidak puas dengan hidupnya – memandang dunia ini sebagai gumpalan kontradiksi sehingga gagasan apapun tentang kebahagiaan adalah hal yang tidak masuk akal baginya.

Dialog dua karakter pada buku ini berlangsung seperti dialog Socrates dengan murid-muridnya. Sang filsuf tidak berlagak seperti guru dogmatis yang terburu-buru untuk menghantarkan jawaban dan kepastian sebuah pemahman kepada sang pemuda. Sebagai gantinya dia memberikan ruang yang lebar dan terbuka sehingga pemuda tersebut sampai pada jawaban yang ingin dia cari melalui usahanya sendiri.

Sang pemuda juga tidak berlagak seperti murid (atau bawahan) baik-baik yang merasa “membantah” bukanlah sikap pelanggaran terhadap etika. Alih-alih, ia lebih menyerupai kaum Bani Israil yang terus mengganti pernyataan atau perintah Musa dengan pertanyaan, berulang-ulang.

Mempertanyakan adalah energi terbesar anak muda ini ketika berusaha menuntaskan lima malam dengan puluhan kebingungan. Bahkan tak jarang pertanyaan-pertanyaan tersebut acapkali terasa berlebihan. Namun, bukankah di dalam dialog-dialog Plato, Socrates mendapatkan kelakuan dan bahasa muridnya agak terlalu bebas, yang justru membuat murid-muridnya menjadi filsuf yang lebih besar dari dirinya sendiri?

Pengantar Teori Psikologi Adler

Terlepas dari persoalan dialog, sebenarnya, buku ini tak lebih dari sebuah pengantar (yang asyik) terhadap Teori Psikologi Alfred Adler. Meski tidak mudah untuk memahami Teori Psikologi Adler, setidaknya diaog naratif ini lebih enak dikonsumsi daripada buku teori akademis yang hanya ada ada di lemari perpustakaan kampus.

Konon, seseorang butuh setengah dari usianya untuk bisa benar-benar memahami Teori Psikologi Adler ini. Karena saya sudah 36 tahun saat ini, maka setidaknya butuh waktu lebih kurang 18 tahun untuk bisa benar-benar memahami dan menerapkan teori ini dengan sepenuhnya.

Itu artinya saya harus kembali memakai seragam putih merah, putih biru, dan putih abu-abu saya hanya untuk mempelajari satu bidang studi, Psikologi Adler. Anda bisa bayangkan betapa butuh waktu lama untuk menjadi seorang expert.

Alfred Adler adalah tokoh penting di dunia psikologi (selain Sigmund Freud dan Carl Jung). Ia merupakan salah satu anggota inti asli Masyarakat Psikoanalisis Vienna, yang saat itu dipimpin  oleh Freud. Gagasannya bertolak belakang dengan Freud, sehingga dia memisahkan diri dari kelompok tersebut dan mengusulkan teori “psikologi individual” yang berbasis pada teori orisinalnya sendiri.

Harus diakui bahwa saya baru mengetahui nama Alfred Adler setelah baca buku yang katanya sudah terjual lebih dari 3,5 juta eksemplar ini. Saya bahkan tidak memiliki referensi apapun tentang psikolog yang oleh Dale Carnegie digambarkan sebagai “psikolog besar yang mengabdikan hidupnya untuk meneliti manusia dan kemampuan terpendam mereka”.

Selama ini saya hanya mengenal Freud dan Jung di kelas kritik sastra ketika mempelajari Psikoanalisis di bangku kuliah dulu. Saya rasa saya harus mempertanyakan lagi nilai A yang saya dapat oleh karena nihilnya pengetahuan saya terhadap psikolog ini.

Meskipun ilmu psikologi pada intinya cenderung dikaitkan dengan Freud dan Jung, bukan berarti Adler tidak dihormati di seluruh dunia. Konon, gagasan-gagasan Adler lebih orisinal dan inovatif sehingga dikatakan lebih maju ratusan tahun dari masanya. Bahkan hari ini kita belum sungguh-sungguh berhasil memahaminya dengan sempurna.

Konsep-konsep Psikologi Baru

Pertama: Teleologi

Ada begitu banyak konsep psikologi baru yang bisa kita dapatkan dari buku 323 halaman ini. Setidaknya ada empat konsep elementer yang bisa ditarik dari buku ini.

Pertama, konsep “selalu ada sebab sebelum akibat” menjadi tidak berarti di sini. Teori psikologi Adler tidak menganggap penting masa lalu. Bagi Adler, kalau kita berfokus hanya pada sebab-sebab di masa lalu dan mencoba menjelaskan berbagai hal semata-mata melalui hubungan sebab akibat, akhirnya kita akan tiba pada “determinisme”.

Yang dinyatakan adalah bahwa masa kini dan masa depan kita sudah diputuskan oleh kejadian-kejadian di masa lalu, dan tidak dapat diubah. Sebagai gantinya, teori psikologi Adler tidak memikirkan “sebab” yang sudah lewat, tapi “tujuan” saat ini. Adler memberi istilahnya dengan teleologi. Teleologi adalah ilmu yang mempelajari tujuan dari suatu fenomena tertentu, ketimbang penyebabnya.

Dalam teleologi, kita tidak ditentukan oleh pengalaman kita, tetapi arti yang kita berikan pada pengalaman-pengalaman itu menentukan dengan sendirinya. Dengan kata lain, kita mengartikan pengalaman-pengalaman sesuai dengan tujuan kita serta makna yang kita berikan padanya.

Jika konsep ini masih menyisakan kebingungan, ada satu contoh yang mempermudah untuk memahami. Suatu hari, seorang ibu dan anak perempuannya bertengkar dengan suara nyaring. Lalu tiba-tiba telepon berbunyi.

“Halo?”

Sang ibu berbegas mengangkat gagang telepon., Suaranya masih kental dengan amarah. Sang penelepon adalah wali kelas putrinya. Segera setelah ibu menyadari itu, nada suaranya berubah menjadi sangat sopan. Lalu, selama kurang lebih lima menit berikutnya, dia melanjutkan percakapan dengan nada suara terbaiknya. Begitu menutup telepon, ekspresinya berubah dan dia langsung berteriak lagi pada putrinya.

Bagi Adler, amarah adalah alat yang bisa dikeluarkan saat diperlukan. Amarah bisa dikesampingkan ketika telepon berbunyi, dan dikeluarkan lagi setelah seseorang menutup telepon. Sang ibu tadi tidak berteriak dengan amarah yang tidak dapat dikendalikan, apapun alasannya. Dia hanya menggunakan amarah dengan suara nyaring untuk menaklukkan putrinya, dengan demikian menegaskan pendapatnya. Amarah adalah alat atau cara untuk meraih tujuan.

Kedua: Gaya Hidup

Adler lebih memilih menggunakan istilah “gaya hidup” alih-alih menggunakan konsep kepribadian atau watak. Gaya hidup di sini adalah kecenderungan berfikir atau bertindak di dalam kehidupan. Jika diartikan lebih luas, adalah konsep yang mencakup pandangan seseorang tentang dunia ini dan kehidupan.

Bagi Adler, kata kepribadian memiliki nuansa makna yang memberi kesan tidak dapat berubah. Tapi, kalau bicara tentang pandangan kita terhadap dunia itu seharusnya bisa dirubah. Contohnya, Adler tidak menggunakan istilah “Saya seorang pesimis”, namun “Saya memiliki pandangan yang pesismistis terhadap dunia ini.”

Ini artinya, seseorang berpotensi memilih kepribadiannya sesuai dengan kehendaknya sendiri. 

Bagi Adler, manusia bisa terus-menerus memilih gaya hidup mereka. Ini artinya, manusia berubah-ubah sewaktu-waktu, bahkan tanpa harus memandang lingkungannya. Manusia tidak bisa berubah hanya karena dia mengambil keputusan untuk tidak berubah.

Kondisi ini disebabkan karena manusia cenderung membiarkan keadaan apa adanya, melanjutkan hidup yang sudah dianggap praktis, sementara merubah gaya hidup hanya menyisakan ketidaknyamanan.

Ketiga: Hubungan Interpersonal

Segala persoalan adalah tentang hubungan interpersonal. Seseorang bisa bahagia atau sebaliknya, karena hubungan interpersonal. Seseorang bisa berada dalam kompleks inferioritas atau kompleks superioritas karena hubungan interpersonal. Inilah intisari dari teori Psikologi Adler.

Hanya dengan menjalani kehidupan seorang dirilah manusia benar-benar bisa menyingkirkan masalahnya. Hanya dengan menjadi orang satu-satunya di dunia yang menjadikan persoalan bernilai sekaligus tidak bernilai. Namun, tentu saja pemahaman ini tidak mungkin terjadi.

Makanya, bagi Adler, tidak ada masalah di luar hubungan interpersonal tadi. Memang terdengar ekstrem ketika menyatakan bahwa segala hal bermuara pada persoalan dalam hubungan interpersonal.

Konsep ini tentu saja seperti menyangkal masalah-masalah luhur kemanusiaan lainnya, seperti kekahawatiran terhadap persoalan ekonomi, politik, lingkungan, ataupun teknologi. Namun, Adler bersikukuh menyatakan bahwa tidak ada yang dinamakan kekhawatiran yang benar-benar didefenisikan oleh individu. Tidak ada kekhawatiran internal. Selalu ada bayang-bayang orang lain di balik setiap kekhawatiran yang mungkin timbul pada konteks apapun.

Selain itu, Adler juga menawarkan konsep lain yang terasa seperti metode untuk berdamai dengan diri sendiri. Misalnya, hidup bukanlah persaingan, manusia tidak harus terbelenggu dengan perasaan untuk diakui. Jangan hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain, mengakui kesalahan bukan berarti kalah. Singkatnya, jika teori psikologi Adler bisa dianggap sebagi sebuah obat, maka dia adalah obat yang cukup keras.

Epilog

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, membaca teori psikologi Adler bukanlah pekerjaan yang instan. Saya acapkali merasa senasib dengan si pemuda, dengan perasaan kebingungan, kebimbangan, atau kekesalan yang sama. Akibatnya, saya harus memaksimalkan semua potensi otak dan daya jelajah pikiran untuk memahaminya.

Namun, kesukaran ini tidak membatalkan niat untuk memasukkan buku ini dalam 10 buku terbaik saya. Bagi para ASN yang bisa bertikai hanya karena tidak dilibatkan dalam project, ditikung karirnya karena tidak memiliki “orang dalam”, atau terus merasa dieksploitasi atasan, percayalah, buku ini sangat layak dijadikan koleksi dan dibaca berulang-ulang.

Ketika membuat tulisan ini saya sudah menamatkannya tiga kali dan masih saja berjuang untuk memahaminya dengan utuh. Saya tidak tahu apakah menurunnya kemampuan menyerap bacaan ini karena memang teori psikologi ini benar-benar rumit atau karena kemampuan membaca saya melemah setelah beberapa tahun ini lebih banyak membaca peraturan-peraturan produk pemerintah yang tebal dan menjemukan.

Akhir kata, selamat membaca!

18
0
Fadli Akbar ◆ Active Writer

Fadli Akbar ◆ Active Writer

Author

PNS pada BKPSDM Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat.

5 Comments

  1. Avatar

    segera saya beli bukunya di mall

    Reply
  2. Trian Ferianto

    Nikmat sekali membacanya. Sebagai seorang penikmat buku, resensi ini berhasil membuat saya mencium aroma kelezatan sajian Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga. Resensi ini juga berhasil karena membuat saya ingin cepat-cepat pergi ke toko buku dan membacanya segera. Terima kasih.

    Reply
  3. Avatar

    Terima Kasih kembali Ibuk. Semoga bukunya menginspirasi. Soalnya bukunya bagus sekali.

    Reply
    • Avatar

      Saya belum pernah membaca buku ini. Padahal saya berada di Tokyo selama 3 tahun. Wah, kurang gaul saya dengan buku bagus begini. Terima kasih infonya.

      Reply
  4. Avatar

    Tulisan yang bernas. Terima kasih. Saya sangat terinspirasi dengan ini: “Dalam teleologi, kita tidak ditentukan oleh pengalaman kita, tetapi arti yang kita berikan pada pengalaman-pengalaman itu menentukan dengan sendirinya.” Kalau diumpamakan kita berada dalam sistem yang seperti perahu bolong2 di berbagai sudut. Kita (ASN atau bukan ASN) tidak ditentukan oleh pengalaman kita sebagai bagian dari sistem yang belum berfungsi, yang berjalan dengan isomorphism, intinya di sebuah sistem yang masih bolong di berbagai sudut. Penjelasan tentang teleologi sangat berguna untuk memahami fenomena sosial di Indonesia. Semoga terus menginspirasi kita semua yang ingin berkontribusi dalam perubahan (meski sekecil batu kerikil atau pasir untuk menutup lubang tak kasat mata) dan untuk tidak menyerah pada situasi tidak ideal. Cara kita memberi makna pada pengalaman kita selama berada dalam sistem inilah yang akan menentukan apakah kita akan bersedia melakukan sesuatu untuk memperbaiki sistem yang ada selama menjadi bagian darinya. Salam.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post