Setiap suku dan ras di dunia ternyata memiliki budaya malu. Jangan percaya kalau ada orang yang bilang “bangsa itu gak tau malu!” atau “suku ini tak punya malu!”. Itu salah. Semua punya rasa malu yang kemudian turun-menurun membudaya.

Namun “kemaluan” yang dimiliki itu berbeda-beda ukuran dan bentuknya. Meski sama-sama punya, “kemaluan” bangsaku dan bangsa barat itu berbeda. Sssst…. Jangan ngeres, ya. Kita mau bahas budaya malu, nih.

Kita sering baca di media bahwa malu sudah menjadi budaya bagi orang-orang di negara Eropa. Untuk belahan Asia, sering kita dengar berita serupa dari Jepang dan Taiwan.

Media juga mencatat bahwa beberapa pejabat di berbagai negara mengundurkan diri karena merasa gagal menjalankan tugas, atau malu tersangkut kasus dan skandal.

Wali Kota Bucharest di Rumania, Cristian Popescu Piedone, mundur akibat peristiwa kebakaran di kelab malam pada November 2015. Kejadian itu menewaskan lebih dari 30 orang sehingga ia merasa bersalah secara moral.

Brooks Newmark, menteri berusia 56 tahun yang membidangi masyarakat madani, mundur dari kabinet Inggris pada September 2015. Mundurnya dia dari jabatan terjadi setelah dia mengaku salah karena mengirim pesan-pesan porno kepada wartawan yang menyamar sebagai aktivis.

Pada Agustus 2015 Perdana Menteri Yunani, Alexis Tsipras, mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa gagal memenuhi janjinya untuk menolak proposal pengucuran dana talangan dari Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Menteri Kesehatan Taiwan, Chiu Wen-ta, menyatakan mundur dari posisinya pada Oktober 2014 karena skandal minyak untuk makanan yang terkontaminasi.

Estelle Morris hanya satu tahun menjabat sebagai Secretary of State for Education and Skills di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Blair pada 2002 ketika ia mundur karena merasa target literasi di Inggris yang dijanjikannya tidak tercapai.

Pada umumnya, mereka merasa malu jika tetap bertahan di posisinya itu. Namun, yang terjadi di negeriku lain pula. Kami mengklaim diri sebagai bangsa timur yang punya tingkat kesopanan relatif tinggi, satu paket dengan rasa malu yang pada aspek tertentu disebut tabu atau pantang.

Cara berpakaian atau bersikap di depan anggota keluarga yang secara adat dihormati dapat menjadi contoh. Anak-anak perempuan diajarkan untuk duduk dengan dengkul yang merapat. Kata ayah dan ibu, malu duduk mengangkang.

Rok sebaiknya di bawah lutut atau mata kaki. Bila berada di tempat umum pakaian lebih baik tertutup. Jangankan ke tempat umum, ke kolam renang atau pantai saja dihimbau agar tertutup. Pantang katanya jika mirip orang-orang bule yang berbikini ria. Malu! Amit-amit kalau topless. Itu kan budaya barat yang tak tahu malu (Redaksi: Di barat, kalau ada yang berbikini terlalu seksi juga dikomplain kaum konservatif).

Saya pernah baca bahwa topless itu justru praktik berpakaian etnik lokal kita di masa lalu yang ditiru oleh orang barat (Redaksi: Duduk dengan dengkul yang merapat, atau dilarang mengangkang, itu juga ajaran dari barat).

Riset saja budaya berpakaian etnik lokal kita di awal 1900-an, yang waktu itu tentu belum dikenal sebagai Indonesia, lalu bandingkan dengan kondisi di Eropa.

Masih ingat serial televisi Little House on the Prairie-nya Laura Ingalls? Saya ketuaan, yah? Hehehe… Kalau telenovela Little Missy yang dari Amerika Latin itu?

Pokoknya lihatlah, bagaimana pakaian orang barat di tahun 1900-an, lalu lihat bagaimana wanita di etnik Bali dan Tapanuli di era yang sama. Minimalis dan topless, man...

Nah, konon, ketika bangsa barat datang, mereka beradaptasi dan mulai mencoba kebebasan berpakaian etnik lokal kita, termasuk berjemur di pantai ala wanita etnik lokal kita.

Hal yang lain di negaraku, kebanyakan orang tua malu untuk berpegangan tangan di depan umum, meski suami isteri, apalagi pria dengan pria. Sementara di Arab, berpegangan tangan sesama pria merupakan ekspresi keakraban (Redaksi: Padahal, di Islam diajarkan bergandengan tangan antara suami dan istri di mana pun).

Apalagi ciuman, ya ampun…. Tabu kaleee... Sex before married dan selingkuh sudah pasti haram, aib. “Bikin malu tujuh turunan,” kata kakek dan nenek saya yang senioritasnya dua generasi di atas saya.

Ada yang lebih seru lagi, yaitu anggapan malu kalau menggunakan pakaian yang sederhana dan itu-itu saja bila ke kantor, ke pesta, atau ke tempat ibadah. Jadi, sebisa mungkin harus beli yang relatif bagus dan bervariasi kalau ke acara-acara penting atau hari-hari raya.

Namun, untuk urusan malu di dunia karir, kami berbeda dengan orang barat. Meskipun target gagal tercapai atau terlibat skandal, kami malu untuk mengakui kegagalan. Boro-boro mengundurkan diri. Tidak ada itu di dalam kamus kami.

Adalah suatu ‘kemaluan’ jika kesalahan atau kelalaian kita diketahui orang banyak. Sebisa mungkin hal itu ditutup di ruang rapat majelis atau hanya konsumsi “ring satu” saja (Redaksi: Penelitian menemukan bahwa “no bad news” culture juga terjadi di barat).

Di negeriku, mengundurkan diri adalah suatu tindakan yang memalukan. Itu seperti mencoreng arang di muka sendiri, bahkan di muka orang tua dan para leluhur. Orang yang mengundurkan diri dianggap sebagai orang gagal yang menyerah karena tak mampu, dan itu akan disandang seumur hidupnya.

Kami adalah keturunan yang pantang menyerah sampai tetes darah terakhir. Lebih baik mati di kursi singgasana daripada turun meski bertahan hidup.

Itulah sebabnya sangat jarang terlihat pimpinan suatu lembaga pemerintahan mengundurkan diri meski gagal mencapai target atau tak berhasil membuat perubahan atau bahkan terbukti mencuri sekalipun (Redaksi: Di barat, tekanan publik berperan besar dalam mendorong pengunduran diri pejabat).

Nyaris tak pernah pula terjadi pimpinan organisasi olahraga yang mundur meski kalah memalukan dan pencapaian jauh dari target. Bagi kami, lebih terhormat diberhentikan daripada memberhentikan diri sendiri.

Begitulah perbedaan “kemaluan” kami di negeri ini dengan mereka di negara lain. Berbeda bentuk dan ukurannya.

 

 

1
0
Bergman Siahaan ◆ Professional Writer

Bergman Siahaan ◆ Professional Writer

Author

Mengabdi di Pemerintah Kota Medan, pernah belajar Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara dan program Master of Public Policy di Victoria University of Wellington, New Zealand.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post