Belajar Tahu Diri

by | Dec 13, 2019 | Refleksi Birokrasi | 4 comments

Beberapa hari ini seringkali saya mendengar kata ‘tahu diri’ yang terucap dari ‘seseorang’ yang saya (sangat) kenal. Ia sedang mencoba mengilustrasikan dirinya untuk dapat menerima dengan lapang dada situasi yang sedang ia alami.

Nah, sebenarnya situasi seperti itupun pernah saya alami beberapa waktu lalu. Sampai dengan saat ini, jika mengingat kembali situasi itu rasanya membuat perasaan menjadi kembali sedikit gundah gulana.

Saya yang Tidak Tahu Diri

Kejadiannya sudah agak lama, lebih dari setahun yang lalu. Saya masih mengingat betul kejadian tersebut. Saat itu, tiba-tiba saya dihubungi oleh seseorang yang saya kenal via pesan whatsapp, bahwa ada seseorang yang lain yang menanyakan tentang diri saya lengkap dengan foto saya.

Saat diperlihatkannya foto itu kepada saya, saya tahu jika foto itu pasti diambil dari akun facebook saya, karena foto tersebut memang saya ‘titip simpan’ di facebook. Foto itu adalah foto selfie di pantai Senggigi ketika saya sedang melakukan penugasan ke sana.

Adapun berita/informasi yang disampaikan ‘seseorang’ tersebut adalah berita yang sangat menarik, yakni terkait perpindahan tugas saya yang berbau pengangkatan jabatan alias promosi. Tentu saja hal ini membuat saya menjadi mabuk kepayang karena selama ini saya memang jarang memikirkannya, bahkan berharap pun tidak.

Ya, meskipun bukan sesuatu jabatan yang ‘wah’, karena hanya jabatan di sebuah unit pemerintahan terkecil, tapi amanah untuk memimpin sebuah unit pemerintahan adalah kesempatan yang langka.

Saya beranggapan bahwa hal tersebut adalah sebuah kesempatan yang langka karena ada pembelajaran di dalamnya. Maklum, sejak menjadi PNS saya belum pernah sekalipun ditempatkan di wilayah, sehingga referensi saya mengenai wilayah sangat minim. Dengan adanya kemungkinan dipindahtugaskan ke wilayah setidaknya ke depan saya memiliki bekal yang cukup ketika ditugaskan kembali di tingkat kabupaten.

Cerita selanjutnya, sayapun ‘terjerumus’ dalam berita/informasi tersebut. Saya lupa bahwa saya ini bukanlah siapa-siapa. Pendek kata, saya menjadi tidak tahu diri. Menjadi sangat berharap bahwa berita/informasi tersebut menjadi nyata.

Akibat dari ketidaktahudirian saya tersebut membuat saya agak sedikit kecewa ketika amanah tersebut pada akhirnya tidak pernah ada. Padahal, sebelum-sebelumnya saya tidak pernah seperti ini. Sejak awal saya menjadi PNS, saya berketetapan hati bahwa menjadi PNS merupakan garis finish saya di pekerjaan. Bahkan, teman saya pernah menyindir jika prinsip saya tersebut menandakan bahwa saya tidak punya ambisi. Iya memang, saya tidak punya ambisi apapun.

Untuk mengatasi (sedikit) rasa kecewa tersebut, yang saya lakukan saat ini adalah kembali membuat penegasan terus-menerus dan berulang-ulang kepada diri saya, bahwa menjadi PNS merupakan capaian terakhir dalam pekerjaan saya. Saya pun sering bergumam dalam hati, “Jangan berharap lebih atas sesuatu yang kamu lakukan.”  Yang dapat saya lakukan adalah tetap bekerja sesuai kewenangan dan menghasilkan karya.

Sejak saat itu perasaan untuk “tidak berharap lebih” harus terus saya perbarui dalam menampik sebuah isu atau apapun yang terkait dengan pekerjaan. Apalagi jika isu tersebut bersifat ‘memabukkan’. Ibaratnya saya harus kembali ke khittah atau pinsip hidup saya, yaitu status PNS adalah garis finish. Dengan begitu, saya pun bersikap lebih baik fokus pada apa yang saya lakukan, sedangkan hal lain (termasuk berita memabukkan) tidak perlu saya pedulikan.

Saya memang harus tahu diri bahwa segala sesuatu bukan datang berdasarkan prestasi/karya, melainkan ada sedikit keberuntungan, bahkan (mungkin) hal-hal nonteknis yang justru lebih banyak berperan dalam mengemban sebuah amanah.

Kalau kata Bourdieu, salah satu sosiolog kondang dari Perancis, kita memerlukan berbagai modal, atau yang disebut juga sebagai kapital, yang berperan untuk menentukan posisi seseorang di dalam ruang sosial.

Modal yang Menentukan

Salah satu modal penting yang dimaksud oleh Bourdieu adalah modal sosial. Muatan modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung dari ukuran jaringan koneksi–koneksi yang dapat dimobilisasi. Intinya, Bourdieu memandang modal sosial sebagai investasi dari kelas dominan untuk menjaga dan mereproduksi solidaritas kelompok dan memelihara posisi dominan kelompok.

Adapun modal lain yang dimiliki, yang dapat mendukung status seseorang, adalah modal ekonomi, modal kultural, dan modal simbolik. Konsepsi atas teori modal Bourdieu tidak bisa dilepaskan dari konsep dominasi lainnya. Dengan demikian, pemikiran Bourdieu ini terkait erat dengan konsep kekuasaan yang lain, yakni habitus dan ranah (arena).

Habitus dalam ilmu sosiologi dimaksudkan sebagai struktur mental kognitif yang menghubungkan manusia dengan dunia sosial. Manusia dianggap dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang digunakan untuk melahirkan persepsi, pemahaman, apresiasi, dan evaluasi atau kemampuan menilai terhadap dunia sosial.

Bourdieu menyatakan bahwa arena bisa saja dianalogikan seperti arena pertempuran, dan arena perjuangan. Disebut demikian karena arena dalam strukturnya menopang dan mengarahkan strategi yang digunakan oleh orang-orang yang menduduki posisi ini untuk berupaya, baik individu maupun kolektif, dalam mengamankan atau meningkatkan posisi kekuasaan dan menerapkan prinsip hierarkisasi yang paling relevan.

Dialektika antara konsep habitus dan arena  melahirkan beberapa pandangan bahwa di dalam arena terdapat kegiatan serupa halnya dengan pasar kompetitif yang melahirkan konsep modal dalam strateginya.

Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya.

Di dalam arena, ‘pertarungan’ sosial selalu terjadi. Siapa saja yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Artinya modal di sini menjadi instrumen penting dalam pelestarian kekuasaan politik.

Epilog

Dengan demikian, sebagaimana yang saya sampaikan di atas, bahwa saya harus ‘tahu diri’. Di instansi saya, saya tidak memiliki cukup modal sosial selain modal status sebagai PNS. Adapun modal ekonomi, modal kultural, dan modal simbolik sebagaimana yang disampaikan Bourdieu tidak juga saya kuasai.

Jadi, sebenarnya konsepsi Bourdieu ini mengajarkan kepada saya bahwa dalam ruang sosial kita harus tahu diri. Kita harus tahu seberapa banyak modal yang kita miliki sehingga kita bisa mengukur diri untuk tahu diri.

 

 

 

3
0
Aksanul Inam ◆ Active Writer

Aksanul Inam ◆ Active Writer

Author

ASN pada Bagian Organisasi, Setda Kabupaten Lumajang, Jawa Timur

4 Comments

  1. Avatar

    hahahaa ikutan loss wae aah.. tetep semangat yaa gaes..ga pegang jabatan ga mati inih..lebih halal malah ga dipekso korupsi atas nama KEBIJAKAN 😀

    Reply
  2. Avatar

    haha… siaaaaap.
    loss wae jugaa.
    kena PHP sejak CPNS, tapi aku masih tetap di sini untuk setia.

    Reply
  3. Avatar

    Saya juga harus loss wae….tahu diri, ASN 14 tahun…gol. IVa masih pelaksana. Di ruangan saya , saya, kasie dan Kabid saya gol. IV a. Sementara ruangan sebelah ….Kabid dan kasienya masih III d.
    Loss wae

    Reply
    • Avatar

      Sepakat..

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post