Belajar dari Selandia Baru: Tantangan dan Kunci Kebijakan Menghadapi COVID-19

by | May 3, 2020 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Langkah yang diambil Selandia Baru dalam menangani pandemi COVID-19 sebenarnya tak jauh beda dengan yang dilakukan negara-negara lain, yaitu pengawasan hingga penutupan pintu masuk, himbauan isolasi mandiri, lalu melakukan lockdown. Namun, Selandia Baru disebut-sebut sebagai salah satu negara yang berhasil menekan penyebaran virus SARS CoV-2, si penyebab pandemi COVID-19 itu.

Membandingkan Selandia Baru dengan Indonesia adalah pilihan yang keliru karena keduanya sangat berbeda dari berbagai aspek.  Luas Selandia Baru (268.021 km2) hanya separuh Pulau Sumatera (473.481 km2).

Penduduknya pun hanya sebanyak 4,9 juta jiwa. Kira-kira sebanyak penduduk Bali jika digabung dengan Nusa Tenggara Barat. Sistem pemerintahan sentralistik dan Westminster khas persemakmuran Britania Raya juga sangat berbeda dengan sistem otonomi daerah di Republik Indonesia.

Tetapi rasanya sayang juga kalau tidak memperhatikan apa yang terjadi ketika penulis ter-lockdown selama 33 hari di Lower Hutt, sebuah kota di Selandia Baru. Jikapun tidak untuk di-copy-paste, fakta ini bisa bermanfaat untuk menambah wawasan dan kearifan penulis serta pembaca tentunya. Untuk melengkapi pemahaman, ada baiknya membaca  tautan ini untuk mengikuti linimasanya terlebih dahulu.

Tantangan-tantangan

Tantangan pertama Pemerintah Selandia Baru dalam menangani pandemi ini adalah bagaimana mencegah kepanikan masyarakat. Setelah berita COVID-19 menguasai media-media pada bulan Februari 2020, tanda-tanda kepanikan sebenarnya sudah terlihat. Tisu toilet dan hand sanitizer kosong di rak-rak supermarket. Orang-orang mulai membeli bahan pokok melebihi kebiasaan hingga pihak toko pun membatasi jumlah pembelian beberapa jenis barang.

Puncak panic buying terjadi setelah pengumuman rencana lockdown oleh Perdana Menteri, Jacinda Ardern. Orang pun mengantri di supermarket dan toko makanan siap saji. Namun, Perdana Menteri segera meyakinkan masyarakat bahwa stok bahan kebutuhan pokok Selandia Baru masih banyak dan akan tetap ada setiap hari selama masa lockdown. Pidatonya diputar berulang-ulang di televisi, disebarkan di media sosial, dan dipampang di depan supermarket-supermarket dalam bentu poster. Kepanikan masyarakat pun menurun.

Tantangan lainnya adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Meski secara umum masyarakat Selandia Baru tidak bergejolak, tetapi perilaku sebagian orang tidak terlalu berubah. Tidak jarang penulis jumpai orang-orang yang tidak menggunakan masker, berpergian keluar rumah dan berinteraksi seperti biasa.

Untungnya, kota-kota di Selandia Baru memang tidak terlalu padat penduduk. Jumlah kasus yang tinggi memang terdapat di sekitar kota terbesar, yaitu Auckland yang berpenduduk 1,6 juta. Itu pun kepadatannya masih sekitar 1.200 orang per kilometer persegi. Bandingkan dengan Jakarta yang kepadatannya 14.000 orang per kilometer persegi. Hasil telusuran Kementerian kesehatan menunjukkan bahwa kasus penularan banyak terjadi di panti jompo, pesta pernikahan, perguruan tinggi, dan penginapan.

Menjaga kepercayaan warga adalah tantangan selanjutnya. Jumlah pasien baru justru semakin meningkat setelah lockdown diberlakukan. Kematian pasien COVID-19 pertama terjadi pada hari ketiga lockdown dan angka orang yang terpapar pun melonjak dari 102 menjadi 514. Jumlah kasus terus meroket hingga melewati angka 1000 pada hari kesebelas lockdown.

Tetapi argument pemerintah bahwa dampak lockdown yang sebenarnya baru terlihat setelah dua minggu tampaknya diterima publik. Menurut penulis, titik ini krusial karena jika masyarakat meragukan kefektifan lockdown di tengah jalan maka kedisiplinan akan kendur dan menjadi pekerjaan ekstra bagi pemerintah untuk menegakkan disiplin warga.

Tantangan paling menarik adalah dua tuntutan yang ditujukan kepada Perdana Menteri. Tuntutan yang dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Auckland itu menuduh Perdana Menteri melanggar kebebasan orang yang dianalogikan dengan penahanan ala Hitler. Tuntutan berlapis itu juga menyoal dampak ekonomi dan kesehatan dari kebijakan lockdown yang justru lebih buruk bagi banyak warga, sementara jumlah korban yang meninggal akibat COVID-19 hanya sedikit.

Lalu tantangan yang terberat adalah bila pandemi ini berkepanjangan. Gelombang penularan kedua dikhawatirkan datang setelah lockdown dicabut, dimana interaksi orang-orang kembali meningkat dan bandara kembali normal.

Apakah akan terjadi lonjakan kasus lagi yang berujung pada lockdown kedua? Bila ini terjadi, atau seperti prediksi para ahli bahwa dampak pandemi ini akan berlangsung selama setahun, apakah kemampuan finansial pemerintah cukup untuk mensubsidi rakyatnya?

Bicara soal subsidi, tidak semua warga Selandia Baru mendapatkannya. Subsidi pendapatan yang hilang diberikan malalui perusahaan-perusahaan pemberi kerja yang kemudian menyalurkannya kepada karyawan yang dirumahkan. Itu pun hanya berkisar delapan puluh persen dari pendapatan normal.

Wirausahawan memang diberikan kesempatan yang sama dengan membuktikan penghasilan yang hilang dengan dokumen-dokumen resmi. Namun faktanya, tidak sedikit orang-orang yang bekerja di sektor informal tidak memiliki dokumen pendapatan. Tidak semua pula rakyat Selandia Baru berada di atas garis kemiskinan. Pemandangan tunawisma dan pengangguran masih bisa disaksikan di berbagai tempat di negeri ini.

Komunikasi

Penulis kemudian coba mereka-reka kunci kebijakan Selandia Baru dalam konteks penanganan COVID-19 ini. Hal yang pertama dan terutama adalah komunikasi. Komunikasi dilakukan secara verbal maupun visual. Pesan utama yang dikirim kepada rakyat Selandia Baru sejak awal adalah “Bersatu Melawan COVID-19”. Slogan “Unite Against COVID-19” dengan desain yang menjadi baku terpampang dimana-mana. Mulai di latar saat Perdana Menteri konferensi pers, di media cetak dan digital, hingga di poster-poster yang dicetak pihak swasta untuk keperluan sosialisasi.

Strategi ini memberikan efek sugesti kepada masyarakat karena secara psikologis, logo, warna dan slogan masuk ke pikiran bawah sadar. COVID-19 adalah satu persoalan, satu informasi, satu langkah kebijakan.

Sifat sentralistik negara ini memang terlihat dari keseragaman di banyak hal. Keseragaman kebijakan sejalan dengan keseragaman hal-hal yang sepele seperti desain logo atau alamat domain website, misalnya. Keseragaman ini bukan hanya terjadi pada institusi pemerintah, tetapi juga dipedomani oleh pihak swasta.

Bentuk komunikasi lain adalah situs covid19.govt.nz yang dipopulerkan sebagai pusat informasi tunggal dan bisa diakses gratis via telepon seluler. Alamat situs itu selalu muncul iklan-iklan cetak dan elektronik.

Platform media sosial seperti Youtube sangat dimanfaatkan dalam penyebaran iklan layanan masyarakat dengan cara yang lucu dan frekuensi tinggi. Poin-poin sugesti pemerintah dikemas dalam video-video pendek dan berbagai infografis tak lupa mencantumkan alamat situs tersebut.

Kekuatan komunikasi Pemerintah Selandia Baru kemudian dilengkapi dengan newsletter harian dan konferensi pers Perdana Menteri yang kharismatik. Jacinda Ardern, sang Perdana Menteri, secara berkala menggelar siaran langsung yang disebarkan melalui televisi, radio dan live streaming.

Ia piawai menampilkan dua wajah sekaligus yaitu santai dan tegas. Melakukan persuasif kemudian melempar ancaman. Pandangan negara kecil ini memang selalu tertuju kepadanya dan itu dimanfaatkan dengan baik.

Langkah ekstrim

Kedua, Pemerintah Selandia Baru cepat mengambil langkah seperti menutup bandara dan melakukan lockdown. Kebijakan ekstrim ini berhasil karena diiringi komunikasi yang jelas menyangkut rencana dan waktu. Misalnya ketika status waspada dinyatakan di level dua, pemerintah sudah mengeluarkan daftar penjelasan setiap level.

Pada waktu status naik ke level tiga, pemerintah sudah menyampaikan rencana kapan naik ke level empat dan akan berlangsung berapa lama. Kepastian “apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan” dan “sampai kapan” sangat membantu masyarakat mengikuti kebijakan yang dijalankan.

Langkah-langkah ekstrim itu memang tidak terlepas dari kemampuan finansial dan perbandingan jumlah penduduknya. Hanya untuk menanggung 4,9 juta penduduknya Pemerintah Selandia Baru mengeluarkan dana 112 triliun, bayangkan jika penduduknya ada 270 juta orang.

Namun sebenarnya, tidak semua beban ditanggung oleh pemerintah. Sektor swasta turut bergotong royong sesuai bidangnya masing-masing. Setelah rencana lockdown diumumkan, sektor usaha langsung menghubungi pelanggannya masing-masing untuk menawarkan kemudahan yang mungkin bisa dilakukan.

Misalnya, penyedia internet memberikan keringanan atau bonus data untuk membantu warga bekerja dan menghibur diri di rumah. Pemerintah juga melarang pemilik rumah menaikkan harga sewa rumah dan tidak memutuskan kontrak selama enam bulan. Perumahan memang menjadi pengeluaran terbesar penduduk Selandia Baru.

Kebijakan pemerintah yang dinilai tepat oleh dunia internasional ini bukan muncul dari terawangan Perdana Menteri seorang tetapi berdasarkan perhitungan sains. Ia mengakui bahwa sains dan kepemimpinan harus berjalan bersama.

Para ahli tentunya tidak hanya menghitung proyeksi perkembangan penyakit tetapi juga menghitung dampak sosial dan ekonomi yang terjadi atas kebijakan yang diambil. Oleh karena itu pengambil keputusan yakin dalam menjatuhkan pilihan dan dengan impresif mengumumkannya ke publik.

Dukungan

Ketiga, dukungan yang solid dari parlemen, partai oposisi, elit politik dan tokoh-tokoh masyarakat termasuk media. Dana besar yang dikucurkan dengan resiko keseimbangan keuangan dan program pembangunan itu dengan segera disetujui parlemen. Tidak terlihat adanya aksi-aksi penjegalan Perdana Menteri dan menteri-menterinya di ruang publik, baik oleh pihak oposisi juga tokoh-tokoh masyarakat.

Penulis juga mencatat peran Media yang tak kalah penting. Media terlihat benar-benar turut membantu pemerintah menyosialisasikan upaya penanganan wabah dan menjaga susana kondusif. Nyaris tidak ada artikel-artikel yang meresahkan masyarakat apalagi model-model clikbait di platform online.

Padahal jika berbicara statistik, 1500 penderita itu cukup besar jika dibandingkan dengan 4,9 juta penduduk Selandia Baru. Namun penanganan pasien kelihatannya sangat baik. Terbukti dari korban yang meninggal, saat artikel ini ditulis, hanya 19 orang.

Peran masyarakat

Kunci keempat adalah kunci yang paling utama yaitu aspek psikologis warganya yang relatif tenang dan patuh. Tidak terlihat aksi-aksi berontak seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Dari survei yang dilakukan Colmar Brunton, tingkat kepercayaan masyarakat berada di angka 87% meski pun durasi lockdown diperpanjang. Tak heran Perdana Menteri mengatakan kepada dunia internasional bahwa dia memiliki tim sebanyak lima juta orang – yang berarti seluruh rakyat Selandia Baru!

Sebagian besar warga sepertinya sadar bahwa keberhasilan mengatasi pandemi ada di tangan mereka. Bahwa physical distancing dan stay at home itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Ketika dua orang berpapasan di trotoar, maka keduanya akan berlomba menyingkir untuk memberi jarak. Taman bermain dan tempat-tempat wisata benar-benar kosong. Polisi memang sesekali berpatroli tetapi tidak terlihat menggunakan pengeras suara apalagi membawa tongkat pemukul.

Nah, demikian catatan penulis dari sebuah negeri nun jauh di belahan selatan bumi. Semoga bermanfaat untuk para pembaca, terutama saudara-saudara se-tanah air.

3
0
Bergman Siahaan ◆ Professional Writer

Bergman Siahaan ◆ Professional Writer

Author

Mengabdi di Pemerintah Kota Medan, pernah belajar Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara dan program Master of Public Policy di Victoria University of Wellington, New Zealand.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post