Belajar dari Selandia Baru dalam Mereformasi BPJS Kesehatan

by | Apr 5, 2019 | Refleksi Birokrasi | 2 comments

Pengantar

Negara memiliki kewajiban memberikan jaminan sosial (social protection) kesehatan kepada segenap warga negaranya. Pendekatan yang dilakukan oleh Indonesia dalam menjawab jaminan sosial kesehatan ini adalah dengan membentuk lembaga khusus pengelola jaminan sosial kesehatan, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Lembaga ini merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan sosial kesehatan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bersama dengan BPJS Ketenagakerjaan yang beroperasi sejak 1 Juli 2014, BPJS Kesehatan merupakan pengelola program Jaminan sosial kesehatan Nasional (JKN) yang beroperasi sejak 1 Januari 2014 berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Sebelumnya, lembaga ini bernama Asuransi Kesehatan (Askes) yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero).

Dalam ringkasan eksekutif tahun 2016, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI) berpandangan bahwa dalam jangka pendek program JKN-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui peningkatan kinerja pada sektor lainnya.

Menurut laporan tersebut, ketika seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki KIS pada tahun 2019, atau pada saat tercapainya Cakupan Sehat Semesta, program JKN-KIS akan berkontribusi terhadap perekonomian nasional sebesar Rp269 triliun rupiah dan berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja sebesar 2,3 juta orang. Efek pengali (multiplier effect) JKN-KIS akan menyerap ke semua sektor, seperti listrik, gas, dan air bersih.

Kemudian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah mencatat capaian yang telah diperoleh BPJS Kesehatan, yaitu meningkatnya aksesibilitas peserta terhadap informasi BPJS Kesehatan. Capaian lain yang dicatat BPK adalah BPJS Kesehatan telah mencapai target kepesertaan pada tahun 2015 untuk segmen peserta PPU PNS, PPU Eks Jamkesmas, PBPU, BP PP TNI/POLRI dan BP Perintis Kemerdekaan, yaitu melebihi 100%. BPJS Kesehatan juga telah menyusun tolok ukur efektivitas penggunaan dana kapitasi pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), berupa indikator Angka Kontak, Rasio Rujukan Non Spesialistik, dan Prolanis.

BPJS Kesehatan juga telah melaksanakan proses credentialing provider untuk memastikan bahwa provider mereka layak melakukan pelayanan medis sesuai tingkatannya. Selain itu, lembaga ini telah melaksanakan pemantauan dan evaluasi capaian dan pemutakhiran data kepesertaan yang dilakukan secara periodik.

Keberhasilan BPJS Kesehatan telah mendapatkan rapor hijau dari Kantor Staf Kepresidenan. Namun demikian, masih terdapat hal-hal yang masih harus diperbaiki oleh BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, jika dibandingkan dengan negara lain, Korea Selatan telah mampu mengintegrasikan sistem jaminan sosial yang ada, yaitu mulai dari sistem jaminan pensiun, jaminan kesehatan, jaminan tenaga kerja, dan dan jaminan kompensasi pekerja.

Sementara itu, kita melihat kegagalan sistem jaminan sosial kesehatan di depan mata. Sebagai contoh, ringkasan eksekutif laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun 2017 menyatakan BPJS Kesehatan mengalami defisit yang besar. Defisit ini semula Rp3,3 triliun pada 2014, kemudian menjadi Rp9,8 triliun pada 2017. Hal ini bisa terjadi karena premi yang harus dibayarkan peserta belum sesuai dengan hitungan para ahli atau belum sesuai dengan hitungan aktuaria yang lazim digunakan dalam program seperti ini.

Kondisi tersebut menimbulkan situasi underfunded program yang secara terstruktur akan berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainability) program jaminan sosial kesehatan di Indonesia. Bahkan, berdasarkan perhitungan yang dilakukan Yves Guerard (International Actuary Expert) bersama ahli lainnya serta berbagai lembaga yang ada (seperti World Bank dan USAID), satu-satunya intervensi untuk menjaga keberlangsungan program ini adalah dengan penyesuaian iuran peserta. Selain itu, intervensi perlu dilakukan pada sisi pengeluaran melalui pengendalian biaya yang sangat ketat, tetapi tetap menjaga mutu layanan kesehatan.

BPJS Kesehatan juga masih berupaya mengatasi defisit dengan dana dari pemerintah. Pada tahun 2017, pemerintah kemudian mencairkan suntikan dana sebesar Rp3,6 triliun untuk menjaga likuiditas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Selain itu, BPJS Kesehatan akan melakukan penyesuaian perhitungan besaran iuran peserta, baik peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun Non-PBI, dengan persetujuan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan stakeholders lainnya. Namun demikian, BPJS Kesehatan masih mengalami defisit. Saat ini, BPKP juga sedang melakukan audit terhadap BPJS Kesehatan untuk memastikan agar program jaminan sosial kesehatan di Indonesia bisa terus berjalan.

Untuk kepentingan di atas, BPJS Kesehatan perlu melakukan penataan kelembagaan dan kepemimpinan. Sebab, keberadaan BPJS Kesehatan sebagai Badan Hukum Publik yang berada langsung di bawah eksekutif ternyata menyisakan berbagai permasalahan mendasar. Karena itu, perlu dilakukan reformasi besar-besaran sistem jaminan sosial kesehatan. Reformasi ini dapat mencontoh Selandia Baru.

Reformasi di Selandia Baru

Selandia Baru adalah satu negara dengan sistem jaminan sosial kesehatan yang baik. Tercatat sejak 1983 sistem jaminan sosial kesehatan Selandia Baru telah mengalami empat tahap transformasi struktural, yaitu sebelum 1983; 1983-1993; 1993-1997; 1998-2001; dan 2001-sekarang.

Transformasi tersebut dirancang untuk meningkatkan kualitas hasil kesehatan, akuntabilitas, efisiensi, dan mengurangi peningkatan pengeluaran biaya kesehatan. Transformasi ini tidak jauh dari gerakan reformasi kesehatan yang dikembangkan di seluruh dunia yang difokuskan oleh kebutuhan populasi yang menua, peningkatan teknologi medis, dan meningkatnya harapan masyarakat terhadap sistem kesehatan.

Jalan panjang reformasi kesehatan di Selandia Baru telah memberikan gambaran berbagai dinamika pendekatan negara dalam memberikan sistem jaminan sosial kesehatan bagi masyarakatnya. Pola pengelolaan yang terorganisasi oleh negara secara langsung, desentralisasi pelayanan, serta pelibatan komunitas masyarakat menjadi penggerak dalam reformasi. Secara ringkas, sistem jaminan sosial kesehatan yang berlaku saat ini akan diuraikan berikut ini.

Pada tahun 2000 (Gambar), Pemerintahan Koalisi Partai Buruh memprakarsai reformasi sistem kesehatan. Tahun 2001 kemudian dibentuk 21 Dewan Kesehatan Daerah (District Health Board atau DHB). Organisasi Kesehatan Primer (Primary Health Organisation atau PHO) dikembangkan tahun 2002 untuk mengelola perawatan primer, termasuk dokter umum. Pembentukan organisasi-organisasi ini berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Disabilitas Tahun 2000

Melalui Strategi Kesehatan Selandia Baru 2000, Kementerian Kesehatan kemudian menjadi lembaga utama yang bertanggung jawab atas saran kebijakan, pendanaan dan pemantauan sektor kesehatan dan disabilitas. Otoritas Pembiayaan Kesehatan (Health Funding Authority atau HFA), lembaga sejenis BPJS Kesehatan, kemudian dihapuskan, dan fungsinya dipindahkan ke Kementerian Kesehatan yang baru saja direstrukturisasi. Sebanyak 21 Dewan Kesehatan Daerah kemudian menggantikan Layanan Rumah Sakit dan Kesehatan (Hospital & Health Services) yang bertanggung jawab atas pembelian dan penyediaan layanan kesehatan. Strategi Perawatan Kesehatan Utama 2001 kemudian memandu reorganisasi dokter dan Asosiasi Praktisi Independen (Independent Practitioner Association) ke dalam Organisasi Kesehatan Primer (PHO).

Gambar. Struktur Jaminan Sosial Kesehatan Selandia Baru. Sumber: Website Parlemen Selandia Baru

Implikasi ke Depan

Pelajaran dari Selandia Baru memberikan beberapa implikasi terhadap reformasi sistem jaminan sosial kesehatan di Indonesia.

Pertama, tanggung jawab kelembagaan langsung BPJS Kesehatan kepada kepala negara merupakan blunder bagi para pemangku kepentingan karena akan rawan terhadap berbagai aspek, baik aspek politik, hukum, maupun ekonomi. Menjadikan lingkaran dalam kepresidenan menjadi pengawas dan penilai kinerja BPJS Kesehatan juga akan memberikan andil permasalahan semakin besar, apalagi dengan ketiadaan staf pendukung yang memahami proses bisnis jaminan sosial kesehatan.

Kedua, BPJS Kesehatan merupakan manifestasi kebijakan kesehatan yang tidak memiliki garis komando langsung dengan yang memiliki tugas di sektor kesehatan, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Gerak mereka yang hanya sekadar mengandalkan kewenangan tanpa memiliki pemahaman memadai tentang permasalahan kesehatan hanya akan memberikan arahan dan target yang tidak relevan dengan tujuan pembangunan kesehatan secara subtantif. Karena itu, BPJS Kesehatan seharusnya memiliki garis perintah yang jelas dan kuat dan berada dalam koordinasi Kementerian Kesehatan, tidak seyogyanya menjadi Badan Hukum Publik tersendiri.

Ketiga, kepemimpinan kolektif di BPJS Kesehatan perlu mempertimbangkan partisipasi masyarakat luas atau lembaga independen lainnya karena penempatan personal dengan rekam jejak yang tidak memadai hanya akan mengesankan pembagian kekuasaan. Tujuan organisasi BPJS Kesehatan dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat juga akan bias dengan penempatan personal yang tidak mempunyai portofolio dalam permasalahan kesehatan.

Keempat, desentralisasi layanan kesehatan termasuk pengelolaan layanan kesehatan perlu menjadi pertimbangan mendesak. Sentralisasi pelaksanaan jaminan sosial kesehatan hanya akan menimbulkan friksi di kalangan pemangku kepentingan di setiap wilayah. Pelibatan pemerintah daerah, organisasi masyarakat, bahkan lembaga swadaya masyarakat perlu menjadi kekuatan dalam pelaksanaan jaminan sosial kesehatan.

Ringkasnya, kita mesti mengadakan reformasi besar-besaran agar defisit BPJS Kesehatan tidak semakin besar atau merugikan kita semua.

 

 

4
0
Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer

Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer

Author

Konsultan independen bidang pengadaan barang dan jasa. Sebelumnya pernah berkiprah di birokrasi sebagai PNS dan resign dari PNS setelah dipinang oleh sebuah consulting firm dari USA. Ditengah kesibukannya sebagai praktisi, narasumber, konsultan di beberapa KLDI dan aktif mendorong fleksibilitas pengadaan sektor BLU berbasis manajemen rantai pasok, serta pemberi keterangan ahli dalam perkara terkait pengadaan barang dan jasa.

2 Comments

  1. Avatar

    Waooow,
    Tulisan mas Atas selalu super kereeeen

    Reply
    • Avatar

      hanya mengumpulkan bahan-bahan yang melimpah di era abundance of information di internet

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post