Menjadi Profesional Birokrasi Yang Proaktif

Menjadi Profesional Birokrasi Yang Proaktif

Tak ada orang yang dapat membuat anda merasa rendah diri tanpa seizin anda

                                                                                                —Eleanor Roosevelt

—-

 

Tidak semua orang yang memiliki visi besar mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan visinya dengan cara yang mereka inginkan. Visi perubahan terkadang lahir dari seorang pegawai biasa atau staf. Namun karena posisinya yang hanya sebagai staf –dengan atasan yang otoriter serta rekan kerja yang tak peduli, maka visi tersebut tidak bisa diaplikasikan secara sistemik di dalam organisasi, termasuk dalam organisasi birokrasi.

Saya mengenal seorang teman Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki pengetahuan manajerial organisasi yang mumpuni, dengan latar belakang sebagai aktivis mahasiswa dan se-abrek prestasi serta jaringan yang luas. Namun, dalam aktivitas kesehariannya sebagai staf di sebuah instansi, hanya karena posisinya sebagai staf, teman tersebut tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan, dia cenderung larut dengan rutinitas pekerjaan dan tradisi bekerja yang tanpa visi ke depan.

Mungkin Anda juga punya teman seperti itu. Jangan-jangan Anda salah satu dari sekian banyak orang yang saban hari sepulang kantor mendesah berat dan berujar:

Aku sudah tidak tahan lagi, tak ada yang mengetahui potensiku yang sebenarnya di kantor itu”.

Atau

Sungguh ini rutinitas yang sangat menjemukan.

Atau

Aku merasa terpenjara dengan pekerjaan ini dan sungguh aku tidak menikmatinya”.

Berbagai kalimat keluhan sejenis terlontar dari mereka yang pada dasarnya sebenarnya merupakan pribadi potensial dan berbakat.

Ujung-ujungnya, mereka menjadi manusia yang memiliki masa depan suram serta kehilangan semangat dan gairah kerja. Mereka tak pernah berhasil mencintai dan menikmati pekerjaannya sebagai akibat dari lingkungan kerja yang sangat tidak kondusif. Mereka merasa bahwa atasan dan rekan kerja tidak mendukung, bahkan terkesan tidak menginginkan kehadirannya.

Apakah kondisi seperti itu merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah? Apakah mereka yang merasa terpenjara tersebut tidak bisa melepaskan diri? Tentu saja kondisi seperti itu bukanlah derita yang tiada akhir. Kita bisa menyaksikan betapa banyak orang yang tidak memiliki jabatan prestisius di organisasi tetapi mampu menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, bahkan bagi atasannya sekalipun.

Bagaimana dia melakukannya? Bagaimana kita mampu melakukannya? Bagaimana saya dan Anda bisa melakukannya? Anda, saya, dan siapapun Anda sangat tidak pantas untuk terjebak dan terperangkap dalam situasi kejenuhan akibat lingkungan kerja dan situasi pekerjaan yang tidak kondusif dan mendukung pencapaian tujuan.

Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan membebaskan pikiran kita, saya, dan Anda. Ya pikiran! Pikiran harus dibebaskan dari berbagai macam penjara dan kungkungan yang membuatnya merasa terjebak dan terperangkap. Rasa jenuh yang berkepanjangan, rasa tidak dihargai, dan rasa tak berarti hanya muncul dari pikiran yang terpenjara dan reaktif.

Pikiran reaktif akan membuat kita merasa tak bisa membebaskan diri dari lingkungan kerja yang tidak kondusif dengan berbagai argumen pembenaran. Kita membiarkan bos yang otoriter, rekan kerja yang tak peduli, dan pekerjaan yang menentukan suasana hati, perasaan, dan nuansa batin kita. Jadilah kita budak yang bekerja tanpa cita dan cinta.

Segera buang pikiran reaktif tersebut ke dalam tong sampah dan install cara berpikir proaktif dalam diri anda. Karena sesungguhnya, bukanlah bos yang otoriter, rekan kerja yang tak peduli, dan tumpukan pekerjaan yang memenjara kita, melainkan respon kita terhadap semua itulah yang membuat kita merasa tidak dihargai dan jenuh.

Sejarah telah membuktikan bagaimana pikiran yang proaktif merupakan kunci dalam menghadapi berbagai rangsangan negatif dari lingkungan yang tidak kondusif. Jangankan bos yang otoriter, rekan kerja yang tak peduli, dan tumpukan pekerjaan, kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II mampu dihadapi oleh Viktor Frankl, dengan menjadikan berpikir proaktif sebagai modal utama.

Dalam bukunya yang berjudul Mans Search for Meaning, Viktor Frankl menulis, “Kami yang pernah hidup di kamp konsentrasi masih ingat orang-orang yang berjalan dari barak ke barak menghibur sesama, memberikan kepingan roti terakhir mereka. Jumlah orang semacam itu memang hanya sedikit tetapi mereka membuktikan bahwa ada satu hal yang tidak bisa dirampas dari seorang manusia: kebebasan manusia yang paling dasar kebebasan untuk memilih sikap kita, bagaimanapun situasinya”.

Berpikir proaktif menunjukkan kepada kita bahwa selalu ada celah antara rangsangan yang datang dan respon yang kita berikan terhadapnya. Mungkin memang bos kita otoriter, rekan kerja kita tak peduli, dan pekerjaan kita menumpuk, tetapi kita tidak harus meresponnya dengan rasa terpenjara, tidak dihargai, dan tak bisa melakukan apa-apa. Manfaatkan celah yang ada untuk beraksi dengan lebih positif sebab sebagai manusia kita memiliki kesadaran diri, imajinasi, hati nurani, dan kehendak-bebas.

Dengan panjang lebar, Stephen R. Covey melalui bukunya The 7 Habits of Highly Effective People menjelaskan bahwa sebelum seseorang merespon sebuah rangsangan, maka dengan kesadaran diri yang dimilikinya, dia bisa memperhatikan dan bahkan menenangkan pikiran, suasana hati, dan perasaanya yang terkadang berbau reaktif dan emosional.

Lalu dengan imajinasinya, pribadi tersebut mencoba mengajukan alternatif respon yang bisa dipilihnya sebagai tanggapan terhadap sebuah rangsangan. Hati nurani berfungsi sebagai penyaring alternatif mana yang dipilih berdasarkan nilai yang dianut, dan kehendak bebas menjadi hakim yang menjadi pelaksana dari alternatif respon yang dipilih serta terbebas dari pengaruh luar.

Masihkan kita memilih untuk menjadi ASN yang selalu merasa jenuh dan terpenjara oleh situasi dan kondisi kerja yang sumpek? Masihkah Anda akan membiarkan bos Anda yang otoriter, rekan kerja Anda yang se­mau gue, atau pekerjaan yang seakan tiada habisnya menentukan diri anda?

Jawabannya terletak pada masing-masing kita, apakah kita siap berubah ke arah yang lebih baik dan melakukan perubahan tersebut, atau kita memilih bermasa bodoh dan menikmati rutinitas menjemukan itu lalu membiarkan visi perubahan kita layu sebelum berkembang!

 

0
0
Interaksi Multikultural Dengan Tari Kelinci, Tari Soyong, dan Bakso

Interaksi Multikultural Dengan Tari Kelinci, Tari Soyong, dan Bakso

Minggu 19 November 2017 adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak Indonesia yang bersekolah di Moreland Primary School (MPS). Hari itu sekolah menyelenggarakan fete atau festival dengan tema multicultural festival. Anak-anak ini akan menampilkan dua tarian, Tari Kelinci (Bunny Dance) dan Tari Soyong (Soyong Dance).

Multicultural festival atau Carnival of culture yang diselenggarakan oleh MPS adalah event dua tahunan yang dimaksudkan sebagai salah satu strategi mengumpulkan dana untuk pembiayaan sekolah. Ya, sama halnya sekolah di Indonesia, sekolah-sekolah di sini juga mengalami kesulitan pendanaan. Fete adalah salah satu cara yang cukup efektif untuk mendapatkan dana untuk membiayai kebutuhan sekolah.

Bagi citizen, permanent resident, dan para pemegang visa tertentu seperti saya yang kebetulan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia, memang tidak perlu membayar mahal. Di awal tahun tiap anak membayar 350 dollar. Jumlah yang sangat tidak signifikan dibandingkan teman-teman internasional student yang tidak disponsori pemerintah Australia.

Awalnya, saya pikir tidak akan ada biaya lain lagi selain membayar iuran tersebut. Rupanya saya salah. Kegiatan-kegiantan ekstra ternyata mengharuskan orang tua murid harus membayar, semisal excursion, sleepover di sekolah, tambahan pelajaran seperti renang, musik, dan pelajaran life education. Tidak terlalu besar, tapi cukup sering juga.

Carnival of culture atau fete yang diselenggarakan sekolah anak saya, Amira dan Ayla, juga salah satu upaya sekolah untuk menambah biaya infrastruktur. Dua tahun lalu menurut pihak sekolah uang hasil event digunakan untuk perbaikan play ground dan taman.

Bagi orang tua murid Indonesia, kami sangat senang menyambut event tersebut. Dua tahun lalu komunitas Indonesia di MPS mendapat kesempatan untuk menampilkan tari Saman dan memperkenalkan sate. Tahun ini komunitas Indonesia juga mendapat kesempatan untuk menampilkan tarian Indonesia dan mempromosikan masakan Indonesia.

Alhamdulillah, di antara mahasiswa Indonesia yang ada di sini ada yang memiliki keahlian menari. Namanya mbak Fitriana Murriya, ibu dokter dari Jogja yang sedang mengambil program PhD di Melbourne University. Alhasil, untuk mempersiapkan kemeriahan fete, anak-anak pun berlatih setiap minggu selama hampir dua bulan. Tari yang dipilih adalah Tari Kelinci (Bunny Dance) dan Tari Soyong (Soyong Dance). Kedua tari tersebut sangat pas dengan karakter anak-anak.

Tak hanya anak-anak, ibu-ibu pun juga turut memeriahkan dengan mempersiapkan gemufamire dance yang sedang marak di tanah air. Sejujurnya, bukanlah hal yang mudah bagi orang tua di sini untuk sekedar menyisihkan waktu meski hanya dua jam untuk berlatih atau sekedar mengantarkan anak. Tapi, untuk memeriahkan fete dan sekaligus memperkenakan budaya dan masakan Indonesia rasanya sayang untuk disia-siakan kesempatan emas ini.

Begitulah…tanggal 19 November 2017 pun tiba. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Para bunny-bunny pun lincah melompat-lompat di panggung. Begitu juga dengan big girls yang menarikan Tari Soyong terlihat begitu gemulai menggerakkan tangan dan memainkan kipasnya.

Bagaimana dengan kami para orang tua murid? Kami pun bergembira beramai-ramai ber-gemufamire. Setelah itu dilanjutkan dengan aktivitas melayani pengunjung dengan bakso yang sudah dipersiapkan sehari sebelumnya. Cukup dengan empat dollar, mie bakso yang dilengkapi pangsit goreng pun terasa sangat lezat dinikmati di minggu siang sembari menyaksikan Sicilian Folk Dance dari Italia, Tari Saman Bhineka, Indigeneous Music, Indian Music, Band Anak MPS, serta koor anak-anak grade 1/2.

Hari itu, Tari Kelinci, Tari Soyong dan bakso menemani kemeriahan multicultural festival yang menampilkan makanan dari berbagai negara, antara lain dari India, Jerman, Chile, Ethiopia, Libanon, dan Vietnam. Bangga rasanya jadi orang Indonesia.

 

0
0
Birokrat Menulis Goes to KPK

Birokrat Menulis Goes to KPK

Hari Selasa tanggal 21 November 2017, perwakilan pergerakan Birokrat Menulis (BM) mendapatkan kesempatan di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memaparkan proposal penelitian. Proposal tersebut adalah bagian dari kompetisi yang diselenggarakan oleh KPK bekerjasama dengan Universitas Paramadina.

Kompetisi yang dimulai sejak bulan Oktober lalu diikuti oleh lebih dari 700 partisipan. Perwakilan BM berhasil menembus 15 besar dan melaju di babak presentasi. Nantinya akan terpilih 10 besar yang dinyatakan berhak melakukan penelitian.

Proposal penelitian dari Birokrat Menulis, yang diwakili oleh Mutia Rizal dan Ilham Nurhidayat, mengambil tema tentang perjuangan para whistleblower menghadapi kultur paternalistik di birokrasi pemerintahan. Semoga proposal yang ditawarkan dapat diterima oleh tim seleksi untuk dapat diwujudkan dalam sebuah penelitian.

***