“Inovasi Harga Mati: Sebuah Pengantar Inovasi Administrasi Negara”

“Inovasi Harga Mati: Sebuah Pengantar Inovasi Administrasi Negara”

Judul Buku:"Inovasi Harga Mati: Sebuah Pengantar Inovasi Administrasi Negara"
Penulis:Tri Widodo W. Utomo
Penerbit:Rajagrafindo Persada, Jakarta
Tahun Terbit:Maret 2017
Harga:Rp99.000 (Diskon 20% untuk pemesanan langsung ke penerbit, belum termasuk ongkir)
Pemesanan:Agus Salim (Penerbit Rajagrafindo) HP (081310291122) email:[email protected]
Abstraksi:Inovasi di bidang administrasi publik selama ini masih relatif lemah dan lambat, bahkan konsep dan sistem inovasi sektor publik belum terbangun hingga saat ini. Buku ini ingin menyajikan perspektif baru, gagasan kreatif, sekaligus praktik-praktik inovasi yang telah terjadi untuk menunjukkan bahwa prospek inovasi di kalangan pemerintahan sangatlah besar. Sebab, tanpa berinovasi maka pemerintah akan mengalami kematian.
0
0
Rahasia Lonjakan Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Grenada: Dapatkah Kita Belajar Darinya?

Rahasia Lonjakan Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Grenada: Dapatkah Kita Belajar Darinya?

Pernahkah pembaca mendengar sebuah negara bernama Grenada? Bukan hal yang aneh memang jika mayoritas di antara kita bahkan baru pertama kali mendengar nama negara tersebut. Pertama, Grenada bukanlah negara yang memiliki prestasi khusus yang membuat negara tersebut sering diperbincangkan di skala internasional.

Kedua, Grenada juga bukanlah negara yang dikenal masyarakat dunia memiliki objek wisata yang menarik perhatian, seperti Panama misalnya. Namun pada tahun 2016, ternyata negara yang hanya memiliki populasi 110 ribu pada tahun 2012 tersebut mampu menyita perhatian dari para penggiat anti korupsi dunia karena pencapaiannya.

Grenada merupakan sebuah negara kepulauan yang terletak di Laut Karibia tenggara, yang terdiri dari pulau Grenada sebagai pulau utamanya dan enam pulau kecil lainya. Negara tersebut hanya berukuran 344 kilometer persegi (hanya berukuran kurang lebih setengah dari luas Provinsi DKI Jakarta yaitu 661.5 kilometer persegi). Negara yang beribukota St. George’s tersebut hanya dikenal sebagai “Pulau Rempah-Rempah” karena merupakan salah satu eksportir terbesar pala di dunia.

Pada abad ke-16, Prancis menjajah Grenada hingga diserahkan kepada Inggris berdasarkan Perjanjian Paris. Kemudian, negara tersebut mengalami beberapa kali perubahan status dari mulai menjadi bagian dari Federasi Hindia Barat, lalu diberi otonomi penuh atas urusan dalam negerinya sebagai Associated State, hingga pada akhirnya meraih kemerdekaan pada tanggal 7 Februari 1974, di bawah pimpinan Eric Gairy, yang menjadi Perdana Menteri Grenada pertama.

Namun kemerdekaan tersebut tidak menghentikan drama perjuangan negara tersebut karena berbagai kudeta dan pemberontakan terjadi.

Sebagai negara yang merupakan bagian dari wilayah Persemakmuran, Ratu Elizabeth II adalah Ratu Grenada dan Kepala Negara, yang diwakili oleh Gubernur Jenderal, Cécile La Grenade. Sedangkan pemimpin eksekutif yang menjalankan tugas sehari-hari diserahkan kepada Kepala Pemerintahan yaitu Perdana Menteri.

Di sisi legislatif, parlemen terdiri dari Senat (tiga belas anggota) dan Dewan Perwakilan Rakyat (lima belas anggota). Para senator ditunjuk oleh pemerintah dan oposisi, sementara wakilnya dipilih oleh penduduk untuk masa jabatan lima tahun.

Sekali lagi, tidak ada yang terlalu istimewa dari negara tersebut, kecuali posisi Grenada pada peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparancy International bulan Januari lalu. Tahun 2016 merupakan tahun dimana pertama kalinya Grenada masuk dalam peringkat IPK.

Mengejutkannya, negara tersebut langsung berada di peringkat 46 dari 176 negara dengan nilai 56. Sebuah pencapaian luar biasa tentunya jika dibandingkan dengan negara lain seperti Indonesia yang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir masih belum dapat menembus peringkat 80 dunia (pada tahun 2016 Indonesia berada di peringkat 90 dari 176 negara, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya).

Tentu melihat prestasi tersebut menggiring pembaca pada suatu pertanyaan, bagaimana bisa?

Beberapa saat setelah pengumuman peringkat tersebut dikeluarkan oleh Transparansi Internasional, lembaga-lembaga anti-korupsi di Grenada yaitu the Financial Intelligent Unit and the Integrity Commission, justru memberikan respon yang unik.

Mereka merasa tidak percaya dengan hasil yang baru saja dirilis itu. Ketidakpercayaan tersebut tidak dalam konteks mereka tidak menghargai upaya-upaya yang telah dilakukan, namun mereka tidak percaya efek dari usaha mereka langsung berpengaruh pada indikator yang terukur seperti peringkat IPK tersebut.

Mereka terkejut karena ternyata langkah signifikan dan konsisten yang telah dilakukan dalam upaya penguatan sistem anti-korupsi selama setengah dekade terakhir telah menunjukkan hasilnya.

Kedua instansi tersebut mewakili Grenada dalam the Commonwealth Caribbean Association of Integrity Commissions and Anti-Corruption Bodies (CCAICACB), sebuah badan regional yang didukung oleh Commonwealth Secretariat (Sekretariat Persemakmuran) yang berbasis di London, yang memiliki perwakilan di dewan eksekutifnya.

Badan ini terdiri dari otoritas nasional dari 12 negara persemakmuran di wilayah Kepulauan Karibia (Antigua and Barbuda, The Bahamas, Barbados, Belize, Dominica, Grenada, Guyana, Jamaica, Saint Lucia, St Kitts and Nevis, St Vincent and The Grenadines, and Trinidad and Tobago).

Adapun tujuan CCAICACB adalah untuk meningkatkan transparansi dan membantu memerangi korupsi. Pembentukan asosiasi tersebut diharapkan menjadi langkah maju dalam upaya regional untuk mendukung integritas dan mengatasi korupsi.

Forum tersebut dapat memberikan manfaat praktis bagi anggota dalam bentuk sharing pengetahuan dan memperkuat koordinasi. Menariknya, secara peringkat, beberapa negara di wilayah Kepulauan Karibia tersebut berada di posisi yang baik, seperti Bahamas di peringkat 24, Barbados di peringkat 31, Saint Lucia di posisi 35, dan Dominica di peringkat 38.

Grenada menyusul pada tahun ini dan langsung bercokol di posisi 46, memberikan bukti bahwa asosiasi CCAICACB terbukti memberikan manfaat bagi negara-negara disana.

Asosasi tersebut bukanlah asosiasi yang pertama kali dibentuk oleh Commonwealth Secretariat. Sebelumnya, di wilayah persemakmuran di Afrika telah dibentuk the Association of Anti-Corruption Agencies pada tahun 2011.

Commonwealth Secretariat beranggapan bahwa dengan membentuk forum yang beranggotakan negara-negara yang berada di wilayah yang berdekatan, akan memudahkan dalam transfer of knowledge, peer-revieew, dan koordinasi, terlebih negara-negara tersebut memiliki karakteristik yang sama.

Itulah salah satu alasan asosiasi dibentuk berdasarkan wilayah, tidak digabung menjadi satu untuk seluruh negara-negara persemakmuran di dunia.

Salah satu lembaga yang menjadi pendorong keberhasilan program anti-korupsi Grenada adalah the Integrity Commission (Komisi Integritas).  Komisi tersebut dibentuk untuk memastikan bahwa pejabat publik dalam melaksanakan tupoksinya selalu menjunjung tinggi standar integritas.

Hal ini menjadi perhatian mereka karena integritas merupakan poin penting dalam meningkatkan standar tata kelola yang baik, transparansi dan akuntabilitas di pemerintahan. Komisi ini berwenang untuk menerima dan memverifikasi keakuratan pertanggungjawaban keuangan para pejabat public, untuk menyelidiki keluhan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik.

Selain itu, komisi ini juga berhak melakukan penuntutan. Komisi tersebut juga memiliki wewenang untuk melakukan tindakan preventif dan edukatif seperti menginstruksikan, memberi saran dan membantu badan publik sehubungan dengan perubahan dalam praktik atau prosedur yang mungkin diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya praktik korupsi. Lalu, melaksanakan program pendidikan kepada publik yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman akan standar integritas yang diberlakukan di negara tersebut.

Secara garis besar, kunci utama program anti-korupsi yang dilakukan oleh Grenada adalah pemahaman bahwa integritas merupakan fondasi penting dalam menjalankan program anti-korupsi.

Hal ini serupa dengan yang telah dilaksanakan oleh Belanda yaitu melalui white paper yang merupakan sebuah dokumen yang berisi tentang upaya pencegahan korupsi. Titik berat Pemerintah Belanda dalam mencegah dan memberantas korupsi adalah melalui pembangunan integritas yang kokoh di semua lini. the Bureau for Ethics and Integrity Stimulation (BIOS) didirikan pada Maret 2006 dibawah koordinasi Menteri Dalam Negeri dan bertugas untuk membantu seluruh bagian di pemerintahan dalam menegakkan integritas.

Pendirian BIOS tersebut juga sejalan dengan pembentukan Komisi Integritas Grenada, adanya komisi khusus yang bertugas menyebarkan ‘virus’ integritas ke seluruh penjuru negeri.

Komisi khusus seperti itu mungkin tidak berbeda dengan pembentukan KPK di Indonesia. Namun perbedaan yang mencolok adalah the Bureau for Ethics and Integrity Stimulation (Belanda) dan the Integrity Commission (Grenada) sama-sama secara eksplisit menyematkan kata integritas pada nama organisasinya.

Hal itu berbeda dengan kondisi pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentu tidak dapat secara serampangan disimpulkan bahwa tanpa penggunaan kata integritas lantas dapat disimpulkan penegakan integritas bukan merupakan perhatian dari KPK. Namun, label ‘integritas’ tersebut menunjukkan core dari tupoksi kedua instansi tersebut difokuskan pada pembangunan integritas.

Selain itu, adanya CCAICACB tentu dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang mampu melambungkan peringkat Grenada di IPK 2016. Saling berbagi pengalaman dan ilmu antar negara anggota terbukti menjadi pendorong yang efektif. Pada peringkat IPK 2016 tersebut, setengah dari total anggota CCAICACB sudah berada di peringkat 50 dunia.

Bandingkan dengan Indonesia dan negara-negara di sekitarnya. Dari 11 negara ASEAN, hanya Singapura dan Brunei Darussalam yang berada di peringkat 50 dunia, bahkan tujuh negara lainnya, masih berada di luar peringkat 100 dunia. Hal ini menunjukkan adanya potensi bagi pembentukan asosiasi serupa untuk mendorong perbaikan atas peringkat negara-negara ASEAN tersebut, dengan Singapura sebagai salah satu role model-nya.

Sebagai catatan terakhir, peringkat IPK yang dirilis oleh Transparansi Internasional (TI) tentu bukanlah ukuran mutlak sebuah negara telah berhasil atau belum dalam melakukan upaya perlawanan terhadap korupsi. Telah banyak artikel yang membahas kelemahan dari metode yang dilakukan oleh TI yang masih berdasarkan persepsi masyarakat. Namun, tentu kelemahan tersebut tidak lantas menghapuskan manfaatnya. IPK masih dapat dijadikan sebagai salah satu tolak ukur yang digunakan untuk dasar pengukuran sejauh mana progres dari setiap upaya yang dilakukan oleh berbagai negara setiap tahunnya dalam hal program anti-korupsi.

Salam Anti-Korupsi!

 

 

0
0
McDonaldisasi Birokrasi dan (i)Rasionalitas Weberian

McDonaldisasi Birokrasi dan (i)Rasionalitas Weberian

Diskusi Publik MAP Corner-Klub MKP, Fisipol, Universitas Gadjah Mada.

Selasa, 22 Agustus 2017

Birokrat Menulis diundang oleh kampus UGM sebagai narasumber dalam diskusi publik pada Hari Selasa lalu, tanggal 22 Agustus 2017. Diskusi yang diselenggarakan setiap hari selasa ini digagas oleh sebuah komunitas bernama MAP Corner – Klub MKP, sebuah komunitas kritis yang didirikan oleh mahasiswa bersama beberapa akademisi Magister Administrasi Publik dan Magister Kebijakan Publik Fisipol UGM.

Diskusi yang dilakukan di lobi Kampus Magister Administrasi Publik (MAP) UGM sore itu kebanyakan dihadiri oleh para mahasiswa MAP dan MKP baik di jenjang s1, s2, maupun s3, dan beberapa mahasiswa dari kampus lain. Selain itu tampak beberapa birokrat dari Kabupaten Sleman maupun Kota Yogyakarta hadir untuk meramaikan diskusi. m

Mutia Rizal, mewakili Birokrat Menulis sebagai narasumber menyampaikan beberapa hal untuk memantik diskusi:

Max Weber seorang sosiolog Jerman, memiliki pemikiran yang berpengaruh besar dalam kehidupan sosial umat manusia. Konsepnya mengenai tindakan sosial maanusia berkembang luas, termasuk dalam kehidupan di birokrasi. Pemikiran Weber disebut sebagai penanda munculnya modernitas dengan adanya asas rasionalitas dalam tindakan.

Bagi Max Weber, birokrasi tipe ideal lebih unggul daripada struktur otoritas tipe tradisional dan karismatik. Birokrasi ini didasarkan pada hukum dan keputusan rasional, tindakan aparat dan pemimpin didasarkan pada pengetahuan rasional dan keahlian.

Rasionalisasi birokrasi modern adalah, proses administrasi dalam kegiatan birokrasi itu hanya dapat menjadi efisien, rutin, dan nonpartisan apabila cara kerja organisasi dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin untuk mencapai efisiensi, ouput standar, dan kepastian.

Konsep rasionalitas weber dalam birokrasi memiliki tiga prinsip penting yaitu formalisasi, instrumentalime, dan otoritas legal-rasional.

Formalisasi dimaksudkan sebagai konsep yang menggambarkan sejauh mana aturan, norma, prosedur, regulasi, instruksi, komunikasi, dan pelaksanaan tugas ada dalam wujud tertulis (written form). Segala bentuk formalisasi tersebut dirancang untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku orang (role makes the person). Implikasi negatif dalam birokrasi adalah organisasi menjadi cenderung kaku dan tidak adaptif.

Intrumentalisme, adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa organisasi itu mirip suatu alat atau mesin yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Ketika kita mengatakan sesuatu itu instrumen, kita melihat itu sebagai sebagai “satu alat ke suatu tujuan” (a means to an end). Weber memandang jabatan, prosedur, dan pola interaksi tidak hanya sebagai bagian pembentuk organisasi saja. Lebih dari itu,  mereka dikategorikan sebagai alat (instruments) untuk mencapai tujuan besar organisasi (ends). Implikasi negatif dari instrumentalisme adalah terjadinya penyalahgunaan tujuan, dan menjadikan alat sebagai tujuan.

Otoritas legal-rasional, yaitu otoritas yang sah (legitimate) didasarkan pada jabatan formal (dan karena itu legal, sah secara hukum tertulis). Dengan legalitas formal tersebut, anggota organisasi menjadi tidak memiliki pilihan lain, selain harus mematuhi aturan pemegang otoritas.  Implikasi negatif dari otoritas legal-rasional ini adalah adanya dominasi berlebihan, jarak kekuasaan menjadi lebar, dan terjadinya kepatuhan buta.

Weber juga menyebut birokrasi terkurung dalam sangkar besi (iron cage). Kurungan itu disebabkan oleh adanya berbagai rasionalitas yang menghasilkan berbagai aturan serba formal, kaku, dan dominan yang mengelilingi birkorasi.

Salah satu dampak rasionalitas yang penting adalah terjadinya alienasi (keterasingan) bagi individu dalam kehidupan birokrasi. Segala macam rasionalitas akhirnya membentuk seperangkat nilai-nilai maupun perilaku tertentu yang justru seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang. Pada saat itulah individu menjadi terasing di dunia birokrasi.

Dengan rasionalitas ini pula mengakibatkan kultur informal sulit masuk dalam kehidupan birokrasi, karena dianggap tidak rasional dan kurang memenuhi syarat sebagai instrumen dalam pencapaian tujuan.

Adapun McDonaldisasi yang diperkenalkan oleh George Ritzer, sosiolog Amerika, merupakan sebuah afirmasi dari rasionalitas Weber. Ritzer mengatakan bahwa aspek kehidupan sosial manusia telah mengalami McDonaldisasi, yaitu segala perilaku kita selalu mengandung unsur efisiensi, kalkulasi, prediksi, dan kontrol, layaknya sebuah restoran cepat saji McDonald. Hal ini sangat relevan dengan kehidupan di birokrasi.

Dalam kehidupan birokrasi, efisiensi, kalkulasi, prediski dan kontrol selalu membayangi setiap sendi birokrasi. Hal itu tampak jelas terlihat dari sistem penganggaran, sistem kerja, sistem kinerja, dan juga sistem pengendalian dalam birokrasi.

Yang menarik dari konsep McDonaldisasi adalah adanya irasionalitas dalam rasionalitas, yaitu dampak negatif dari adanya sebuah rasionalitas. Sebagai contoh sederhana dalam kehidupan birokrasi, sering kita melihat pelayan birokrasi yang tidak ramah dalam melayani masyarakat akibat tuntutan efisiensi, adanya kemacetan lalu lintas saat pagi hari dan sore hari akibat semua pegawai berangkat dan pulang saat bersamaan berdasarkan waktu yang ditentukan.

Hal menarik lain dari McDonaldisasi adalah adanya paradoksial dari prinsip Mcdonaldisasi.

Pertama, Inginnya efisien, justru perilaku dan hasilnya tidak efisien. Sebagai contoh nyata yaitu adanya persyaratan pertanggungjawaban yang berlebihan karena keiginan efisien dan pelaksanaan keuangan yang terkendali. Sampai-sampai Presiden mengeluhkan bahwa PNS kerjanya hanya mengurus Surat Pertanggungjawaban (SPJ).

Kedua, proses dan produk inginnya terkalkulasi, namun ternyata justru input, proses  dan output tidak dapat terkalkulasi dengan baik. Salah satu akibat yang terpampang nyata adalah adanya permasalahan hutang luar negeri untuk mendanai berbagai program pemerintah yang telah terkalkulasi. Hutang  yang semakin bertambah dinilai oleh sebagian masyarakat justru sebagai sebuah kegagalan kalkulasi pemerintah.

Ketiga, keinginan memprediksi kebutuhan masyarakat justru menimbulkan banyaknya keluhan di masyarakat. Masyarakat belum merasakan kebutuhannya terpenuhi dan terlayani dengan baik. Kebutuhan masyarakat selalu bergerak dan birokrasi seringkali gagal memahami kebutuhan masyarakat tersebut.

Keempat, keinginan birokrasi untuk mengendalikan (to control) perilaku aparat masih jauh dari harapan. Terjadinya kegiatan pungutan liar, banyakanya kasus korupsi, serta keluhan Menteri PAN dan RB tentang PNS bekerja hanya untuk absen, menandai gagalnya birokrasi mengendalikan seluruh aparatnya.

Diskusi diwarnai oleh berbagai pertanyaan dan pendapat sebagai berikut:

  • Kita tidak bisa menyalahkan rasionalisasi, karena kita tidak bisa menghindari rasionalisasi tersebut sebagai tanda era modern. Yang peerlu kita waspadai adalah efek buruk dari rasionalisasi. Sistem yang dibuat di birokrasi pun adalah hasil rasionalisasi, mungkin salah satu jalan keluarnya adalah sistem birokrasi yang lebih demokratis.
  • Keterasingan tidak saja dirasakan oleh aparat di intern birokrasi, masyarakat di luar birokrasi pun merasakan hal yang sama. Sebagai contoh seorang yang datang ke kantor instansi pemerintah sering diabaikan dan dianggap tidak penting, meskipun tujuannya untuk meminta layanan publik yang menjadi haknya.
  • Rasionalisai berlebihan dapat menciptakan dominasi. Untuk itu apakah lebih baik jika kita belajar dari street level birokrat, pada tataran ini kita menyadari bahwa di level bawah, mereka memiliki otonomi yang bisa jadi mampu melawan dominasi.
  • Aturan dibuat untuk mengatur perilaku aparat, apakah ini salah? Tidak, namun aturan adalah produk dominasi yang jika kita tidak kritis maka justru akan menghambat potensi para aparat. Himbauan agar aparat memiliki komitmen dengan pelaksanaan aturan adalah wacana dominasi yang cenderung anti resitensi.
  • Kita tidak bisa menafikkan rasionalisasi, bahkan di negara maju yang tingkat penympangannya relatif rendah tetap melaksanakan birokrasi dengan penuh rasionalitas. Namun perbedaannya di negara itu demokrasi mampu bersanding dengan baik dengan rasionalisasi.
  • Salah satu kelemahan kita dalam membaca permasalahan di birokrasi adalah kita menganggap bahwa kehidupan birokrasi seperti ruang hampa, tidak berhubungan dengan sistem yang lain. Padahal birokrasi kita sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi dan politik di sebuah negara. Untuk itu, perlu kiranya kita semakin kritis terhadap lingkungan luar di sekitar birokrasi.
  • Capaian kinerja optimal di birokrasi sulit untuk kita ukur, karena kebutuhan masyarakat selalu bergerak. Sehingga tipe ideal birokrasi weberain tidak pernah terwujud. Salah satu kelemahan birkrasi yang ingin mengikuti tipe idela tersebut adalah selalu menyamakan dan menyeragamkan perilaku aparat di seluruh instansi, padahal sifat, fungsi, dan kultur setiap instansi bisa saja berbeda jauh.
  • Kultur di birokrasi bisa dibentuk dengan menerapkan birokrasi yang lebih demokratis. Hal itu bisa dilakukan dengan cara memperlonggar dominasi dan menerima nilai-nilai kearifan lokal masuk dalam kultur birokrasi.

Pada sesi terakhir diskusi, dapat ditarik kesimpilan bahwa:

  • Birokrasi tidak dapat terbebas dari weberian, tapi mengkombinasikan rasionalisasi lama dengan prinsip baru tentang network dan demokrasi. Tidak pula berarti tidak ada dominasi, tapi lebih pada organisasi dan manajemen menjadi demokratis. Perlu diciptakan diskursus baru untuk mendukung proses demokratisasi di birokrasi.
  • Prinsip demokrasi selama ini sulit dilaksanakan karena dianggap membahayakan struktur vertikal, pengembangan network menjadi tidak dinamis, hanya akan membuat fragmentasi dalam rangka kompetisi. Selain itu otoritas dan perintah tidak lagi dapat menjadi solusi.
  • Tiga hal yang perlu menjadi refleksi agar birokrasi lebih manusiawi dan bernilai, yaitu tentang power, freedom, dan culture.
  • Dalam power, perlu kiranya mengurangi dominasi dengan cara memperkecil jarak kekuasaan. Hirarki struktural hendaknya sebagai pembagian tugas saja, bukan sebagai sarana untuk mendominasi aparat. Birokrasi hendaknya tidak anti resistensi, karena resistensi selalu akan ada, dan justru diperlukan untuk membangun kehidupan dinamika birokrasi yang bermartabat.
  • Kebebasan (freedom), akan lebih baik jika dimaknai sebagai potensi bukan sekedar otonomi. Karena jika sebagai otonomi, akan berpeluang menjadi anarki. Jika sebagai potensi justru dapat menjadi kekuatan bagi aparat dalam menyalurkan potensi kekampuan yang dimiliki.
  • Dalam hal culture di birokrasi, hendaknya waspada terhadap kesesatan simbolisasi yang melahirkan identitas tertentu. Jika terjadi hal demikian, nilia-nilai mulia yang ingin dibangun justru akan memudar, akan terganti dengan simbolisasi yang penuh hipokrisi.
Mengintegrasikan Sistem Perpajakan, Sistem Sosial, dan Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

Mengintegrasikan Sistem Perpajakan, Sistem Sosial, dan Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

Oleh: RUDY M. HARAHAP*

 

 

Belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani mempertanyakan ‘mental gratis‘ masyarakat Indonesia. Hal ini tentu dapat menjadi kontroversi. Tentu saja Sri Mulyani menyatakan pendapat demikian bukan tanpa alasan.

Sebagai seorang menteri yang pernah bekerja di World Bank, tentu ia memiliki data untuk membandingkan dengan negara lain apakah masyarakat Indonesia layak disebut bermental gratis.

Mental gratis ini tentu sangat fundamental. Ketika kita berbicara mental, artinya kita melihat sesuatu yang bukan lagi di permukaan. Sayangnya, tidak banyak perdebatan lebih jauh tentang pernyataan Sri Mulyani ini.

Yang ada justru adalah pernyataan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sumantri Brojonegoro yang cenderung mengokohkan mental gratis tersebut. Ia baru-baru ini mengusulkan asuransi pengangguran.

Pemilihan kata ini saja sudah berkonotasi negatif dan bisa mendemotivasi masyarakat Indonesia dalam membayar pajak. Seperti juga diindikasikannya, dengan asuransi pengangguran ini, masyarakat akan cenderung memilih menjadi penganggur.

Rakyat akan terperangkap dengan kata ‘pengangguran’ itu. Kesannya, negara akan menanggung kehidupan para penganggur. Akhirnya, mereka akan cenderung nyaman menganggur daripada bekerja dan semakin meningkatkan mental gratis itu.

Rasio Pajak Rendah?

Belakangan ini, kita mendengar lagi pernyataan keras Sri Mulyani tentang kebiasaan sebagian dari kita — terutama yang pernah mendapatkan pendidikan di luar negeri — membandingkan negara kita dengan negara lain terkait jaminan sosial kepada warga negaranya.

Ia mencontohkan, sering sekali orang-orang cerdas itu berbicara bahwa di Norwegia kehidupan sosial masyarakatnya ditanggung oleh negara, dari mulai di kandungan sampai dengan meninggal. Akan tetapi, katanya, mereka yang berargumentasi itu tidak mengungkapkan bahwa hal itu dimungkinkan karena Norwegia memajaki rakyatnya 60% dari penghasilan mereka.

Artinya, jika kita ingin menerapkan jaminan sosial seperti halnya di Norwegia, pantasnya, rakyat mengeluarkan 60% dari pendapatannya untuk pajak. Pertanyaannya, berapa persen yang sudah dikeluarkan oleh rakyat dari penghasilannya untuk kepentingan pajak? Ini tentu bisa menjadi perdebatan sengit.

Tentu, Sri Mulyani akan berargumentasi bahwa rakyat Indonesia belum patuh membayar pajak dengan melihat rasio pajak (tax ratio) negara kita yang masih sangat rendah. Kemudian, kita juga bisa melihat begitu rendahnya jumlah rakyat yang terdaftar di kantor pajak, dengan indikator jumlah mereka yang telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Dari mereka yang terdaftar ini pun, jumlah yang menyampaikan laporan tahunan pajak (SPT) sangat rendah. Karenanya, cukup aneh jika rakyat menuntut begitu besar jaminan sosial dari negara, tetapi hanya sebagian kecil yang membayar pajak.

Argumentasi ini tentu dengan mudah bisa disanggah. Sebab, berbeda dengan negara lain yang rasio pajaknya tinggi, di Indonesia rakyat mesti membayar begitu banyak pungutan, dari mulai pungutan resmi, setengah resmi, bahkan pungutan preman.

Sebagai contoh, dari mulai kehidupan di rumah, kita sudah mesti membayar iuran bulanan rukun tetangga (RT). Kemudian, yang tinggal di lingkungan kompleks perumahan, mereka mesti membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL) ke developer, seperti Bintaro Jaya di daerah Bintaro. Pembayaran ini tidak terkait langsung dengan konsumsi kita.

Selanjutnya, ketika ingin mendapatkan layanan dari instansi sektor publik, kita mesti membayar berbagai pungutan lagi. Ketika ingin mengurus kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) ke kelurahan atau kecamatan, maka lazimnya kita membayar sumbangan, sebagai pungutan setengah resmi. Ketika kita ingin mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), kita pun mesti membayar pungutan lagi.

Belum lagi jika kita perhitungkan pajak daerah seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mesti kita bayar secara tahunan. Selain itu, kelazimannya kita juga mesti membayar sumbangan sosial keagamaan, sumbangan di sekolah, atau bahkan uang ‘jatah preman’ bagi mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminalnya tinggi.

Artinya, jika saja pungutan-pungutan itu diperhitungkan, bisa saja ternyata rasio pajak Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Dengan demikian, rasio pajak tidak tepat untuk mengukur apakah mental rakyat kita cenderung bermental gratis atau tidak.

Namun, indikator jumlah mereka yang terdaftar dan yang menyampaikan laporan tahunan pajak bisa menjadi indikator mental gratis tersebut. Tentu saja, ini semakin memunculkan pertanyaan penting, kenapa hanya sebagian kecil saja rakyat Indonesia yang terdaftar dan menyampaikan laporan tahunan pajaknya?

Tulisan ini akan coba menjawab pertanyaan pertama, kenapa hanya sebagian kecil rakyat yang terdaftar sebagai pembayar pajak? Pertanyaan ini bisa dijelaskan dari aspek sosial dan aspek teknikal.

Sri Mulyani sudah melihatnya dari aspek sosial. Ia melihat persoalan sosial dari mental gratis masyarakat kita. Hal ini dapat dimaklumi karena banyak masyarakat kita yang melihat bahwa dengan merdekanya Indonesia dari penjajahan pada tahun 1945, maka mereka menganggap mestinya ada juga kemerdekaan untuk tidak membayar pajak. Sebab, di masa penjajahan, pajak atau ‘upeti’ pada waktu itu telah menjadi momok bagi rakyat.

Permasalahan mental sosial ini tentu tidak bisa kita jawab dengan pendekatan teknis. Kita membutuhkan kajian mendalam bagaimana agar mental tadi berubah. Salah satunya, tentu telah dijawab oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan program ‘Pajak Bertutur’ yang sekarang sudah digalakkan di sekolah-sekolah.

Tentu saja program ini hasilnya tidak bisa kita harapkan dalam jangka pendek. Perubahan mental akan membutuhkan waktu yang panjang. Bisa jadi, mesti melewati beberapa generasilah kita bisa mengubah mental tersebut dan menghilangkan mental gratis masyarakat Indonesia.

Namun, persoalan rendahnya wajib pajak terdaftar bisa juga dilihat dari aspek teknis. Salah satunya adalah melihat aspek integrasi antar sistem, terutama dengan ‘sistem sosial’ dan ‘sistem ketenagakerjaan’.

Integrasi Sistem Perpajakan dan Sistem Sosial

Saat ini, negara kita telah begitu banyak meninabobokan rakyat dengan berbagai program jaminan sosial, seperti ‘kartu sehat’, ‘kartu pintar’, ‘kartu miskin’, dan berbagai kartu lainnya.

Kartu-kartu ini banyak dinikmati oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang miskin. Sayangnya, pemerintah sampai sekarang belum menengok integrasi antara sistem jaminan sosial ini dengan sistem perpajakan.

Mestinya, dari awal pemerintah sudah menanamkan kesadaran terdaftar sebagai wajib pajak dari mulai masyarakat yang merasa miskin ini. Artinya, ketika mereka mendapatkan subsidi dari negara, mestinya mereka juga dipotong pajak.

Ada dua keuntungan dari pendekatan ini. Pertama, secara sosial, mental gratis mulai dihilangkan karena mereka diberikan kesadaran bahwa walaupun mereka mendapatkan subsidi, tetapi mereka juga membayar pajak.

Kedua, secara teknikal, sistem perpajakan sudah mulai terintegrasi dengan sistem sosial. Sistem perpajakan bisa memonitor apakah orang-orang yang mengaku miskin ini masih terus miskin atau sudah berubah nantinya.

Jika mereka sudah tidak layak dianggap miskin lagi, maka sistem perpajakan bisa memberikan warning kepada sistem sosial dan memajaki mereka layaknya orang yang tidak miskin lagi.

Sebagai perbandingan, di Selandia Baru, masyarakatnya bisa mendapatkan berbagai jenis jaminan sosial. Sebagai contoh, seorang janda yang tidak bekerja dan memiliki anak bisa mengajukan diri agar  mendapatkan subsidi ‘single parent benefit’ melalui Work and Income Department. Hanya saja, mereka harus melaporkan kepada departemen tersebut jika memiliki pekerjaan.

Dengan demikian, subsidi yang diterimanya bisa ‘disesuaikan’ oleh Work and Income Department atau malah jika dilihat income dari bekerja itu telah memadai, subsidi tadi dihapuskan, dan mereka justu terkena kewajiban perpajakan sebagaimana wajib pajak lainnya.

Sayangnya, cara berpikir integratif ini tidak dikenal di Indonesia. Kita bisa melihat Sumantri Brojonegoro malah mengusulkan asuransi pengangguran tanpa mempertimbangkan aspek perpajakan. Kemudian, term yang digunakan pun sudah usang.

Di banyak negara, istilahnya bukan lagi asuransi ‘pengangguran’. Di Selandia Baru, istilah yang digunakan adalah ‘pekerjaan dan pendapatan (work and income)’. Terasa sekali bahwa tujuannya adalah memotivasi orang untuk bekerja. Artinya, rakyat diberikan subsidi agar mereka semangat mencari pekerjaan.

Subsidi itu diberikan bukan dimaksudkan untuk membuat mereka terlena dan terus menjadi pengangguran, tetapi menopang mereka sesaat (temporary) agar bisa mencari pekerjaan dan memperoleh income, yang nantinya mendorong partisipasi mereka membayar pajak lebih besar kepada negara.

Karena itu, salah satu jenis subsidi lain yang diberikan negara kepada mereka bukan lagi seperti halnya ‘kartu pengangguran’, tetapi subsidi dalam bentuk pelatihan kepada warga negara, yang disebut ‘career benefit’. Di negara ini, subsidi ini bukan hanya untuk pelajar sekolah dasar sampai universitas saja yang berhak mendapatkannya.

Di Selandia Baru, jika ada seseorang yang menganggur karena dipecat oleh kantornya, maka negara akan memberikan subsidi dana pelatihan agar mereka mampu mencari pekerjaan baru yang sesuai dengan perkembangan bisnis.

Integrasi Sistem Sosial dan Sistem Ketenagakerjaan

Karenanya, tidak terhindarkan bahwa sistem sosial juga mesti terintegrasi dengan sistem ketenagakerjaan. Sialnya, hal ini tidak juga dikenal di Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi cenderung mempunyai agenda sendiri.

Mereka malah lebih banyak sibuk membicarakan soal tenaga kerja Indonesia (TKI). Begitu banyak program Kementerian ini untuk menyiapkan rakyat menjadi tenaga kerja di negara lain dalam kelas rendahan.

Mestinya, mereka mengadakan pelatihan kepada rakyat Indonesia yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis saat ini dan ke depan. Sumber pembiayaannya adalah dari rakyat itu sendiri, yaitu dari career benefit yang mereka peroleh dari sistem sosial. Artinya, mereka diberikan subsidi ini karena dianggap penting untuk meningkatkan karir mereka.

Indonesia akan maju jika berani mengintegrasikan tiga sistem ini. Paling tidak, kita bisa memulai dari eksperimen di lingkungan pegawai negeri. Saat ini kita bisa melihat begitu banyak pegawai negeri yang tidak efektif bekerja. Karenanya, pemerintah mesti berani merumahkan mereka. Namun, pemerintah mesti membayar gaji pokok mereka utuh sampai dengan pensiun.

Selanjutnya, selama mereka dirumahkan itu, pemerintah mesti memberikan subsidi kepada mereka agar mereka mengambil pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan saat ini dan ke depan di Indonesia.

Sebagai contoh, saat ini pegawai negeri kita terlalu banyak memiliki keterampilan administrasi. Mereka harus diubah agar memiliki keterampilan teknis, seperti pelayanan kesehatan ataupun teknik sipil, karena kita membutuhkan lebih banyak orang yang bisa menjalankan pekerjaan fisik.

Subsidi carreer tersebut tentu harus dipotong pajak. Dengan demikian, sejak awal mereka akan terdaftar sebagai pembayar pajak dan yang terdaftar sebagai pembayar pajak akan meningkat.

Setelah pelatihan ulang ini, pemerintah mesti membantu menyalurkannya. Dari program ini, maka pemerintah bisa mengetahui mana di antara mereka yang masih layak mendapatkan subsidi career tadi dan mana yang mestinya sudah dicabut dan kemudian malah menjadi pembayar pajak utama di Indonesia.

Intinya, jika Sri Mulyani ingin mengubah mental rakyat Indonesia dari mental gratis menjadi mental sadar pajak, tidaklah terhindarkan diperlukannya berpikir integratif dengan melibatkan berbagai sistem, terutama sistem sosial dan sistem ketenagakerjaan. Sistem perpajakan tidak bisa dilepaskan dari berbagai sistem lain di sebuah sistem besar pemerintahan.

 

*) Penulis adalah pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang sedang menyelesaikan penulisan tesis doktoralnya terkait integrated performance management systems (PMSs) di sektor publik dengan beasiswa New Zealand Asean Scholarship (NZAS) dari Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), Selandia Baru. Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak merepresentasikan pandangan tempat penulis bekerja ataupun lembaga manapun.

1
0
Memahami Aktivitas Pameran Daerah: Branding Atau Selling?

Memahami Aktivitas Pameran Daerah: Branding Atau Selling?

Oleh: BERGMAN SIAHAAN*

 

 

Pameran,dalam sepuluh tahun terakhir semakin giat dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia. Sedemikian giatnya Pemda menggelar dan mengikuti kegiatan pameran, sedemikian giatnya pula beberapa kalangan mempertanyakan manfaatnya atau yang sering disebut feedback. “Apa hasil dari sebuah pameran yang menghabiskan APBD yang tidak kecil itu?” Demikian pertanyaan yang sering dilontarkan.

Saya mendapat pelajaran dari salah seorang stakeholder yang notabene pebisnis, bahwa ada dua prinsip orientasi promosi, yakni selling dan branding. Selling adalah penjualan yang diindikasikan oleh transaksi. Seorang pengusaha yang mengikuti suatu pameran tentu menargetkan penjualan selama pameran berlangsung. Pembeli datang dan produk pun laku. Bilamana sebuah perusahaan ingin melakukan selling promotion, mereka akan melakukan strategi discount atau bonus buy 1 get 1 bisa pula penjualan jemput bola yang turun ke jalan-jalan menggunakan SPG (Sales Promotion Girl).

Pernahkah anda bertanya, apakah baliho raksasa sebuah produk yang terpampang di perempatan jalan atau menjadi sponsor pada suatu acara sosial akan menghasilkan transaksi hari itu juga? Lalu untuk apa biaya yang besar dihabiskan untuk promosi seperti itu? Tentu tidak demikian cara berhitungnya. Inilah yang dimaksud dengan promosi berorientasi branding.

Branding adalah pencitraan. Hasil yang ingin dicapai melalui iklan di baliho atau media massa adalah sebuah penanaman brand (merek) ke dalam pikiran bawah sadar calon konsumen. Branding berbicara mengenai bagaimana agar konsumen tahu bahwa produk tersebut masih eksis di pasaran,bahwa perusahaan produsen masih sehat secara finansial. Juga bahwa si produsen peduli akan hal-hal sosial disamping hitungan bisnis, dan banyak lagi dampak psikologis yang ingin dicapai oleh perusahaan dalam pembuatan sebuah iklan.

Dalam konteks birokrasi, pemerintah daerah berposisi sama dengan produsen. Produk yang dijual bisa berupa pariwisata, kesenian, investasi, dan produk UKM. Sedangkan konsumen adalah wisatawan, investor, pedagang dan masyarakat. Bagi pemerintah daerah, branding  sebenarnya sangat penting.

Saya ambil contoh: dengan tampilnya Pemerintah Kota X pada sebuah kegiatan pameran di suatu daerah, apa yang  pertama kali terlintas dalam benak pengunjung?

“Wah, Kota X eksis juga, ya.”

“Wow, hebat ya, dekorasi stand Kota X.”

“Ternyata Wali Kotanya peduli juga untuk mengangkat gengsi daerahnya.” dan sebagainya.

Sejurus setelah kesan pertama itu, barulah pengunjung melihat-lihat materi pameran. Isi booth sesungguhnya mewakili wajah pemerintah daerah yang bersangkutan. Apakah pariwisatanya bagus? Apakah produk daerahnya berkualitas dan menarik? Informasi lain seperti potensi investasi dan indikator pembangunan, apakah menarik dan berbobot? Apakah konsepnya sudah modern dan berbasis IT? Apakah Kepala Daerahnya perhatian terhadap citra daerah, pariwisata, investasi atau UMKM?

Demikianlah yang terlihat dari sudut pandang pengunjung pameran. Lalu apakah pencitraan itu juga berdampak bagi masyarakat atau peserta pameran dari daerah itu sendiri? Ya. Masyarakat Kota X dan pelaku UKM yang diikutsertakan oleh Pemkot X dalam kegiatan pameran tersebut akan berpikir demikian, “Wah, Pemko kita giat mengangkat citra daerah kita di kancah nasional atau internasional.”
Si pengusaha UKM akan berpikir, “Wah, Pemkot ternyata peduli dengan UKM dan membantu kita untuk tampil di level nasional dan internasional. APBD ternyata dikembalikan ke masyarakat dengan cara memfasilitasi pameran seperti ini.”

Hal ini juga terjadi pada bidang urusan lain. Ketika Pemda melakukan roadshow pariwisata, apakah anda berpikir hari itu juga turis akan langsung beli tiket dan terbang ke daerah tersebut? Tentu saja tidak. Bila daerah ingin meningkat kedatangan turis dalam jangka pendek, maka pemerintah sebaiknya melakukan selling promotion, seperti menggelar great sale di seluruh mal, atau diskon khusus di hotel-hotel. Bisa juga dengan menggelar kegiatan internasional seperti kejuaraan olah raga atau konferensi.

Namun bila tujuannya untuk menanamkan citra bahwa daerah tersebut sangat menarik untuk dikunjungi, dapat dibuat semacam iklan yang ditayangkan di media televisi. Bisa juga ditayangkan di media luar ruang seperti televisi bandara, pesawat, baliho dan media lain yang tentunya memakan biaya yang cukup besar.

Hal yang sama juga berlaku dalam bidang penanaman modal. Bila Pemda berniat melakukan strategi selling, untuk segera mendatangkan investor, Pemda bisa mengambil kebijakan memotong pajak daerah, pembebasan retribusi dalam jangka waktu tertentu atau kemudahan perizinan untuk sektor tertentu atau wilayah tertentu, atau kemudahan dan insentif lainnya.

Lain halnya pada strategi branding, aktivitas yang dilakukan dapat berupa penayangan pesan komersial di tv nasional, di media luar ruang seperti televisi bandara, pesawat, baliho dan media lain atau berpartisipasi dalam pameran-pameran yang tentunya memakan biaya yang cukup besar. Dengan demikian maka masyarakat nasional dan internasional akan menangkap pesan bahwa daerah tersebut potensial dan kondusif seiring citra yang digenjot.

Bagi masyarakat lokal, strategi branding juga akan memberikan rasa bangga dengan popularitas daerahnya di mata nasional dan internasional yang pada akhirnya akan memaklumi realisasi APBD dalam jumlah tertentu untuk menaikkan citra daerah ke dunia luar. Dampak yang lebih luas dari branding daerah adalah pembukaan peluang-peluang industri MICE, pariwisata, perdagangan dan jasa pada masa mendatang.

Bagi saya sendiri yang lama bergelut di dunia promosi daerah, ada dua fungsi pameran daerah. Pertama adalah memberi informasi kepada konsumen atau stakeholder yang suatu saat berpotensi “membeli jualan pemerintah” dan yang kedua yang sering dilupakan adalah memberi informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan bidang urusan pemerintah tertentu. Saya menyebut fungsi kedua ini sebagai laporan pertanggungjawaban tidak resmi kepada masyarakat yang sesungguhnya empunya kedaulatan dan pemilik uang bernama APBD itu.

Setelah memahami hal-hal tersebut diatas, maka pertanyaan, “Berapa investor yang datang dan melakukan deal pada saat pameran berlangsung?” Atau pertanyaan lain, “Apakah dengan dana APBD sebesar 1 milliar untuk promosi investasi, bisa mendatangkan investasi pada tahun yang sama minimal senilai dengan anggaran yang dikeluarkan itu?” dengan berat hati tidak bisa saya jawab, karena menurut saya tidak relevan.

 

*) Penulis adalah Aparatur Sipil Negara pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Medan. Sejak diterima sebagai PNS di tahun 2005, saat dimana Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerapkan rekrutmen bersih melalui BKN, Penulis sudah ditempatkan di instansi penanaman modal hingga sekarang. Hidup bersama seorang istri dan tiga orang putri, penulis mencoba menikmati hidup dengan tulisan dan fotografi yang bisa dilihat di situs pribadinya, bergmansiahaan.com

 

0
0