Wawancara Eksklusif dengan Presiden Jokowi:  Uang Mengikuti Prioritas, Bukan Mengikuti Struktur Organisasi!

Wawancara Eksklusif dengan Presiden Jokowi: Uang Mengikuti Prioritas, Bukan Mengikuti Struktur Organisasi!

Memasuki tahun ketiga pemerintahan Jokowi, Birokrat Menulis menganggap penting menulis kembali kebijakan-kebijakan penting Jokowi. Untuk memudahkan para birokrat memahami kebijakan tersebut, Birokrat Menulis menampilkannya dalam bentuk wawancara eksklusif berikut ini. Materi wawancara ini diambil dari pernyataan Jokowi di berbagai media. Birokrat Menulis berharap para birokrat dapat mengartikulasikan kebijakan-kebijakan ini.

——

 

Dua tahun lebih Pemerintahan Presiden Jokowi telah memberikan warna yang unik dalam prinsip pengalokasian anggaran belanja negara. Meskipun terkesan retoris, Presiden Jokowi terus mengulang prinsip-prinsip yang sangat revolusioner dalam konteks Indonesia, terutama perubahan pola pikir birokrat dari “money follows function” (uang mengikuti fungsi/struktur organisasi) menjadi “money follows priority” (uang mengikuti prioritas). Ia juga menambahkan perlunya aparat negara fokus pada inisiatif-inisiatif baru yang tidak lagi “linear”.

Dalam konsep money follows function”, semua organisasi publik–mulai dari tingkatan tertinggi sampai terendah–harus mendapatkan anggaran dalam menjalankan fungsinya. Anggaran ini berupa anggaran operasional (seperti membayar gaji dan tunjangan, sewa atau pemeliharaan kantor, langganan daya dan jasa, ketersediaan sarana-prasarana, sampai konsumsi rapat maupun keperluan alat tulis kantor) dan anggaran non-operasional yang bersifat proyek (seperti sosialisasi kebijakan, pengawasan kebijakan, dan penyediaan barang atau jasa untuk dikonsumsi publik).

Dengan formula follows the function, seluruh organisasi pemerintah otomatis mendapatkan anggaran setiap tahunnya. Kalau tidak sama, anggaran mereka akan bertambah sesuai dengan kenaikan inflasi atau hasil “kepintaran” dalam membuat proposal. Ini menjadikan seluruh fungsi organisasi “seolah-olah” menjadi prioritas.

Berbeda halnya dengan konsep money follows priority”. Dengan kebijakan ini, Jokowi sepertinya ingin “mencukur” habis kebiasaan yang sudah menjadi tradisi di birokrasi Indonesia, yaitu kebiasaan mendapatkan anggaran dengan mudah tanpa peduli apakah proyek yang diusulkan benar-benar sejalan dengan prioritas pemerintah atau tidak.

Bahkan, lebih jauh lagi, dapat diartikan beliau ingin mempertanyakan, apakah keberadaaan organisasi itu (sampai level setingkat kepala seksi) masih relevan dengan tujuan, cita-cita, aspirasi masyarakat, sebagaimana tertuang dalam nawa cita atau tidak? Selain itu, apakah level seksi tersebut masih relevan mendapat alokasi anggaran?

Jokowi seperti terlihat “gregetan” ingin segera merevolusi praktik-praktik kelembaman (inertia) organisasi publik yang bergerak autopilot, tanpa mengindahkan “tujuan” dan “cara mencapai tujuan” yang kreatif. Ia berulang kali melontarkan pemikiran ini.

Selain perubahan paradigma pengalokasian anggaran, Jokowi juga menekankan perlunya sinkronisasi Bappenas dan Kementerian Keuangan, serta pemanfaatan sistem informasi dalam tata kelola anggaran. Dari sisi pertanggungjawaban, ia juga menegaskan agar birokrasi jangan lagi tidak terlalu sibuk dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban sehingga menomorduakan hasil di lapangan.

Tak kalah penting, dalam pandangannya, birokrasi perlu mengevaluasi diri untuk memberikan nilai tambah dengan cara yang kreatif bagi masyarakat yang dilayani, mengedukasi, dan menjembatani, seperti contoh dalam membawa nelayan-nelayan Indonesia menjadi lebih produktif.

Dalam beberapa hal, perubahan di birokasi perlu ada semacam “lecutan”, atau dalam bahasa Presiden Jokowi “diinjak” dalam arti positif untuk keluar dari kebiasaan. Lengkapnya, berikut petikan “wawancara eksklusif” Birokrat Menulis dengan Presiden Jokowi.

Apa yang menjadi nama kabinet Anda dan tantangan utama yang dihadapi?

Banyak sekali usulan-usulannya. Ada enam kalau ndak salah. Tiga di antaranya yaitu Kabinet Trisakti yang diusulkan PDI Perjuangan; dan dua lainnya adalah Kabinet Kerja Perubahan dan Kabinet Kerja Trisakti. Pada akhirnya, karakternya ya “kerja, kerja, dan kerja”.

Tantangannya banyak, harus menyelesaikan masalah kemiskinan, mengurangi kesenjangan ekonomi yang kaya dan miskin, dan kesenjangan antar wilayah.

Saya menyadari bahwa tantangan-tantangan terus berubah dan membutuhkan kecepatan kita dalam memutuskan. Kita harus bertindak yang langsung dirasakan oleh rakyat, yang dinikmati oleh rakyat, baik jangka pendek, menengah, dan panjang sehingga hasilnya nyata dan dalam waktu secepat-cepatnya.

Dalam mencapai tujuan tersebut, tentunya Bapak mengharapkan ada perubahan dalam merencanakan anggaran. Bagaimana pendapat Anda?

Saya ingin agar betul-betul ada sebuah perubahan total. Artinya, menteri itu betul-betul mengendalikan anggarannya. Saya mengingatkan agar tidak lagi “money follow function”. Jangan sampai setiap seksi harus ada anggarannya, harus ada kegiatannya, ya [ini] memaksakan sekali. Kita lihat juga fokus dan prioritas, jadi betul mestinya “money follow program”.

Pak Jokowi, apa yang anda lihat perilaku tidak baik pada organisasi publik dalam membelanjakan anggaran negara?

Jangan hanya mengejar serapan anggaran, tanpa peduli kepada hasil atau capaiannya. Jadi, serapan anggaran harus habis iya, tetapi hasilnya juga harus baik. Capaiannya juga harus baik. Peningkatan besaran anggaran harus betul-betul memiliki kontribusi pada capaian hasil. Jadi, orientasi kita adalah “orientasi hasil”, bukan “orientasi prosedur”. Tapi, prosedur tetap mengikuti. Harus dicermati secara detail program sampai satuan 3. Pastikan program tersebut sesuai dengan  prioritas pembangunan nasional kita

Tentunya prioritas pembangunan dan dukungan anggaran itu perlu disusun dengan sangat baik oleh pemerintah. Terkait dengan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran, bagaimana pendapat Anda?

Kita tidak mau mengulang lagu lama, perencanaan dan penganggaran yang tidak rampung. Tidak sinkron antara yang direncanakan dengan yang dianggarkan. Seolah-olah ini ada dua rezim. Rezim perencanaan dan rezim penganggaran. Untuk itu, saya minta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) betul-betul mengawasi proses ini, terutama dalam pertemuan trilateral masing-masing kementerian dan lembaga.

Apakah mungkin terjadi sinkronisasi antara dua kelembagaan yang terpisah dalam hal perencanaan dan penganggaran?

Bongkar penyakit ego sektoral, cara berpikir yang terkotak-kotak, yang akan memperlambat proses. Bappenas juga tidak boleh lagi terperangkap gaya sektoral atau bahkan perpanjangan tangan dari sektoral. Bangun komunikasi lintas kementerian dan lembaga, lakukan pengembangan sistem informasi berbasis teknologi informasi untuk mendukung proses perencanaan anggaran yang kita ingin semuanya terintegrasi.

Contoh prioritas, perubahan semacam apa yang Anda kehendaki yang harus direncanakan dengan baik oleh para pimpinan lembaga di birokrasi?

Dunia berubah sangat cepat sekali. [Pada] setiap pertemuan saya selalu ngomong mengenai Elon Musk yang berbicara spaceX, berbicara mobil masa depan, berbicara ruang angkasa masa depan, berbicara hyperloop atau perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Kita urusan cantrang saja belum selesai.

Contoh, nelayan-nelayan kita jangan terus diajak bekerja dengan pola-pola lama. Harus berani kita loncatkan ke dunia yang lain. Sudah berapa puluh tahun kita urusan cantrang. Enggak habis-habisnya kita ngurusi cantrang sehingga melupakan strategi besar yang memiliki nilai tambah yang lebih baik.

Kenapa kita enggak pernah berbicara soal offshore, aquaculture? Ajari nelayan- nelayan kita untuk mengetahui barang apa ini? Nilai tambahnya bisa puluhan kali dari apa yang kita kerjakan dari saat ini. Sudah berpuluh-puluh tahun tidak pernah kita meloncat, sekarang saatnya kita [harus] berani melompat. Kalau kita belum bisa mengerjakan sendiri, join-kan, kerjasamakan. Biar ada transfer pengetahuan, transfer teknologi. Tanpa itu kita tidak pernah meloncat.

Bagaimana caranya supaya bisa berpikir kreatif? Apa perlu dikerasin? Boleh dikasih contoh?

Kita itu terlalu “linier”, monoton, dan rutinitas. Dwelling time dulu masih enam sampai tujuh hari. Saya sampaikan ke Menko Maritim, saya mau tiga hari dwelling time. Sekarang sudah mencapai tiga hari, saya minta dua hari. Kalau enggak bisa, ‘diinjak’ biar bisa.

Kita ini memang kalau enggak dikerasin, sulit berubah. Padahal, kita ini sebenarnya bisa. Hanya masalah niat, mau tidak mau. Masalahnya hanya di situ, bukan masalah kepintaran atau kepandaian. Coba Bapak Ibu silahkan berbelanja di Tiongkok. Masuk ke restoran besar, atau mal. Yang ditanya bukan credit card lagi, tapi credit mobile. Kita jalan tol saja masih bayar cash… Pakai uang nih.

Baik, terima kasih. Itu dalam hal perencanaan. Akan tetapi, dalam praktiknya birokrat lebih disibukkan dengan pertanggungjawaban. Bagaimana pendapat Anda dengan kebiasaan birokrat yang fokus dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban?

Enggak usah laporan itu bertumpuk-tumpuk, tapi duitnya juga hilang. Untuk apa? Laporan seperti itu untuk apa? Enggak ada gunanya. Yang penting itu simpel, sederhana, gampang dicek, gampang dikontrol, dan diawasi. Prinsipnya begitu.  Tidak hanya di tulisan, tapi lapangannya juga kelihatan. Tidak hanya di pelaporannya, tapi konkrit, bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Jangan sampai kita basa-basi dengan laporan, tapi barangnya enggak nongol.

Baik Pak Jokowi, terima kasih untuk tanya-jawab singkatnya.

 

Catatan tambahan penulis:

Hasil “wawancara eksklusif” di atas mestinya menjadi refleksi bagi kita tentang bagaimana keinginan pimpinan tertinggi di republik ini dalam mengelola sumber daya publik untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Sepertinya, “kritikan” Presiden Jokowi masih akan relevan saat ini dan di tahun-tahun mendatang bagi sebagian besar birokrasi publik yang cenderung berpikir “linear”, terlalu fokus dengan proses, dan laporan pertanggungjawaban sehingga mereka sulit untuk berfikir kreatif.

Masih sering terjadi, keengganan pimpinan organisasi untuk terlibat langsung sampai satuan 3 (detail rencana operasional dan lokasi proyek). Mereka cenderung mendelegasikan proses perencanaan dan anggaran kepada bawahan yang akhirnya kegiatan-kegiatan birokrasi lebih banyak menjadi seremonial dan tidak langsung berhubungan dengan  prioritas Presiden yang dituangkan dalam nawacita.

Terkait sinergi Kementerian Keuangan dan Bappenas, dualisme perencanaan pembangunan, dan alokasi anggaran sepertinya masih akan terus berlanjut tanpa perbaikan signifikan pada proses yang terintegrasi dengan memanfaatkan sistem informasi.

Ditambah pula, terbatasnya waktu dan kapasitas sumber daya manusia dalam perencanaan dan penganggaran, baik di pusat dan daerah, menjadikan prinsip inkrementalisme (naik atau turun sedikit) dalam alokasi anggaran menjadi praktik yang sulit dihindarkan.

Meskipun alokasi signifikan pada belanja infrastruktur menjustifikasi adanya money follows priority dalam hal belanja, tetapi bagaimana dengan sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan?

Kiranya, wawancara eksklusif ini dapat menjadi perenungan kembali bagi kita para birokrat bagaimana ungkapan Presiden Jokowi dengan jargon sederhana “kerja, kerja, kerja” yang secara praktis berusaha mewujudkan konsep strategis bagaimana mengalokasikan anggaran publik yang berorientasi kepada prioritas, fokus pada hasil, dan berpikir kreatif serta tidak linear dalam melakukan lompatan pembangunan.

 

 

 

0
0