Birokrat Menulis Dalam Diskusi Publik: PP No 11 Tahun 2017 dan RPP Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK)*

Birokrat Menulis Dalam Diskusi Publik: PP No 11 Tahun 2017 dan RPP Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK)*

Setyo Nugroho dan Ilham Nurhidayat bersama bpk. Eko Prasodjo (Keynote Speaker)
dan bpk. Rudiarto (moderator) (Foto: Dokumen Birokrat Menulis)

—-

Yogyakarta yang istimewa kembali dipercaya untuk pelaksanaan even cukup prestigious, yaitu Diskusi Publik Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Bertempat di hotel Hyat, Jalan Palagan Yogyakarta, hari Jumat tanggal 19 Mei 2017, Diskusi Publik menghadirkan Bapak Eko Prasodjo untuk memberikan keynote speech serta beberapa narasumber yaitu Bapak Aba (Asdep Menpan dan RB), Bapak Laode dan Bapak Istiyadi yang merupakan pakar-pakar di bidang birokrasi pemerintahan.

Bapak Eko Prasodjo memberikan sharing proses penyusunan PP No. 11 tahun 2017 tentang manajemen PNS ini yang sangat dinamis karena banyak menyangkut hajat hidup PNS di negeri ini. PP dan RPP ini merupakan turunan dari UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan diikuti beberapa PP terkait ASN lainnya. Secara filosofi PP No. 11/2017 berupaya mendorong PNS menjadi semakin professional dalam melaksanakan amanah birokrasi pemerintahan.

Bapak Rudiarto dari UI yang bertindak sebagai moderator mencairkan suasana dengan menyatakan bahwa Diskusi Publik tentang PP No. 11/2017 merupakan diskusi publik pertama yang dhadiri oleh non birokrasi pemerintahan, diantaranya LSM, akademisi, mahasiswa S1, S2, dan S3 serta undangan istimewa untuk Birokrat Menulis (BM). Semestinya Birokrasi Menulis dihadiri oleh Mutia Rizal, Ilham Nurhidayat, dan Setyo Nugroho, namun nama yang disebut pertama tidak dapat hadir karena berhalangan, maka jadilah Ilham dan Setyo sebagai wakil BM dalam acara diskusi publik ini.

Bapak Aba sebagai narasumber pertama memulai paparannya dengan menyajikan komposisi PNS yang tidak ideal antara lain banyaknya PNS yang direkrut berasal dari mantan honorer, masih adanya sekitar 500 ribu guru yang belum memenuhi kualifikasi. Komposisi PNS sebagaimana dinyatakan oleh narasumber mengindikasikan daya saing PNS rendah, termasuk daya saing PNS di daerah yang memiliki karakteristik masing-masing. Dengan demikian dibutuhkan ketentuan yang mengatur syarat kompetensi, rekam jejak, kualifikasi PNS.  PP No. 11 /2017 ini menegaskan perlunya kualifikasi dan kompetensi yang harus dibangun sekarang. Dengan demikian dibuka kran dari non PNS untuk bergabung dengan PNS membenahi birokrasi yang semakin profesional.

Salah satu aspek yang mendapat sorotan narasumber adalah upaya membangun sistem karir SDM yang kompeten dan kompetitif, termasuk aturan baru yang menyatakan bahwa pangkat dapat fluktuatif. Contoh adalah ketika PNS dicopot dari jabatannya, maka pangkat harus disesuaikan. PP yang merupakan turunan dari UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN direncanakan sebanyak 9 buah PP yang mengatur:

  • Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian PNS
  • Manajemen PNS (PP 11/2017)
  • Manajemen PPPK
  • Penilaian Kinerja PNS
  • Gaji dan Tunjangan
  • Disiplin PNS
  • Korps Pegawai ASN
  • Pensiun dan Tunjangan Hari Tua
  • Badan Pertimbangan ASN

Kedelapan RPP tersebut masih dalam penggodokan, sehingga baru manajemen PNS yang sudah terbit PP nya berisikan 15 BAB dan 364 pasal.

Dalam paparannya, Narasumber menyampaikan beberapa isu strategis yang merupakan usulan DPR terhadap perubahan UU ASN yaitu:

  • Pengalihan tugas fungsi dan kewenangan pengawasan sistem merit dari KASN ke Menpan RB (Penghapusan KASN)
  • Pengaturan PPPK mendapat fasilitas dan Jaminan Hari Tua
  • Pengurangan PNS dan PPPK sebagai akibat perampingan organisasi berkonsultasi dengan DPR
  • Pengangkatan tenaga honorer sekitar 2 juta orang menjadi PNS

PP No. 11/2017 juga menegaskan lagi pengenaan sanksi bagai PNS yang terlibat politik yaitu dapat diberhentikan dari PNS. Transparansi  dalam rekrutmen PNS mengatur masalah prajabatan karena dengan PP ini, sekarang prajabatan bukan ceremonial semata, karena belum tentu CPNS yang mengikuti Prajabatan otomatis langsung lulus. Beberapa hal pokok strategis lainnya dalam PP No. 11 tahun 2017 antara lain adalah akuntabilitas jabatan, kualifikasi pendidikan dan pengalaman, serta syarat kompetensi termasuk pengembangan kompetensi.

Sesi tanya jawab memberikan beberapa pertanyaan strategis antara lain sebagai berikut:

Ilham dari Birokrat Menulis menanyakan hal-hal sebagai berikut:

  • Apakah dasar kebijakan Pemerintah tidak menaikkan gaji PNS tahun ini?

Jawaban narasumber: Pada intinya agar beban Pemerintah tidak semakin berat pada saat pensiun nanti karena gaji pokok semakin tinggi.

  • Mengapa tunjangan kinerja seorang PNS hanya dikaitkan dengan disiplin, apakah tidak ada indikator lain misalnya SKP untuk juga dikaitkan dengan tunjangan kinerja?

Jawaban narasumber: Memang menyatakan bahwa absensi kehadiran adalah salah satu indikator yang dipakai namun pada dasarnya sudah mulai dilakukan mengaitkan dengan aspek lain yaitu capaian kinerja. Di Ditjen Pajak misalnya, apabila tidak tercapai target penerimaan pajak maka akan mempengaruhi tunjangan kinerja yang diterima.

  • Apa dasar pertimbangan KASN akan dihapus dan pengalihan fungsi Komite ASN kepada Menpan RB?

Jawaban narasumber: Hal ini masih terus digodok dan belum fixed.

  • Siapa yang dapat membela PNS dalam kondisi terkriminalisasi pada saat menjadi whistle blower?

Jawaban narasumber: PP No. 11/2017 mengatur secara jelas perlindungan PNS pada saat menghadapi masalah-masalah.

  • Bagaimana menyikapi rangkap jabatan terkait mogok bersama pejabat pengadaan di Jawa Timur yang sangat mengganggu kelangsungan birokrasi?

Jawaban narasumber: Pasal 53 PP No. 11/2017 juga mengatur mengenai rangkap jabatan bagi PNS.

Sunarjo (Perkumpulan IDEA) yang menanyakan, apakah Pemda melakukan analisis kebutuhan terkait kebutuhan PNS? Faktanya beberapa PNS di SKPD ada yang menganggur?

Jawaban narasumber: Diakui sebagian PNS sekarang masih merupakan warisan sistem seleksi sebelumnya. Ke depan seleksi PNS semakin terbuka dan transparan. Selain itu formasi jabatan didasarkan pada kualifikasi jabatan termasuk kualitas sertifikasi profesi yang semakin dicermati.

Hanyut dalam serunya sesi tanya jawab, tidak terasa sudah saatnya Ishoma, dan sebelum mengakhiri sesi pertama, moderator memberikan pokok-pokok hal penting sebagai berikut:

  • Pemerintah inginkan orang-orang terbaik menjadi PNS;
  • Fakta sampai dengan saat ini profil komposisi dan struktur PNS belum merata;
  • Daya saing PNS Indonesia yang mash rendah, serta daya saing daerah menjadi persoaaln strategis;
  • Potensi permasalahan apabila 490 ribu honorer menjadi PNS antara lain adalah beban anggaran Pemerintah yang membengkak sebesar Rp 25 Triliun, hilangnya kesempatan mendapatan PNS terbaik hasil seleksi dari jutaan warga negara yang menginginkan menjadi PNS,serta kualitas layanan publik berpotensi menurun.

Setelah Ishoma terutama peserta yang sudah disegarkan dengan makan siang, sesi kedua dimulai dengan menghadirkan Bapak Laode Rudita yang menyajikan RPP Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada intinya, konsep ini juga diterapkan oleh negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jerman dan Australia yaitu berupaya memperkuat PNS dengan tenaga profesional di luar PNS. Syarat penting yang harus dilakukan adalah pengadaan harus berdasarkan penetapan kebutuhan dan dilakukan secara terbuka bagi siapapun yang memenuhi kualifikasi dan transparan.

Jabatan yang dapat diisi oleh PPPK adalah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Utama, JPT Madya, dan juga termasuk Jabatan Fungsional (JF) Ahli Utama. Hanya JPT Pratama (Selevel eselon 2) yang tidak dapat diisi oleh PPPK. Perlu digarisbawahi bahwa Jabatan Fungsional, JPT Madya, dan JPT Utama sebagaimana dimaksud dikecualikan di bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan keuangan dan bidang lain yang ditetapkan Presiden.

Isu strategis lainnya dalam PPPK ini adalah PPPK juga harus melakukan sumpah jabatan (Pasal 23 g), terutama PPPK harus memegang teguh rahasia negara.

Sesi tanya jawab di sesi PPPK ini memunculkan beberapa pertanyaan antara lain:

Setyo Nugroho, wakil dari Birokrat Menulis menanyakan beberapa hal:

  • Bagaimana menjamin bahwa seleksi PPPK ini benar-benar terbuka dan transparan sehingga mendapatkan PPPK yang sesuai harapan?

Jawaban narasumber: RPP ini memastikan bahwa proses seleksi mulai dari perencanaan kebutuhan, pengumuman, dan mekanisme seleksi dilaksanakan secara terbuka dan transparan termasuk menyertakan dari Menpan dan BKN dalam Tim Panitia Seleksi. Laporan rekam jejak kandidat PPPK dari masyarakat juga diakomodir untuk menjamin PPPK terpilih benar-benar memiliki integritas dan kompetensi yang diharapkan.

  • Bagaimana upaya yang dilakukan agar PPPK terpilih bisa memberikan professionalism yang dimilikinya termasuk mengatasi kendala-kendala termasuk kendala budaya dari lembaga Pemerintah tempat PPPK tersebut mengabdi?

Jawaban narasumber: Pada intinya PPPK ini merupakan sebuah proses menuju arah yang lebih baik, sehingga kemungkinan kendala PPPK terkendala dalam memberikan kinerjanya secara optimal selalu ada. Namun perbaikan berbagai sistem terkait diharapkan proses menuju optimalisasi PPPK ini semakin baik.

Sunarjo dari IDEA yang menanyakan aspek perilaku dan kompensasi PPPK.

Jawaban narasumber: PPPK adalah Aparatur Sipil Negara sehingga harus tunduk dan taat pada aturan perilaku dan kode etik ASN. Terkait kompensasi, PPPK menerima kompensasi sebagaimana layaknya JPT Utama dan Madya lainnya, hanya saja untuk secara formal PPPK tidak mendapatkan pensiun kecuali PPPK mengupayakan sendiri dengan menyisihkan penghasilannya untuk ikut dalam program pension.

Sore menjelang, waktu jua yang membatasi serunya Diskusi Publik tentang PP 11/2017 dan RPP PPPK ini. Pukul 4.30 sore, diskusi publik ditutup oleh Bapak Agus Pramusinto dari Isipol UGM. Dalam sambutannya Bapak Agus justru memberikan challenge kepada kita semua, mengapa PPPK harus dibatasi Warga Negara Indonesia saja? Kenapa kita tidak bisa merekrut tenaga ahli dari asing untuk memajukan universitas? Challenge yang sangat menarik namun kendala aspek financing sepertinya sudah terbayang jelas. All in all, semoga birokrasi pemerintah semakin berkualitas dalam memberikan layanan publik yang semakin prima yang pada akhirnya masyarakat lah yang merasakan manfaat dari PP 11/2017 dan beberapa PP yang akan terbit dalam waktu dekat ini.

 

*) Dilaporkan oleh Setyo Nugroho (pegawai Tugas Belajar BPKP di UGM)

Paradigma Statis dan Intervensi Yang Dapat Berujung Pada Kriminalisasi

Paradigma Statis dan Intervensi Yang Dapat Berujung Pada Kriminalisasi

Tulisan ini merupakan refleksi dari pokok-pokok pikiran yang dihasilkan pada diskusi CAFE APPI yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) DPW Sumatra Utara pada 21 April 2017 di Medan dengan tema: “Kriminalisasi Pengadaan Barang dan Jasa, Paradoks Pembangunan Ekonomi dan Penegakan Hukum,” Dari diskusi itu, pikiran saya kembali melayang pada kriminalisasi pengadaan secara empiris.

Pengadaan barang/jasa mengalami perubahan mendasar dari cara sebelumnya yang masih manual saat LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) dilaunching pada tahun 2010.  Pelelangan secara elektronik atau dengan kata lain tender online juga secara tegas sudah diwajibkan dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah paling lambat tahun 2012. Pada pelelangan secara elektronik, seluruh tahapan pelelangan dilaksanakan secara elektronik, atau dengan kata lain, tender online.

Namun perubahan itu hanya berputar pada metode pelelangan semata, sedangkan perilaku dan atmosfer pengadaan tidak mengalami perubahan yang berarti.

Paradigma yang Belum Berubah

Pada pelaksanaan pelelangan online, seluruh perusahaan dari Sabang sampai Merauke bisa memasukkan penawaran. Persaingan menjadi begitu bebas. Praktisi pengadaan dihadapkan pada ketidakberdayaan untuk melakukan penyimpangan mengingat semua dokumen bersifat online dan mengendap secara permanen pada sistem LPSE. Dengan kata lain tak bisa diutak-atik. Namun perilaku sebagian peserta lelang masih berparadigma lelang manual.

Apabila mereka kalah dalam pelelangan, dianggapnya sebagai hasil permainan dan kecurangan untuk memenangkan perusahaan tertentu. Akibatnya, dengan atau tanpa melalui mekanisme sanggahan, terjadilah proses pengaduan kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Padahal, dalam Perpres nomor 54 tahun 2010, ada mekanisme pengaduan kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) bagi peserta yang merasa tidak puas.

Sementara itu, pemahaman yang nyaris sama juga masih terjadi di kalangan birokrasi, terutama yang memiliki power yang lebih kuat daripada praktisi pengadaan. Mereka biasa melakukan intervensi kepada praktisi pengadaan, demi memenangkan perusahaan tertentu dalam pelelangan.

Intervensi dan Kriminalisasi

Sifat pelelangan online yang permanen tidak bisa mengakomodir permintaan dan intervensi birokrasi. Akibatnya birokrasi menganggap bahwa praktisi pengadaan sebagai anak buah yang tidak patuh, tidak loyal, dan tidak bisa menjalankan perintah atasan. Pada akhirnya, jabatan yang dimiliki oleh praktisi pengadaan menjadi goyah dan tak jarang jabatan harus dilepaskan.

Kriminalisasi dan ketidakstabilan jabatan membuat PNS tidak berminat berkiprah di bidang pengadaan barang/jasa. Pada periode 2015-2016 sebagai puncak dari kriminalisasi pengadaan ditandai dengan penyerapan anggaran terendah dalam sejarah bangsa ini. Hal itu membuat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan menjadi gerah dan harus mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kajati se-Indonesia pada selasa tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara Jakarta.

Pada pengarahannya Presiden memberikan Instruksi antara lain: diskresi tidak boleh dipidanakan, administrasi tidak boleh dipidanakan, kerugian negara yang ditetapkan BPK diberi peluang pengembalian selama 60 hari, kerugian negara harus konkrit dan tidak mengada-ada, dan terakhir tidak diekspos ke media secara berlebihan sebelum dilakukan penuntukan. Namun, pada kenyataannya masih ada APH yang tidak mematuhi instruksi presiden tersebut.

Rekomendasi Reflektif

Dari uraian singkat di atas, menurut saya ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam mencegah adanya intervensi dan kriminalisasi dalam pengadaan barang dan jasa, yaitu:

  1. Kontak langsung dan hubungan kedinasan birokrasi sebaiknya tidak lagi ada. ULP sebaiknya dilepaskan dari hubungan birokrasinya. Dengan kata lain ULP harus independen. Hal ini hanya bisa dicapai apabila ULP dikendalikan secara nasional oleh LKPP atau Kementerian Dalam Negeri. Permohonan tender disampaikan oleh PPK kepada ULP Nasional. ULP Nasional menugaskan personil membentuk tim pokja pengadaan yang unsurnya dari luar propinsi asal PPK dan keanggotaannya dirahasiakan dan tidak dipublikasikan. Dengan demikian intervensi peserta lelang dan intervensi birokrasi bisa dihilangkan.
  2. Perlunya internalisasi instruksi presiden ke dalam berbagai UU di bidang penegakan hukum, seperti UU Tipikor, UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHP dan lain sebagainya. Demikian juga perlu interkoneksi dari berbagai UU di bidang penegakan hukum tersebut dengan UU Administrasi Pemerintahan. Dalam hal ini harus ada pihak yang mengambil inisiatif untuk uji materi seluruh UU penegakan hukum tersebut ke Mahkamah Konstitusi sehingga seluruh UU penegakan hukum tersebut selaras dan searah dengan Instruksi Presiden dan UU Administrasi Pemerintahan.
  3. Perlunya pembentukan Asuransi Pengadaan. Asuransi Pengadaan ini memiliki mekanisme kerja menyerupai BPJS Kesehatan di mana setiap praktisi pengadaan yang telah membayar premi asuransi pengadaan apabila mengalami permasalahan hukum di bidang pengadaan otomatis akan mendapat layanan advokasi hukum mulai dari pemanggilan pertama sampai pada fasilitas saksi ahli di berbagai keahlian di pengadilan.
  4. Pembentukan Penyidik Pengadaan. Selama ini kita kenal adanya Saksi ahli Pengadaan yang direkrut oleh LKPP secara nasional. Ada juga Saksi Ahli Pengadaan pribadi non-LKPP. Perlu juga dikembangkan Penyidik Pengadaan yang bisa direkrut dari mantan praktisi pengadaan yang telah berpengalaman sebagai mitra kerja APH dalam melakukan proses penyidikan dan penyelidikan. Keberadaan Penyidik Pengadaan bisa mengarahkan APH agar tidak larut dalam pidanaisme.
  5. Rekrutmen praktisi pengadaan ke dalam KPK. Akan sulit bagi KPK untuk merumuskan program pencegahan korupsi di bidang pengadaan barang/jasa apabila personil KPK di bidang pencegahan justru minim pengalaman di bidang pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu perlu kiranya KPK merekrut para veteran pengadaan untuk memperkuat tim pencegahan korupsi di bidang pengadaan barang/jasa. Karena sebagaimana adagium yang menyatakan bahwa hanya para mantan pelaku yang paham bagaimana mencegah terulangnya kesalahan.

Saya sungguh berharap mudah-mudahan refleksi singkat ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran terhadap perkuatan pengadaan barang/jasa dalam upaya percepatan pembangunan nasional.

Salam reformasi.

 

 

0
0