Sebuah Refleksi: Perlukah Perencana Berpengalaman Sebagai Pelaksana?

Sebuah Refleksi: Perlukah Perencana Berpengalaman Sebagai Pelaksana?

Pada suatu kesempatan berdialog dengan praktisi perencanaan strategis, yang sekarang menjabat sebagai Kakanwil di salah satu kementerian, saya mendapat pencerahan yang berbeda dari pemahaman umum terkait pelaku perencanaan dalam suatu proses manajemen.

Beliau berpendapat bahwa, “meskipun proses manajemen dimulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), serta pengendalian (controlling), namun seorang perencana yang handal dituntut pernah menjalani proses lainnya terlebih dahulu”.

Dengan kata lain untuk menjadi perencana yang baik, maka seseorang perlu memahami terlebih dulu suasana suatu pekerjaan di lapangan. Disyaratkan pernah melakukan mobilisasi sumber daya serta berpengalaman dalam pengendalian suatu proyek.

Terus terang pemahaman seperti itu baru untuk saya yang masih muda, meskipun sudah 15 tahun di birokrasi pemerintahan, dengan  pengalaman yang didominasi oleh kegiatan merencanakan baik jangka pendek maupun jangka menengah di suatu kementerian.  Saya sangat terusik, namun saya dapat merasakan poin penting dari perlunya pengalaman seperti yang disampaikan Beliau.

Selama ini saya berpandangan bahwa seorang manajer publik yang baik harus memahami perencanaan terlebih dahulu barulah mumpuni dalam eksekusi. Harus mengerti “hulu” terlebih dahulu sebelum meniti ke “hilir”.

Mungkin, saya salah kaprah memaknai bahwa proses manajerial itu berjalan satu arah yang dimulai dari pemahaman perencanaan (sampai ke pengendalian) sebagai langkah awal sekaligus kemampuan yang pertama yang harus dimiliki manajer publik.

Seperti ungkapan Benjamin Franklin, mantan Presiden Amerika Serikat, “failing to plan is planning to fail”. Gagal merencanakan adalah merencanakan kegagalan. Ungkapan ini seolah menegaskan bahwa perencanaan itu menjadi sangat penting dan utama.

Menurut saya, tidak ada yang salah dengan pernyataan Beliau itu, hanya saja kita –saya barangkali– cenderung melihat perencanaan sebagai sebuah proses, bukan pada perencananya sendiri, bukan kepada kapabilitas aktor atau pelaku perencanaannya.

Tetapi sebelum membahas lebih lanjut pelaku perencanaan lebih detail, saya perlu menegaskan bahwa fungsi perencanaan dalam bahasan ini berlaku untuk perencanaan dalam hal apa saja. Apakah itu perencanaan keuangan, perencanaan kinerja, perencanaan SDM, perencanaan organisasi, perencanaan audit, atau perencanaan IT. Bahkan perencanaan dalam konteks kehidupan sehari-hari yang sangat sederhana yang menuntut perlunya persiapan seperti perencanaan pernikahan, atau memilih sekolah anak.

Mungkin tidak lazim, ketika merencanakan liburan ke “la la land”, kita bertanya ke mereka yang belum pernah mengunjungi “la la land”. Atau, menanyakan hal-hal penting yang perlu disiapkan untuk mendapatkan beasiswa kepada orang yang belum pernah mengikuti seleksi.  Akan sangat tepat jika kita menanyakannya kepada mereka yang berhasil memperoleh beasiswa (cerita sukses) atau pun yang gagal (hikmah), atau bahkan menanyakan kepada penyelenggaranya (pengorganisasi atau pengendali seleksinya).

Saya yakin sampai di kalimat ini, Anda lebih mudah meyakini memang benar seorang perencana perlu menguasai medan perangnya, pernah merasakan emosi pelaksanaannya, dan kemudian mampu merangkaikan pengalaman tersebut menjadi ilmu yang bermanfaat dalam perencanaan. Seperti kata filsuf dari Tiongkok, SunTzu, “kenali musuhmu” menjadi faktor  yang penting dalam memenangkan medan peperangan.

Apabila kemudian kita sepakat bahwa perencanaan itu adalah fungsi yang sangat vital yang didukung oleh pengalaman nyata, maka pertanyaan praktisnya apakah dengan demikian para perencana yang belum berpengalaman perlu digantikan dengan mereka yang berpengalaman dalam bidangnya?

Tentu sulit untuk melakukan hal tersebut karena biayanya pasti akan besar sekali dan belum tentu benar.  Dan kenyataannya ada saja hal-hal baru dalam suatu bidang yang tentunya masih sulit menemukan orang-orang yang berpengalaman dalam bidang baru tersebut. Dalam konteks ini perencana dituntut malah melihat ke depan bukan ke belakang.

Meskipun ada juga yang berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam praktik birokrasi –karena bisa meniru praktik di organisasi lain, di sektor swasta misalnya, atau bahkan mengadopsi dari negara lain terutama negara maju–, tetapi pendapat itu perlu diuji karena harus menyesuaikan banyak faktor di institusi atau negara yang mengimplementasikan.

Juga pertanyaan penting lainnya, apakah seorang perencana harus mengalami langsung suatu pekerjaan? Karena ada juga pengalaman yang tidak mungkin dirasakan oleh suatu perencana aktivitas tertentu. Misalnya, pekerjaan memberantas korupsi. Apakah seorang perencana kegiatan anti-korupsi perlu mengalami sendiri melakukan kegiatan korupsi? Sepertinya, tidak harus demikian, bukan?

Dengan demikian, apakah hal itu tidak bisa digantikan dengan bentuk sumber informasi dari pengalaman orang lain yang kemudian dibakukan, dan dibukukan sebagai praktik-praktik terbaik (juga terburuk). Semacam panduan (do dan don’t) atau semacam knowledge management? Dalam ranah personal misalnya, tidak semua orang harus pernah menikah terlebih dahulu untuk bisa merencanakan pernikahan yang lebih baik. Ada semacam pengetahuan umum yang bisa diperoleh berdasarkan pengalaman orang lain.

Tentu dalam pemberantasan korupsi, hal yang sama dapat diperoleh dari pengalaman para koruptor yang harusnya bisa jadi masukan untuk perencanaan kegiatan anti-korupsi yang lebih efektif atau dalam rangka perbaikan suatu sistem.

Bagaimana dengan sektor publik lainnya? Misalnya bidang pendidikan, apakah perencana di sektor pendidikan perlu turun langsung (bukan jalan-jalan perjalanan dinas loh)? Apakah para perencana pendidikan itu harus mengalami pahit getirnya tenaga pengajar di kawasan pinggiran atau pulau terluar untuk bisa membuatkan perencanaan yang efektif? Atau justru para tenaga pengajar tersebut yang menjadi perencana untuk aktivitas belajar mengajar mereka yang tentunya unik dan penuh tantangan dan dihadapi sehari-hari? Mereka lebih tahu kebutuhan mereka di lapangan, bukan?!

Tulisan singkat ini tentu saja belum sanggup menguraikan sebuah solusi. Hanya kiranya menjadi refleksi bagi para perencana untuk sektor publik dalam merencanakan suatu aktivitas untuk melihat urutan yang berbeda atas proses manajerial. Tidak selalu linear dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai ke pengendalian.

Menemukan “kebutuhan” di lapangan untuk dituangkan dalam “dokumen” perencanaan tentunya penuh tantangan dan kaya perspektif. Konsep perencana yang “berpengalaman” tentunya dapat dimaknai sebagai pengalaman langsung maupun tidak langsung sesuai konteks bidang yang kita jalani. Perencana yang berpengalaman juga dibenturkan dengan tantangan memprediksi masa depan yang tentunya belum satu orang pun pernah berpengalaman menjalani masa depan.

Bagaimana dengan pengalaman dalam bidang yang Anda geluti? Apakah Anda menemukan perencanaan yang miskin “pengalaman” namun kaya “asumsi”? Bila Anda seorang perencana, sudahkah Anda membawa “pengalaman” dalam dokumen perencanaan  yang Anda susun?

Selamat merencanakan!

 

 

1
0
Mengenal Sosok  Rini Widyantini  (Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN dan RB)

Mengenal Sosok  Rini Widyantini (Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN dan RB)

Ada tiga isu besar reformasi birokrasi di bidang kelembagaan dan tata laksana. Isu-isu tersebut terkait penataan organisasi Lembaga Non Struktural (LNS), pemetaan bisnis proses instansi pemerintah, dan penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik. Berbicara tentang tiga isu tersebut  tentu sosok Rini Widyantini, SH, MPM adalah sosok yang berperan besar dalam mewujudkan tiga hal tersebut.

Banyak wanita yang cantik dan ramah. Namun sosok yang satu ini selain cantik dan ramah, juga pintar.  Saat ini ia memegang posisi yang sangat strategis di pemerintahan sebagai Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN dan RB. Di antara tugas penting yang diemban kedeputian ini adalah bagaimana membangun organisasi yang tepat ukuran, tepat fungsi, dan tepat proses.

Suatu pagi saya menyempatkan berdiskusi dengan wanita kelahiran Bandung ini. Wanita yang suka bercanda ini menyelesaikan program S1 di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1988. Selepas merampungkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, pada tahun 1990 ia pun memutuskan menjadi PNS di lingkungan Sekretariat Negara.

Dalam bekerja, Rini  demikian ia  biasa disapa,  dikenal  penuh dedikasi, sangat loyal, dan bekerja total. Bekerja dan memimpin rapat hingga malam merupakan hal yang jamak dilakoninya. Bekerja dengan penuh dedikasi inilah yang mendorong karirnya  cepat melesat.  Puncak karir sebagai PNS berhasil diraihnya dalam hitungan 22 tahun. Bermula pada tahun 2012 penggemar rujak ini dilantik menjadi staf ahli bidang hukum di Kementerian PAN dan RB, sebuah jabatan setara eselon Ib. Tak lama berselang kemudian ia dipromosikan lagi menjadi  Deputi Kelembagaan di Kementerian PAN dan RB pada tahun 2013.

Ternyata di bulan Juni 2013 Deputi Tata Laksana meleburkan diri dan bergabung dengan Deputi Kelembagaan. Maka gabungan dari deputi ini menjadi Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana dan kepemimpinan di kedeputian baru tersebut dipercayakan kepada Rini Widyantini. Jabatan dipercaya Rini sebagai amanah besar untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Meskipun Rini tak pernah mencita-citakan sampai ke titik ini, namun tugas berat itu saat ini telah disandangnya.

Meski menyandang tugas yang amat berat, namun tak mengurangi canda segar di kesehariannya. Rapat hingga tengah malam pun tetap diselingi dengan guyonan-guyonan segar. Untuk melepas jenuh, wanita kelahiran 29 Mei 1965 ini juga masih menyempatkan berolah raga. Maka tak salah jika di usia yang sudah 50 tahun  Rini masih kelihatan awet muda.

Selain bicara pentingnya dukungan keluarga, Rini juga mengaku bahwa keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh dukungan tim yang solid. Makanya ia tahu persis bagaimana membagi dan mendelegasikan pekerjaan sesuai kemampuan dan kompetensi pegawai yang dipimpinnya.

Selama memimpin di Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana, hal yang begitu sering ia tekankan adalah masalah integritas. Maka di berbagai kesempatan ia berulang kali menyebut integritas, integritas, integritas. Integrity is a must.  Selain integritas, hal lainnya yang sering ditekankan untuk para bawahannya yaitu bekerja penuh dedikasi dan senantiasa menjaga kekompakan.

Dengan masa pengabdian yang cukup panjang maka alumni Public Policy Management Flinders University ini tentu punya masa depan yang lebih cemerlang untuk berkiprah di pemerintahan. Namun menurutnya itu bukan hal yang penting. Beliau sudah sangat bersyukur diberikan kepercayaan mengabdi di pemerintahan sebagai Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN dan RB.

Ditemani teh tarik dan cemilan kami pun berdiskusi tentang beberapa hal. Dalam diskusi pagi yang cukup hangat itu, Rini berbicara tentang tugas yang diembannya saat ini. Tugas menata organisasi khususnya penataan Lembaga Non Struktural (LNS). Menurutnya hingga saat ini LNS  tidak sedikit jumlahnya yaitu mencapai 106 LNS. Meskipun pada akhir tahun 2016 yang lalu sekitar 9 LNS sudah dibubarkan oleh Presiden Jokowi, namun keberadaan LNS baru kadang sulit dibendung.

Sebabnya adalah adanya amanat UU terkait pembentukan LNS menjadi sesuatu yang sulit untuk membendungnya. Penataan LNS harus terus menjadi perhatian agar pembentukannya dapat dikendalikan. Menurutnya semua urusan di pemerintahan semestinya sudah dibagi habis di Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah. Sebenarnya, terbentuknya LNS-LNS itu diharapkan dapat mempercepat laju kerja di pemerintahan, bukan justru malah membuat  tumpang tindih tugas dan fungsi dengan Kementerian dan Lembaga yang telah ada. Dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian dan Lembaga sesuai mandat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang akan terwujud organisasi pemerintah yang efektif dan efisien. Hal ini juga untuk menghindari pemborosan kewenangan, ujarnya lagi.

Meskipun menjadi wanita karir yang sangat sibuk, mottonya adalah keluarga tetap menjadi prioritas. Di hari libur ia selalu menyempatkan waktu bersama keluarga. Menurutnya, dukungan keluarga merupakan salah satu modalnya hingga sampai di posisi saat ini.

 

 

2
0
Cara Jitu Mengatasi Problematika Pemerintahan

Cara Jitu Mengatasi Problematika Pemerintahan

Pemerintahan adalah serangkaian kegiatan berupa keputusan maupun tindakan yang sistemik dan terstruktur untuk mengelola sumberdaya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehebat apapun tata kelola pemerintahan, apabila kesejahteraan masyarakatnya tidak beranjak atau pergerakannya lambat maka patut diduga pemerintahan itu gagal.

Keterbatasan sumber daya dalam mengelola pemerintahan bukanlah alasan bagi pemimpin pemerintahan untuk berkelit. Karena sumpah jabatan dan karena eksistensinya sebagai yang terutama dari yang utama (primus interpares), pemimpin pemerintahan harus mampu menggerakan roda pemerintahan untuk mengejar ketertinggalan dan mewujudkan semua harapan masyarakat. Seberat apapun permasalahan yang dihadapi, pemimpin pemerintahan harus mampu memberikan solusi.

Pertanyaannya, bagaimana mengatasi problematika pemerintahan yang kompleks di tengah keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia, alam, keuangan maupun yang lainnya? Sebuah pertanyaan substansial yang bisa kita jawab dengan pendekatan yang sederhana tapi mengena, yakni dengan cara mencari pengungkitnya.

Ibarat sebuah truk dengan beban 8 ton, tidak mungkin diangkat dengan alat yang lain kecuali dengan dongkrak yang beratnya hanya 5 kg. Kecil tapi bisa mengungkit yang besar. Demikian juga dalam mengatasi berbagai permasalahan pemerintahan, tidak sepatutnya kita menghambur-hamburkan anggaran di tengah kesulitan ekonomi. Kita harus mampu menemukan pengungkitnya.

Mulailah dengan menentukan satu masalah inti yang akan dijadikan pengungkit. Apabila masalah inti dapat diatasi maka masalah lainnya secara bertahap akan terurai dan pada akhirnya akan terselesaikan. Bisa jadi masalah inti yang dijadikan pengungkit tersebut bukanlah masalah besar, mungkin hanya masalah kecil tapi berdampak besar. Karena itu patokan utama dalam menentukan masalah inti adalah pengaruhnya, sejauh mana masalah tersebut mempengaruhi maupun dipengaruhi masalah lainnya.

Dalam sebuah sistem, termasuk sistem sosial, tidak ada permasalahan yang berdiri sendiri. Setiap persoalan selalu dan saling berkelindan erat dengan yang lainnya. Problematika pemerintahan adalah bagian dari permasalahan sosial. Janganlah berpikir parsial, melihat persoalan hanya dari satu sudut pandang. Berpikirlah sistemik, satu persoalan dengan yang lainnya pasti ada benang merah. Satu dengan yang lainnya pasti saling terhubung. Mengungkit masalah inti, sejatinya mengangkat dan menyelesaikan permasalahan lainnya. Itulah cara jitu mengatasi problematika pemerintahan. (Jatinangor, Sabtu  11/03).

 

 

0
0