Indahnya Berpemerintahan

Indahnya Berpemerintahan

Mengelola pemerintahan itu sejatinya bukan hanya mudah, tetapi juga indah, selama kita melakukannya dengan melibatkan hati dan penuh cinta. Laksana sejoli yang sedang memadu cinta, bawaannya gembira, rela berkorban, berani mengambil resiko dan sarat kreativitas.

Serasa dunia milik berdua, begitu kata pujangga.

Pun demikian dalam berpemerintahan. Tatkala pemimpin dan rakyatnya saling mencintai dan mengasihi, maka akan tumbuh gairah untuk saling menjaga dan menguatkan. Semua komponen akan gembira menjalani peran masing-masing walaupun banyak kesulitan, rakyat akan rela berkorban untuk suksesnya pembangunan, demikian juga dengan pemimpin akan merasa bangga mengambil resiko tertinggi demi kesejahteraan rakyatnya.

Jangan ditanya urusan kreativitas. Hadirnya hati dan cinta dalam berpemerintahan akan menstimulasi imajinasi pemimpin dan rakyatnya untuk melahirkan karya terbaik. Bahkan hal yang tidak mungkin sekalipun, dengan kreativitas bersama akan menjadi kenyataan. Terobosan-terobosan “gila” yang diluar nalar sekalipun akan bermunculan untuk mengejar kertinggalan.

John Kotter dalam bukunya “The Heart of Change” menyampaikan bahwa 70 % organisasi yang melakukan perubahan mengalami kegagalan karena hanya menggunakan “otak”, tanpa melibatkan “hati”. Hal tersebut bisa dipahami karena setiap perubahan, terlebih perubahan radikal, pasti membutuhkan energi lebih dan kesadaran ekstra.

Logika dengan kalkulasi dan keterukurannya tidak mungkin memenuhi hal demikian. Hanya hati yang bisa menjawabnya karena kedalaman rasa tidak ada batasnya. Di sanalah kita akan menemukan indahnya berpemerintahan, di saat pemimpin dan rakyatnya memiliki energi lebih dan kesadaran ekstra karena hati dan cinta hadir di antara mereka.

 

 

1
0
Birokrat Penyeru Kebenaran: Kenapa Harus Takut?

Birokrat Penyeru Kebenaran: Kenapa Harus Takut?

“Keberanian itu mengalir begitu saja dari dalam diri saya. Otomatis saya akan langsung berontak ketika mengetahui ada kecurangan dan ketidakadilan di sekitar saya.

Demikian pernyataan tegas dari Pak Mur (sapaan akrab Murdiyanto) ketika saya berkesempatan menemuinya di suatu pagi (3/6/2015) di ruang kerjanya selaku kepala sekolah SMPN 1 Bulu, Sukoharjo. Dari perbincangan empat mata tersebut, saya dapat merasakan spirit dan kepercayaan diri yang luar biasa pada figur ayah tiga anak tersebut.

Murdiyanto adalah sosok birokrat pemberani. “Keberanian” dan “kepercayaan diri” melawan ketidakadilan telah menjadi prinsip hidup yang dipegang teguh oleh Murdiyanto. Keberaniannya melawan ketidakadilan telah ditunjukkannya sejak awal diangkat menjadi guru CPNS di SMPN 2 Bumiayu Brebes. “Saya pernah melaporkan kepala sekolah saya ke Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah karena kepala sekolah saya sangat keterlaluan. Waktu itu banyak tenaga honorer yang dipekerjakan dirumahnya, banyak peralatan sekolah yang dibawa pulang dan gaya bicaranya sangat tidak mendidik”, ungkapnya mengenang kisah lamanya saat masih menjadi CPNS pada tahun 1987.

Puncaknya, Murdiyanto menjadi peniup peluit (whistleblower) sekaligus membuka mata publik tentang adanya praktik pungutan liar (pungli) terhadap para guru penerima tunjangan sertifikasi guru se wilayah kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah yang melibatkan sejumlah oknum pejabat Dinas Pendidikan Sukoharjo.

Sayangnya, ketika Murdiyanto mulai bergerak cepat melaporkan ke berbagai pihak justru dukungan dari para rekan guru yang menjadi korban pungli justru meredup. Entah kenapa, tiba-tiba koleganya bungkam dan diam seribu kata ketika diminta keterangan oleh aparat penegak hukum. Pil pahit harus dia telan, alih-alih menggalang dukungan justru tekanan, perlawanan balik, interogasi dan teror dari beberapa oknum petinggi dinas harus dialami Murdiyanto. Bahkan, Murdiyanto pernah didesak beberapa elit pejabat daerah untuk mencabut pernyataan yang pernah dilontarkan dirinya di depan anggota DPRD dan para wartawan. Pengalaman “dikucilkan” ke sekolah terpencil pun pernah dijalaninya. Murdiyanto menduga mutasi janggal tersebut ada korelasinya dengan sikap kritis dirinya yang seringkali berseberangan dengan kebijakan orang nomer satu di kabupaten Sukoharjo pada saat itu.

Pada awalnya, pelaporan Murdiyanto tidak mendapatkan respon serius dari pihak aparat penegak hukum (APH). Namun hal ini tidak lantas memadamkan semangatnya. Murdiyanto terus bergerilya turun ke jalan untuk meraih kepercayaan dan dukungan publik. Murdiyanto membeberkan kasus ini ke salah satu koleganya anggota DPRD. Cara lain yang ditempuhnya adalah melakukan jumpa pers dengan para awak media hingga memanfaatkan kekuatan media sosial untuk mendulang simpati dan dukungan para netizen. Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya dukungan berbagai elemen masyarakat mampu mendesak aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan kasus pungli hingga berujung pada dijebloskannya beberapa oknum pungli ke balik jeruji penjara.

Selain Murdiyanto, di kesempatan lain saya berhasil menjumpai beberapa tokoh whistleblower lain untuk memintanya berbagi kisah yang pernah dialaminya. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah Muchasonah dan Andrea Amborowatiningsih (Ambar). Muchasonah adalah ibu guru pemberani dari Jombang yang merupakan whistleblower yang berani bersuara lantang membongkar berbagai tindakan korup dan kecurangan lainnya di tempatnya mengabdikan diri menjadi seorang pendidik yaitu di lingkungan Kantor Departemen Agama Jombang dan beberapa madrasah tsanawiyah (MTsN). Konsekuensi dari sepak terjangnya tersebut, Muchasonah harus mengalami berbagai perlakukan tidak adil, dari mulai di-staf-kan di sebuah kantor urusan agama sampai pada penundaan kenaikan pangkat hingga bertahun-tahun lamanya.

Adapun Andrea Amborowatingsih atau yang biasa dipanggil Ambar adalah srikandi pemberani dari Solo yang meradang ketika mengetahui adanya pemalsuan dan pencurian koleksi arca di museum tempatnya bekerja. Andrea merangkul berbagai pihak khususnya para aktivis pecinta benda-benda bersejarah untuk membongkar kasus tersebut. Apa yang dialami Ambar tidak kalah seru dibandingkan kedua tokoh sebelumnya. Ambar kerap mendapat ancaman akan dibunuh oleh beberapa pihak yang menerornya melalui telepon. Tragisnya, dalam proses pembongkaran kasus ini, harus memakan korban dengan terbunuhnya Lambang (seorang arkeolog senior) yang merupakan ketua tim pengusut kasus yang ditemukan terbunuh pada suatu dini hari di pinggir jalan lingkar utara Yogya. Ketiga tokoh diatas adalah contoh dari beberapa tokoh birokrat yang memiliki keberanian menyuarakan kebenaran yang tak mengenal takut meskipun risiko besar menghadang di depan.

Keberanian menyuarakan kebenaran, meskipun pahit dan menyakitkan sebagaimana ditempuh ketiga tokoh dan figur-figur lainnya dikenal dengan istilah Parrhesia. Istilah ini bermula dan diambil dari tradisi para filsuf kaum Stoa yang menjadikan kebiasaan ini sebagai jalan hidup (way of life) yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari mereka, bahkan sampai harus mengorbankan hidup mereka sendiri di bawah ancaman moncong kekuasaan (Michel Foucault, Hermeneutics of Subject).

Yang menarik, pada awalnya tradisi ini justru dipraktikkan secara intensif di jalanan, di pasar-pasar, hingga di tempat-tempat kumuh, tanpa harus melepaskan bobot konseptual filosofi yang diusungnya. Keunikan inilah yang kemudian diyakini sebagai philosophy on the street.

Kehidupan di jalanan sering diasosiasikan dengan segala hal yang berbau kumuh, kotor, liar, keras, ilegal, kampungan, kelas rendahan dan sebagainya. Namun demikian, di sisi lain tidak jarang dari kehidupan gelap dan keras di jalanan justru mampu menghadirkan asa dan sandaran cita-cita dan  inspirasi. Wajar saja jika kehidupan unik di jalanan ini diabadikan oleh maestro musik Indonesia Iwan Fals dalam sebuah karya lagu legendarisnya yang berjudul Bongkar,…di jalanan kami sandarkan cita-cita, sebab di rumah tak ada lagi yg diajak bicara...”

Tak jarang pula para politisi, pejabat publik, birokrat hingga pengusaha sukses memulai menapaki kesuksesan berawal dari kehidupan kerasnya di jalanan. Para aktivis dan kaum muda juga gemar menjadikan jalanan sebagai arena dalam mengekspresikan diri, dari sekedar corat-coret, kebut-kebutan hingga unjuk rasa melawan ketidakadilan sosial yang merebak di masyarakat. Dari fenomena unik di jalanan ini pula kemudian muncul istilah ‘parlemen jalanan’.

Membongkar kebobrokan tatanan kehidupan sosial juga kerap dimulai dari jalanan, dari mulai melumpuhkan para pelaku kejahatan yang mengusik rasa aman warga masyarakat, hingga melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap politisi dan pejabat publik yang korup. Membongkar kenakalan para aparatur penyelenggara negara juga sering dilakukan di jalanan.

Tak mudah memang, untuk bisa seberani Murdiyanto dkk. Namun setidaknya, sebagai birokrat kita bisa saling mengajak dan mendorong yang lain untuk tidak takut dan selalu bersikap kritis serta sigap dalam memberikan kontribusi perbaikan dalam bentuk apa pun terhadap berlangsungnya praktik tidak sehat di sekitar kita. Jangan justru selalu “manut” bahkan ikut terbawa arus.  Melakukan kritik dan  memberikan masukan kepada para pemimpin bukanlah sebuah kebencian, namun semestinya dipandang sebagai upaya keadaban warga dalam membangun nalar dan harapan bersama. Kritik dan masukan warga merupakan suatu creative fidelity yang selalu menyimpan ketulusan hormat sekaligus kreativitas dalam memecahkan banyak kebuntuan. Sikap submisif, takut, manut, asal bos senang (ABS) justru merupakan sikap yang sama sekali tidak bertanggungjawab.

Sangat disayangkan apabila demokrasi hanya melahirkan para birokrat lemah yang bisa manut (Bahasa Jawa: suka menurut; patuh) perintah ndoronya dan menyebabkan dirinya mbudeg (Bahasa Jawa: tidak tuli namun pura-pura tidak mampu mendengar) bahkan micek (Bahasa Jawa: tidak buta namun pura-pura tidak bisa melihat). Sebagai aparat, seorang birokrat boleh saja berwibawa dan sedikit jaim (jaga image), namun bukan berarti menjadikan dirinya tidak peka, tidak peduli terhadap praktik tidak sehat disekitarnya, bahkan tidak memiliki perasaan dalam menyikapi akibat yang harus ditanggung masyarakat atas bobroknya penyelenggaraan birokrasi.

Bagaimana dengan kita?

Mampukah kita meneladani Murdiyanto, Muchasonah, Ambar dan sosok-sosok birokrat pemberani yang lain? Jawabnya hanya kita sendiri yang tahu. Ketidakpekaan dan berdiamnya orang-orang baik yang mengetahui adanya kejahatan juga memberikan andil pada hancurnya sebuah sistem atau organisasi. Edmund Burke (1729-1797) pernah mengungkapkan bahwa “The only thing necessary for the triumph of evil is the goodman to do nothing” (satu-satunya yang perlu untuk kemenangan kejahatan adalah orang-orang baik yang berdiam diri).

Apa yang bisa kita perbuat? Manakala saat ini kita belum memiliki keberanian dan kemampuan melawan berbagai kecurangan yang ada dihadapan kita secara terang-terangan, setidaknya kita memiliki rasa benci terhadap praktik-praktik tidak sehat yang ada di sekitar kita. Semua agama mengajarkan umatnya untuk berani mencegah dan memerangi keburukan dan kejahatan. Dalam agama Islam, keberanian menyuarakan kebenaran dikenal istilah Asy Syaja’ah yang secara etimologi memiliki makna keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Keberanian ini memiliki tingkatan sesuai kadar keimanan masing-masing sebagaimana dikemukakan Rosulullah dalam sebuah hadistnya: “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, mari kita belajar mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai sekarang (meminjam konsep 3M-nya Aa Gym) untuk menghabituskan dan mentradisikan kebiasaan untuk mempraktikkan kebaikan dan menuturkan kebenaran. Suatu tradisi luhur yang dalam tradisi Romawi Kuno disebut sebagai Parrhesia. Semoga semakin banyak muncul parrhesian-parrhesian dalam birokrasi Indonesia seperti Murdiyanto, Muchasonah dan yang lainnya yang mampu menjadi pejuang keadilan dan menjadi garda depan penjaga integritas bangsa ini. Amin

 

 

3
0
Gambaru dan Teu Honcewang

Gambaru dan Teu Honcewang

Gempa dahsyat berkekuatan 8,9 skala richter yang diikuti tsunami dan  meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima Jepang   beberapa waktu lalu ternyata tidak mampu memporakporandakan mental masyarakat Jepang. Tidak ada keluhan dan tidak ada tangisan sedikitpun,  yang ada adalah semangat berjuang bersama untuk menghadapi dan mengatasi bencana tersebut.

Itulah semangat GAMBARU, yakni berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan. Sejak usia dini, masyarakat Jepang telah dikenalkan  dengan Gambaru dan berbagai motto perjuangan sebagai aktualisasinya, seperti: “ganbatte kudasai” (berjuang lebih baik), “taihen dakedo, isshoni gambarimashoo” (saya tahu ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama), dan “motto motto kenkyuu shitekudasai” (ayo bikin penelitian lebih dan lebih lagi).

Dengan semangat Gambaru tersebut, wajar apabila masyarakat dunia menyaksikan kebangkitan yang super cepat dari bangsa Jepang. Hanya  dalam rentang waktu 19 tahun saja sejak Hiroshima dan Nagasaki luluh  lantak, tepatnya tanggal 1 Oktober 1964 Jepang mampu membuat  kereta api tercepat di dunia (Shinkansen) yang bisa dipacu sampai 300  km/jam, mengalahkan kereta api buatan Amerika, bangsa yang sebelumnya membombardir Jepang.

Di Indonesia, khususnya di tatar Sunda juga punya semangat seperti itu. Artinya tidak kalah heroik, namanya semangat “TEU HONCEWANG”. Jargon-jargon operasional dari semangat Teu Honcewang antara lain: “cadu mundur pantang mulang mun maksud tacan laksana” (pantang menyerah dan pantang pulang kalau maksud belum terlaksana), dan “berjuang keur lemah cai, lali rabi tur tega pati” (siap berkorban sampai mati untuk tanah air).

Demikian juga di tempat lain di setiap pelosok Nusantara, pasti ada  kearifan lokal yang menyiratkan heroisme dan nyali bangsa kita untuk berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan dalam membela kebenaran dan mempertahankan harga diri. Seperti dicontohkan oleh gelegar pekikan Bung Tomo di medan pertempuran yang paling mematikan di  Surabaya, 10 November 1945, “Merdeka atau Mati !”.

Jepang dan Indonesia sejatinya memiliki kesamaan budaya. Pondasi  kehidupannya berbasis spiritualitas, bukan rasionalitas. Bahkan di Indonesia ada lebihnya, spiritualitasnya didasarkan juga nilai-nilai agama. Misal  semangat “Jihad” di kalangan umat Islam. Jadi seharusnya Indonesia kini menjadi negara yang lebih kuat dan lebih hebat daripada Jepang. Pertanyaan besarnya, mengapa hal tersebut belum terjadi? Mari kita renungkan bersama dan mari kita buktikan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa pejuang yang bernyali elang, bukan burung pipit!

 

 

0
0