Memahami Perilaku Politik Di Indonesia*

Memahami Perilaku Politik Di Indonesia*

Perilaku politisi dan pemilih adalah dua objek observasi yang sangat menarik. Transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi semu dan maraknya penggunaan media sosial dalam kampanye politik di Indonesia memberikan kesempatan untuk mengamati perilaku politik yang tak pernah ada sebelumnya. Tulisan ini akan menjelaskan strategi kampanye politik yang populer saat ini, tujuan, dan dampaknya bagi perilaku pemilih di Indonesia.

Pentingnya media sosial bagi kampanye politik di Indonesia

Penggunaan media sosial untuk kampanye politik di Indonesia meraihnya popularitasnya sejak pemilihan Gubernur Jakarta pada tahun 2012, yang dimenangkan oleh Joko ‘Jokowi’ Widodo sebagai Gubernur, berpasangan dengan Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama sebagai Wakil Gubernur. Dua tahun kemudian, strategi media sosial yang efektif turut membantu Jokowi meraih kemenangan dalam pemilihan presiden. Dan kini, media sosial sekali lagi menjadi medan pertempuran pemilihan gubernur Jakarta dengan Ahok sebagai incumbent, dengan penantang Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dalam kabinet Jokowi, dan Agus Harimurti Yudhoyono, putra pertama mantan Presiden Susilo ‘SBY’ Bambang Yudhoyono.

Data statistik menunjukkan mengapa media sosial menjadi arena penting dalam kompetisi politik di Indonesia. Dengan lebih dari 70 juta pengguna Facebook dan 20 juta pengguna Twitter, Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial paling banyak di dunia. Karenanya, memenangkan kampanye politik di dunia maya akan membantu politisi memenangkan suara dalam kontes politik di dunia nyata.

Empat strategi kampanye politik yang sedang populer

Observasi atas perilaku politisi, konsultan politik, dan para pendukung (termasuk buzzer) mereka di media sosial menunjukkan bahwa ada empat strategi kampanye politik yang saat ini populer dalam pemilihan umum di Indonesia.

Strategi pertama adalah membangun persepsi bahwa sang politikus adalah pemilih. ‘Jokowi adalah kita‘, ‘Teman Ahok’, dan ‘Kita Ahok‘ adalah tiga contoh bagaimana politisi berusaha membangun asosiasi dirinya dengan pemilih. Strategi ini berbeda dari apa yang dilakukan SBY, presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang memelopori penggunaan media sosial sebagai media untuk komunikasi politik massa. Alih-alih mengembangkan hubungan dengan pemilih, SBY justru menggunakan media sosial untuk menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

Strategi kedua adalah membangun identitas sosial dan hubungan antara pemilih, simpatisan dan pendukung. Dalam kampanye Jokowi dan Ahok, anjuran mengenakan kemeja kotak-kotak dan menempatkan nomor urut mereka sebagai bingkai pada gambar profil media sosial adalah dua contoh dari strategi ini. Strategi ini tidak hanya berhasil mendorong pemilih untuk mengungkapkan preferensi politik mereka secara terbuka, perilaku yang jarang terjadi sebelumnya, tetapi juga mendorong pemilih untuk berbagi antusiasme dan membangun hubungan sosial di antara mereka yang akan memilih politisi yang sama.

Strategi ketiga adalah membangun persepsi bahwa ‘kebaikan’ sedang melawan ‘kejahatan’. Politisi ingin menciptakan persepsi bahwa mereka adalah orang baik sementara lawan dan pengkritik mereka adalah orang jahat. Salah satu contoh dari taktik ini adalah menyebarkan meme yang berisi foto orang-orang yang kritis terhadap politisi, yang disandingkan dengan foto para terpidana kasus korupsi dan terorisme. Contoh lain adalah membangun persepsi bahwa orang-orang yang berbeda atau tidak setuju dengan politisi adalah orang-orang yang menolak demokrasi dan kebhinnekaan.

Strategi terakhir adalah membangun persepsi bahwa politisi bertindak atas nama Tuhan, agama, etnis minoritas, atau kelompok tertindas. Umumnya strategi seperti ini digunakan oleh Partai Keadilan Sejahtera, partai Islam konservatif, dalam memposisikan pemimpin partai di depan anggota dan simpatisan. Namun, belakangan strategi ini juga digunakan oleh partai politik liberal dalam mencitrakan politisi mereka di mata pemilih.

Apa tujuan dari strategi seperti ini?

Setidaknya ada tiga tujuan yang ingin dicapai dari strategi tersebut. Pertama, tentunya membangun militansi di kalangan pemilih, pendukung dan simpatisan. Pemilih yang terpengaruh strategi tersebut akan merasa sedang berjuang untuk tujuan yang mulia.

Tujuan berikutnya adalah menggerakkan pemilih dan simpatisan untuk bertindak untuk kepentingan politisi. Pendukung dan simpatisan akan lebih aktif dalam memberikan dukungan bagi politisi dan meyakinkan pemilih lainnya, baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan terakhir adalah mereduksi tingkat rasionalitas dalam menilai apakah seorang politikus layak menduduki jabatan publik atau tidak. Semakin tidak rasional seorang pemilih, semakin besar kemungkinan pemilih tersebut tidak peduli pada kritik yang ditujukan kepada sang politikus, betapa pun objektif kritik tersebut.

Dampak terhadap perilaku pemilih

Yang juga tak kalah menarik adalah mengamati perilaku pemilih. Dibandingkan dengan politik uang dan taktik lainnya, keempat strategi di atas terhitung lebih efisien dan efektif dalam membentuk perilaku pemilih. Berdasarkan pengamatan atas perilaku pemilih, simpatisan dan para pendukung, terdapat sejumlah perilaku yang menunjukkan berapa jauh seseorang terdampak strategi tersebut. Perilaku tersebut meliputi memperlakukan kampanye politik ibarat perang suci yang harus dimenangkan; meyakini pernyataan politisi layaknya firman Tuhan, sabda nabi, atau ujaran orang suci; selalu berbagi informasi yang mendukung politisi di setiap media sosial; mengutip ayat-ayat suci atau ucapan tokoh agama untuk membela politisi; bersedia memasang nomor urut atau foto sang politikus pada foto profil di media sosial; merasa berkewajiban untuk menanggapi komentar negatif terhadap politisi; menganggap orang lain yang mengkritik sang politikus sebagai tidak demokratis dan tidak rasional; menganggap kritik terhadap politisi sebagai ancaman terhadap agama, ras, etnis, dan bahkan eksistensi diri; dan, pada akhirnya, berkonflik dengan teman atau saudara sendiri.

Keempat strategi tersebut tidak hanya secara politik membelah negeri, tetapi juga menyakiti orang-orang yang terlibat dalam aktivitas politik di media sosial. Maraknya fenomena ‘unfriend’ dan ‘unfollow’ di media sosial menunjukkan bagaimana pemilih terdampak secara negatif oleh cara kerja politisi tersebut. Tampaknya keempat strategi di atas masih akan mendominasi kontestasi politik Indonesia di masa depan. Sangat penting untuk segera mengenali gejala di atas sebelum terlambat. Mengesampingkan atau setidaknya mengurangi aktivitas politik di media sosial dan di kehidupan nyata akan membantu mengurangi tingkat stres yang disebabkan strategi kampanye politik tersebut.

 

*) Versi berbahasa Inggris-nya pernah dipublikasikan di tempo.co. Anda bisa membaca di link ini.

 

0
0
Strategi  Pengelolaan Keuangan Unggulan Pasangan Calon Kepala Daerah Sebagai Penentu Kemenangan

Strategi Pengelolaan Keuangan Unggulan Pasangan Calon Kepala Daerah Sebagai Penentu Kemenangan

Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) 2017 saat ini, semua tahapan berjalan dengan baik dan partisipasi masyarakat diprediksi mencapai di atas 80 persen. Salah satu kunci kemenangan pasangan terpilih nanti adalah harus memiliki strategi jitu dalam pengelolaan keuangan daerah. Pasalnya,  program-program  yang berpihak kepada masyarakat, serta infrastruktur pembangunan pemerintahan, optimalisasi alat kota mulai dari trotoar, sport center hingga taman kota, adalah strategi yang ditunggu masyarakat pemilih. Program yang berpihak kepada masyarakat adalah penentu kemenangan bakal calon.

Fenomena penentuan strategi para calon kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat saat ini adalah faktor yang paling menentukan kemenangan. Bahkan beberapa incumbent, tanpa malu akan menyatakan keberhasilan programnya walaupun sebenarnya adalah program kepala daerah periode sebelumnya. Di antara kepala daerah yang hingga saat ini sukses memenangkan hati warga nya antara lain adalah Irwan Prayitno-Gubernur Sumatera Barat, Risma-Walikota Surabaya, Azwar Anas-Bupati Banyuwangi, Ridwan Kamil-Walikota Bandung, Yoyok-Bupati Batang, Nurdin Abdullah-Bupati Bantaeng dan lain-lain.

Program-program unggulan para kepala daerah yang memperoleh apresiasi rakyat antara lain :

  1. Risma, Walikota Surabaya. Transparansi dalam penggunaan anggaran, sehingga memperoleh Bung Hatta – anti corruption award 2015, Adipura Kencana berkali kali sehingga surabaya menjadi lebih nyaman dan bersih, pedestrian serta taman2 kota yang indah dan hijau.
  2. Azwar Anas, Bupati Banyuwangi. Menggalakkan pariwisata bernafaskan budaya lokal sebagai motor penggerak perekonomian daerah, dan kerjasama dengan pihak swasta untuk membangun infrastruktur kota, juga penurunan angka kemiskinan.
  3. Ridwan Kamil, Walikota Bandung. Bandung disulap jadi kota “sejuta taman” yang indah. Jadi walkot “gaul” yang aktif menyapa warganya via medsoc dan ajang2 off air.
  4. Yoyok, Bupati Batang. Bikin Festival Anggaran dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), sebagai wujud transparansi penggunaan anggaran. “Gaul abis” dengan warganya dan melepas atribut formal saat berbaur dengan warga. Rumah dinasnya juga selalu open house every day…:)
  5. Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng. Menggerakkan potensi ekonomi, infrastruktur dan fasilitas kesehatan daerah, dengan bekerjasama dengan pihak swasta dan LN (terutama jepang). Angka kemiskinan menurun drastis.
  6. Aher-Dedi. Pembentukan wirausaha baru sebanyak 100 ribu pada 2018 (58% pada 2016), pemberian bibit ikan kepada masyarakat dengan penyebaran benih di danau, situ dan waduk mencapai 18,3 juta benih ikan. Penanaman 2 juta pohon kopi kepada petani kopi dan kelompok masyarakat menjadikan Jawa Barat menjadi salah satu produsen kopi kedua di Indonesia setelah Aceh, dan sebagai penunjang perekonomian dengan melakukan pengembangan infrastruktur Jalan provinsi di Jabar selatan untuk mendongkrak perekonomian di Jawa Barat,”

Dari program unggulan kepala daerah diatas, hal-hal yang  yang paling mendapat apresiasi masyarakat adalah antara lain :

  1. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan APBD, dalam hal ini adalah strategi pengelolaan keuangan unggulan yang memungkinkan misi yang lain menjadi terlaksana dengan baik.
  2. Pembangunan fasilitas umum yang menyentuh hajat hidup masyarakat (jalan raya, taman2 kota, trotoar dan pedestrian yang nyaman, dan sarana umum lainnya).
  3. Menggerakkan perekonomian daerah yang melibatsertakan masyarakat, sehingga angka kemiskinan menurun dan meningkatkan wirausaha.

Selanjutnya, kita dapat membandingkan strategi program unggulan para kepala daerah tersebut di atas dengan visi dan misi para calon kepala daerah yang saat ini akan berkompetisi pada beberapa pilkada di sejumlah daerah berikut:

  1. Agus-Sylvi :
  • Mewujudkan Jakarta yang Maju
  • Mewujudkan Jakarta yang Aman
  • Mewujudkan Jakarta yang Adil
  • Mewujudkan Jakarta yang Sejahtera
  • Mewujudkan “Jakarta Hijau” (Green Jakarta) yang Lingkungannya Semakin Baik
  • Mewujudkan Jakarta yang Nyaman dan Bermartabat
  1. Ahok-Djarot :
  • Mewujudkan pemerintahan yang bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), terbuka, dan melayani warga.
  • Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga, yaitu jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, hunian yang layak, bahan pangan yang terjangkau, transportasi publik yang ekonomis, dan lapangan pekerjaan serta usaha agar seluruh warga berkesempatan memperoleh kehidupan yang lebih baik sehingga Indeks Kebahagiaan kota Jakarta menjadi salah satu yang tertinggi di antara kota-kota di dunia.
  • Menciptakan sumber daya manusia yang tangguh lahir dan batin, kompeten, dan berdaya saing global dengan Indeks Pembangunan Manusia yang setara dengan kota-kota maju di dunia.
  • Menata kota sesuai perubahan zaman untuk mendukung kemajuan ekonomi, keberlangsungan lingkungan, dan kehidupan sosial budaya warga.
  • Membangun kehidupan kota yang berbasis teknologi dan berinfrastruktur kelas dunia dengan warga yang berketuhanan, berbudaya, bergotong royong, berwawasan, toleran, partisipatif, dan inovatif.
  1. Anies-Sandhy :
  • Membangun manusia Jakarta menjadi warga yang berdaya dengan menghadirkan kepemimpinan HUMANIS dan MENGAYOMI, penggerak birokrasi yang efektif, menjaga stabilitas dan keterjangkauan harga bahan pokok, membangun sektor kesehatan, pendidikan, kebudayaan serta menyelesaikan masalah-masalah sosial.
  • Membangun lingkungan kota Jakarta secara berkelanjutan dengan perencanaan yang memperhatikan daya dukung lingkungan dan sosial.
  • Membangun kesejahteraan dengan menciptakan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, dan penanggulangan masalah mobilitas warga kota
  1. Rano-Embay :
  • Memantapkan pembangunan infrastruktur wilayah dan kawasan untuk pemenuhan layanan dasar dan peningkatan daya saing daerah.
  • Menciptakan ekosistem ekonomi yang sinergis antarpelaku usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dengan iklim investasi yang kondusif serta keberpihakan pada masyarakat.
  • Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, berbudaya dan berdaya saing.
  • Memperkuat sinergi pembangunan daerah melalui kerja sama pembangunan antar pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang selaras, serasi dan seimbang.
  • Meningkatkan kinerja pemerintah daerah yang bersih dan berintegritas menuju tata kelola pemerintahan yang berkualitas.
  1. Wahidin Halim- Andika.

Mewujudkan Banten yang:

  • Maju, cara-cara lama dalam mengelola pemerintahan ditinggalkan, selanjutnya cara baru dalam mengelola pemerintahan yang sesuai dengan prinsip good governanace dipakai.
  • Mandiri mengacu pada kemampuan keuangan daerah untuk mendukung dan menjalankan pembangunan daerah. Suatu daerah dikatakan mandiri bila pendapatan asli daerahnya dalam APBD cukup dominan, sehingga tidak tergantung oleh bantuan atau subsidi pemerintah pusat. Mandiri disini menunjukkan kemampuan fiskal yang cukup untuk merealisasikan berbagai program pemerintah daerah.
  • Berdaya Saing berarti kemampuan daerah mengelola dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki serta menghilangkan berbagai hambatan sehingga berhasil menjadi tujuan investasi dibandingkan dengan daerah lainya. Beberapa parameter investasi seperti infrastruktur yang memadai, keamanan yang terjamin, pelayanan perijinan yang mudah berkepastian hukum, sumber daya manusia yang  berkualitas, dan ketersediaan energi menjadi tolok ukurnya.
  • Sejahtera diukur dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui tiga indikator utama yaitu kondisi pendidikan, kesehatan, dan kondisi daya beli masyarakat.
  • Akhlakul Karimah menekankan pada perilaku kehidupan masyarakat dan pemerintah yang mencerminkan penerapan nilai-nilai agama. Yakni, nilai-nilai yang sesuai dengan hakikat ketuhanan, keberadaan manusia berserta alam seisinya

Dengan menganalisis faktor strategi unggulan 5 calon kepala daerah yang bersaing pada 2 provinsi tersebut, dapat terpola suatu strategi dimana setiap calon kepala daerah memiliki perbedaan prioritas pada visi misinya, yang tentunya akan sangat berpengaruh pada saat pelaksanaan kegiatan pemerintah saat mereka terpilih.

  1. Agus-Silvy, yang paling terlihat berbeda dari pasangan lainnya adalah menjadikan Jakarta green city (kota hijau) yang tentunya saat mereka terpilih akan dituntut untuk merealisasikannya.
  2. Ahok-Djarot, menata kota sesuai perubahan zaman untuk mendukung kemajuan ekonomi dan menciptakan SDM yang tangguh. Dalam hal ini saat terpilih tentunya SDM yang tidak tangguh akan dipersilakan untuk keluar dari ibukota dan penataan kota sesuai kebutuhan perekonomian, yang akan sangat mungkin terjadi penggusuran dalam pelaksanaannya.
  3. Anies-Sandhy, menghadirkan kepemimpinan HUMANIS dan MENGAYOMI. Penggunaan huruf capital pada kata humanis dan mengayomi menunjukkan strategi kepemimpinan berbeda dengan incumbent yang sebaliknya, walaupun bisa saja akan berpengaruh pada lambannya pelayanan birokrasi pemerintah.
  4. Rano-Embay, pembangunan infrastruktur wilayah dan kawasan, peningkatan daya saing daerah membangun ekosistem ekonomi yang sinergis antarpelaku usaha. Dalam hal ini program terfokus pada investor dari luar daerah sebagai penggerak perekonomian, yang walauupun diperlukan seringkali mengakibatkan meningkatkan kesenjangan social.
  5. Wahidin-Andhika, dengan misi akhlakul karimah pada perilaku kehidupan masyarakat dan pemerintah yang mencerminkan penerapan nilai-nilai agama, yang pada prakteknya lebih kepada praktek agama secara formalitas tidak sampai pada agama sebagai integritas personal tertinggi.

Pada akhirnya, berdasarkan analisis pada visi dan misi 5 calon kepala daerah tersebut, tidak ada satupun terlihat suatu misi pengelolaan keuangan unggulan sebagai strategi unggulan para calon kepala daerah. Tampaknya strategi pengelolaan keuangan unggulan hanya sebagai pemanis kata dalam penulisan visi misi.

Sedangkan dalam pelaksanaannya strategi pengelolaan keuangan unggulan menjadi penentu kesuksesan kepala daerah yang dilaporkan sebagai indikator kesuksesannya. Mudah-mudahan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung berikutnya, pembuatan visi dan misi para calon kepala daerah dapat menjadikan strategi pengelolaan keuangan unggulan sebagai strategi penentu kemenangan.

 

 

0
0
Birokrasi (ala) La La Land

Birokrasi (ala) La La Land

Seperti saya menulis artikel ini, membacanya akan lebih syahdu jika ditemani alunan musik yang menjadi soundtracknya.., A Lovely Night, Another Day of The Sun, Summer Montage, hingga City of Stars..

Boleh juga sambil membayangkan Ryan Gosling atau Emma Stone disamping anda..

 ….….

La La land, sebuah film yang sungguh membawa penonton ke alam fantasi. Penonton dimanjakan oleh visualisasi yang jernih, penuh warna, shot-shotnya yang hampir sepanjang film menarik untuk di-capture. Naskahnya yang solid, penuh dengan dialog sarat makna. Musik yang jazzy, lembut kadang menghentak sesuai alur cerita. Koreografi yang fantastik dengan gerakan detil dan memukau sejak scene pertama. Tidak heran film yang bertema mengejar impian ini mendapatkan tujuh penghargaan utama Golden Globe, sebuah rekor dalam sejarah Golden Globe itu sendiri.

Sebastian dan Mia sebagai tokoh sentral di film ini mengajarkan bagaimana memelihara gairah (passion) dalam menggapai impian. Sebastian seorang musisi jazz sederhana nan idealis ingin sekali mempunyai klub jazz nya sendiri. Dia ingin para pemain musik di klubnya bebas memainkan instrumen kesukaannya hingga terdengar harmonisasi tangga nada bersama pemain instrumen lainnya. Seperti yang dia katakan dalam sebuah dialog, bermusik jazz adalah sebuah kebebasan, bebas berimproviasi. Tidak pakem dalam not-not tertentu agar instrumennya terdengar mengalun indah. Begitu pun kebebasan yang dimiliki oleh pribadi Sebastian, dia merasa memiliki otonomi dalam berkarya dan mengejar impian melalui pengetahuan dan keahliannya. Hingga pada suatu ketika dia harus menggadaikan passion nya untuk memenuhi kebutuhan finansialnya.

Mia seorang wanita muda bertalenta pemain peran ingin sekali menjadi artis tersohor. Berbagai kesempatan audisi dilaluinya di sela-sela pekerjaaan sementaranya sebagai seorang bartender di sebuah kafe. Mia merasa mempunyai kebebasan untuk mencari peluang dalam menggapai impiannya.  Passion nya mengantarkan pada suatu titik dimana dia berputus asa lalu pada titik yang lain dia menyadari bahwa kesempatan datang di saat tidak diharapkan.

Keduanya lalu bertemu dan terjadi dialektika saling dukung dalam meraih impian masing-masing. Meskipun ending cerita romansa nya terlihat pahit, namun impian keduanya terwujud dengan sempurna.

Bagi saya, Film ini bukan film modern yang menampilkan kecanggihan teknologi, tapi beyond modern, karena mampu menampilkan sebuah tema biasa, cerita yang klise, dan bahkan drama musikal yang sebenarnya kuno, menjadi sebuah pertunjukan yang penuh kebahagiaan, terlebih mampu memberi pelajaran tersendiri dalam mendobrak kemapanan teknik sinematrografi. Seseorang yang pada dasarnya tidak menyukai film drama musikal ataupun bukan penyuka musik jazz menjadi ingin menyaksikannya berulang kali.

Di lain cerita, kisah di film tadi menjadi sebuah metafora…

Dalam birokrasi sering kita terjebak dalam kemapanan dan pakem sebuah struktur yang menghalangi kebebebasan. Kebebasan berkreasi, berinovasi dan mengembangkan diri. Birokrasi dalam perspektif post (beyond) modern, mengartikulasi kebebasan bukan sebagai antitesis dari kekuasaan. Kebebasan bukan untuk melawan sebuah kekuasaan (dominasi), tapi bagaimana menggunakan kekuasaan dirinya untuk menggapai sebuah kebebasan. Kebebasan yang sebenarnya diinginkan namun selalu diingkarinya karena kungkungan keadaan. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang birokrat sebenarnya mampu membuat dirinya berkuasa untuk mencari sebuah kebebasan.

Post-bureaucracy adalah birokrasi dipandang dari perspektif kritis post-modern, sebuah birokrasi yang mendobrak kemapanan standar dan hirarki, yang berusaha membebaskan individu dari belenggu kerangkeng besi.

Ada sebuah kejadian menarik di awal cerita, saat Sebastian memainkan piano disebuah klub, manajer klub terlihat sangat kesal dengan Sebastian karena Sebastian tidak memainkan musik sesuai yang diinginkan manajer. Hal itu membuat Sebastian merasa terkungkung dan ketidaknyamanannya berbuah kekesalan personal yang membuat pertemuannya dengan Mia tidak punya makna bahkan menularkan kekesalan lain pada sosok Mia. Kejadian ini, lalu diandaikan dengan sangat baik secara flashback di akhir cerita. Seandainya manajer tidak membuat batasan, Sebastian akan bermain piano dengan gembira dan pertemuan dengan Mia menjadi pertemuan yang menyenangkan. Dalam bayangan keduanya, justru inilah saat penting yang menentukan kebahagiaan mereka abadi sampai akhir cerita.

Post-birokrasi berusaha menyeimbangkan work-life, antara pekerjaan dan kehidupan sosial birokratnya. Bertolak dari pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, disinilah lalu power (kekuasaan) individu menjadi bagian dari freedom (kebebasan).

Menurut Maravelias, kebebasan dalam Post-birokrasi bisa dipandang sebagai sebuah otonomi ataupun sebuah peluang. Dalam memandang kebebasan sebagai sebuah otonomi, seorang birokrat cenderung memiliki komitmen penuh dan bersemangat dalam mempertahankan idealismenya dalam bekerja, idealisme sesuai dengan minat dan keahliannya. Jika tugas yang diemban tidak sesuai dengan minat dan keahlian, terpaksa melakukan negosiasi dengan keadaan namun sifatnya sangat sementara.

Seperti misalnya, Sebastian yang merasa memiliki otonomi dengan keahlian jazz nya, terpaksa menerima tawaran dari Keith (John Legend) untuk bermain musik yang berjenis pop-oriented untuk menjamin kemampuan finansialnya. Tapi itu hanya sementara karena impian sejatinya adalah musik jazz. Sebagai konsekuensi, seseorang yang menganggap kebebasan sebagai otonomi cenderung untuk lalu menghambakan dirinya pada pekerjaan yang digelutinya. Sebastian akhirnya mendapatkan tawaran konser di berbagai kota yang membuat dirinya lalu semakin jauh dengan Mia. Namun akhirnya dia berhasil mendirikan the Seb’s, klub jazz milikya sendiri.

Sedangkan kebebasan yang dipandang sebagai sebuah peluang membuat seorang birokrat menjadi seorang oportunis yang berarti mampu memanfaatkan peluang untuk mencapai keinginan terbaiknya dalam bekerja. Setiap peluang selalu dicarinya demi mendapatkan pekerjaan yang diimpikannya. Pantang putus asa menjadi rumusnya, meskipun pada suatu titik dia akan merasa menjadi orang yang sangat tidak berbakat karena peluang tak kunjung berpihak kepadanya.

Mia akhirnya meraih peluang itu, menjadi seorang artis, persis seperti dalam impiannya setelah melalui proses panjang, berliku dan tidak jarang diremehkan.

“A bit of madness is key, to give us to color to see, who knows where it will lead to us? “ Demikian sebuah bait mengalun dalam salah satu soundtrack yang berjudul Audition (the fools who dream). 

Begitulah dialektika kekuasaan dengan kebebasan dalam birokrasi, kadang terjadi ambivalensi. Disaat menginginkan kebebasan, tapi justru pada saat itu pula kebebasan mengikatnya. Namun kebebasan akan menemukan arah sejatinya di saat seorang birokrat mampu memahami potensinya lalu mampu mengartikulasikannya menjadi sebuah otonomi ataupun peluang untuk memberdayakan dirinya.

Di level organisasi, fleksibilitas menjadi penting. Individu bukan lagi digerakkan secara rule-driven, tapi bagaimana memberikan kesempatan yang cukup bagi setiap individu untuk melepaskan potensi dalam ruang kerjasama yang harmoni. Mirip sebuah pertunjukan musik jazz.

Birokrasi, ibarat kota penuh bintang (talenta)..

Kota yang tidak hanya dimiliki oleh sekumpulan elit, tapi seluruh penduduk kota, semua adalah bintang bertalenta yang berhak bersinar menerangi penjuru kota..

“City of Stars..

are you shining just for me?

City of Stars..

There’s so much that I Can’t see..

Who knows?

I felt it from the first embrace I shared with you..

That now our dreams, they’ve finally come true..”

 

 

0
0