Mencari Sisi Baik

Mencari Sisi Baik

Ohcome on…masak tidak ada satu hal positif pun yang kamu tau tentang negeriku?”

Saya masih mencoba berfikir keras mencari sisi baik negerinya. Sayang tak terlintas satu pun. Akhirnya, saya hanya tertawa dan mengatakan, “That’s all I know about your country”. Terselip rasa tidak enak, tapi apa daya. Saya hanya bisa menambahkan bahwa yang saya tahu mayoritas penduduk beragama Islam.

Seperti biasa, setiap kali berkenalan dengan orang baru, topik utama yang dibahas adalah negara asal. Ia yang memulai percakapan dengan menanyakan saya berasal dari mana, apakah saya muslim, apa yang saya lakukan di sini. Pembicaraan pun mengalir. Sempat saya jelaskan tentang Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dengan berbagai ragam bahasa yang berbeda satu dengan yang lain.

Usai penjelasan singkat tentang Indonesia, tiba giliran saya bertanya balik. Rupanya ia berasal dari Pakistan. Baru tiga tahun ini tinggal di kota Melbourne. Saya coba memutar ingatan tentang apa yang saya tahu tentang negara tersebut. Saya tanyakan, siapa perdana menteri saat ini. Jujur, cukup lama tidak saya ikuti perkembangan berita tentang negara tetangga India tersebut.

Bisa dipastikan saat ia jelaskan tentang sang perdana menteri, saya hanya bisa berkomentar singkat: ooo…ditambah: I just know about Benazir Butho. Ia ceritakan pula tentang pergantian kepemimpinan termasuk beberapa kudeta yang terjadi. Langsung ingatan saya melayang pada pembicaraan dengan beberapa orang tua murid teman Ayla yang juga berasal dari negara yang sama. Kala itu, ia ceritakan carut marut perpolitikan dan polah tingkah para politikus di negara tersebut. Termasuk pertikaian-pertikaian antar kelompok yang sering terjadi. Belum lagi masalah listrik yang sering padam cukup lama. Sering dalam sehari listrik tidak menyala.

Cerita orang tua murid tersebut saya sampaikan kepadanya. Apa memang benar seperti itu kondisi negaranya. Ia akui. Namun, ia juga jelaskan bahwa saat ini sudah ada upaya-upaya perbaikan. Dari caranya menjelaskan saya bisa menangkap rasa optimismenya. Hingga akhirnya, ia lontarkan pertanyaan di atas yang hanya bisa saya jawab dengan senyuman.

Akhirnya, saya pun menyerah dan memintanya menjelaskan hal-hal positif tentang Pakistan. Ia pun menyebutkan sederet sisi baik negerinya, termasuk dalam hal IT dan militer. Aha…baru teringat bahwa selama ini sering mendapati komentar teman-teman, kalau mahasiswa China kebanyakan mendominisai jurusan IT di banyak universitas di sini, maka mahasiswa Pakistan banyak mendominasi bidang IT. Sedikit demi sedikit mulai nampak hal positif tersebut. Ahli IT Australia banyak yang berdarah Pakistan. Ah…entah mengapa saya terlupa. Sebaliknya, justru lebih meningat tentang mati lampu dan pertikaian dari pada IT expert.

Percakapan dengan warga Pakistan tersebut juga membuat saya ‘ngeh’ bahwa jumlah penduduk Pakistan sangat besar. Ia katakan, 200million atau dua ratus juta. Lagi-lagi saya hanya menjawab, really? Saya fikir hanya sekitar 60an juta. Ternyata hampir menyamai Indonesia. Dengan luas area yang jauh lebih kecil dari Indonesia, tentu kepadatan penduduknya sangat tinggi.

Usai pembicaraan baru terlintas: Aha…bukankah Nouman Ali Khan dan Yasir Qadhi juga dari Pakistan? Ya…dia memang layak bangga dengan negerinya. Sampai di rumah saya sempatkan menggoogling. Saya temukan nama Muhammad Iqbal, penyair terkenal yang salah satu judul bukunya menjadi nama komunitas MAKES (Al Markaz for Khudi Enlightening Studies) yang sering saya kunjungi tujuh belas tahun silam. Dari Wikipidia saya temukan juga Sadiq Khan, Mayor London yang pernah juga menjabat menjadi Menteri Transportasi Inggris. Dari situ pula saya dapati bahwa Pakistan menempati ranking enam sebagai negara dengan diaspora penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk yang bertebaran di banyak negara tersebut berkontribusi terhadap pendapatan negara.

Masih ingat pelajaran sejarah jaman SMP tentang Mohenjo Daro dan Harappa? Lamat tapi pasti kedua nama tersebut cukup kuat terpatri dalam ingatan saya meski sudah lupa benda apakah itu. Mohenjo Daro adalah situs sisa pemukiman terbesar kebudayaan Lembah Sungai Indus yang terletak di Sind, Pakistan. Pada masa puncak kejayaannya, Mohenjo Daro adalah kota yang sangat maju di era 3300-1700 sebelum masehi. Peradaban kota ini juga disebut dengan ‘Peradaban Harrapa”. Wikipidia menyebut: Mohenjo Daro was the most advanced city of its time, with remarkably sophisticated civil engineering and urban planning. Wow….

Tinggalah saya dalam keterpanaan. Adakah saya juga hanya mengenal sisi-sisi buruk Indonesia? Smoga saja tidak…

 

 

0
0
Apalah Arti Sebuah Seragam?

Apalah Arti Sebuah Seragam?

Seragam? Iya pakaian seragam. Ini tentang pakaian. Baju yang dipakai oleh sekumpulan orang dalam kelompoknya yang distandarkan dan dibuat sama. Topik ini bukan masalah seragam dengan warna  dan corak apa, berpihak pada etnis apa. Bukan pula kecurigaan atas hadirnya proyek atas nama seragam.

Namun, ini tentang pemaknaan dari pakaian yang dikenakan oleh seseorang, yang kemudian jika itu seragam, berarti oleh sekumpulan orang. Pakaian adalah ekstensi kulit dari individual. Pakaian mampu menjadi refleksi atas orang yang memakaianya. Seseorang mempunyai motivasi tertentu dan ingin diintepretasikan tertentu oleh orang lain dari pakaian yang dikenakan.

Di dunia ini banyak sekali kita temui pakaian seragam dengan tujuan yang berbeda dan keberhasilan yang bermacam-macam. Ada seragam sekolah, seragam militer, seragam klub sepak bola, dan ada juga seragam untuk orang kantoran. Yang terakhir ini sebenaranya yang ingin saya bahas.

Seragam sekolah yang dimulai di Inggris pada abad 16 dimaksudkan untuk  kesetaraan sosial dan identitas, kemudian diikuti oleh banyak negara termasuk di Indonesia. Di Indonesia, seragam SD yang berwarna merah dan putih merepresentasikan sebuah energi dan hasrat, warna biru pada seragam SMP digambarkan sebagai sebuah kepercayaan diri, sedangkan abu-abu pada seragam SMA mewakili sebuah kematangan pribadi.

Meskipun siswa banyak yang tidak tahu tentang representasi warna seragam sekolahnya, namun mereka tetap memakai seragam dengan senang hati untuk menggambarkan status sosial mereka yang terpelajar.

Sejarah seragam sepak bola juga dimulai di Inggris, sebuah negara asal sepakbola, yang mulai pada abad 18 klub sepakbola menggunakan kostum khusus masing-masing. Sebelumnya, mereka mengenakan kostum sesukanya pada saat bertanding. Seragam klub bertujuan untuk identitas sekaligus pembeda antara klub satu dengan klub yang lain.

Kini seragam klub sepakbola bukan hanya berfungsi sebagai identitas dan pembeda, namun menjadi sebuah kebanggan bagi pemain dan fans nya. Bahkan, pengikut setia sebuah klub selalu memburu jersey terbaru yang dikeluarkan setiap tahunnya.

Beberapa mengincar nomor punggung tertentu sesuai pemain idolanya. Rasa kepemilikan seragam bergeser lebih luas bukan hanya milik para pemain yang berlaga di lapangan, namun juga milik para fans setia klub. Tanpa diwajibkan, mereka dengan senang hati memakainya, dan bangga.

Seragam militer masuk ke Indonesia pada saat bangsa kita sibuk melawan penjajah dengan cara berperang secara fisik. Seragam yang digunakan jelas bertujuan untuk membedakan mana kawan dan mana lawan. Dengan berlalunya  perang dan kemerdekaan yang berhasil diraih, banyak melahirkan pahlawan yang identik dengan kostum perangnya.

Itulah mengapa, sampai saat ini banyak kegiatan usaha rental baju pahlawan dan juga baju militer, yang biasanya akan sold out di saat peringatan hari kemerdekaan atau hari bersejarah lainnya. Orang cenderung merasa bangga bak pahlawan jika mengenakan baju tersebut meskipun hanya setengah hari.

Tidak lupa pula para taruna yang terlihat gagah dan ganteng selalu merasa bangga memakai baju seragam dinasnya di saat pelesir di kota. Pakaian seragam mereka merepresentasikan kekuatan, kesehatan, dan juga kewibawaan. Sehingga tidak mengherankan jika para taruna selalu berhasil menggandeng dara cantik jika sedang jalan ke mall atau bisokop di kota-kota.

Lalu seragam kantoran? Mengenai makna mengapa ada seragam bagi PNS, bisa jadi untuk memfungsikan seragam sebagai pembeda antara pegawai negeri dengan yang bukan. Jika kita bongkar kembali sejarah birokrasi di Indonesia, memang pegawai negeri pada zaman kolonial adalah sekelompok orang yang justru mempunyai kasta yang dihormati oleh masyarakat.

Pegawai pemerintahan pada waktu itu mengasosiasikan dirinya dalam kedudukan sebagai kelas elit dalam strata sosial yang ada karena mempunyai hak istimewa untuk berkuasa mengatur masyarakat. Namun alasan itu sepertinya tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, di mana masyarakat semakin banyak menuntut akan kinerja para pegawai pemerintahan untuk benar-benar melayani masyarakat bukan melayani penguasa untuk menguasai masyarakat.

Dan kabar buruknya, saat ini, pegawai pemerintahan justru sedang mempunyai citra yang kurang baik di mata masyarakat. Profesionalisme, etos kerja, kekakuan birokrasi, dan berbagai penyimpangan kewenangan menjadi hal yang tidak lepas dari citra buruk aparatur negara.

Meskipun telah banyak pegawai pemerintahan yang rela berkorban untuk bekerja dengan baik demi pelayanan kepada masyarakat, namun hal itu belum cukup untuk memperbaiki citranya, karena masih bersifat sporadis. Selain itu, banyaknya pejabat pemerintahan yang tersangkut kasus penyimpangan kewenangan, akan menutup citra positif pegawai yang sebenarnya dapat mulai terbangun dengan baik.

Atau kebijakan seragam di birokrasi pemerintahan dimaksudkan sebagai motivasi kolektif untuk bangga menjadi pelayan masyarakat dan mengkonstruksikan semangat nasionalisme? Semangat untuk bekerja melayani masyarakat demi kejayaan nusa dan bangsa, apakah itu mampu ditumbuhkan dari sebuah pakaian seragam yang dikenakan?

Sebenarnya motivasi ini berpotensi menjadi narasi besar kenapa pegawai pemerintahan perlu pakaian seragam dalam mengemban tugasnya. Namun narasi ini akan gugur sendirinya dengan adanya ancaman hukuman jika pegawai tidak mematuhi aturan pemakaian seragam.

Adanya ancaman ini membuat pegawai merasakan sebuah tekanan yang pada akhirnya melupakan sebuah narasi nasionalisme. Karena pada hakikatnya semangat melayani dan rasa nasionalisme akan tumbuh karena kesadaran pribadi sesuai dengan preferensi masing-masing yang didapat dari pengetahuan dan pengalaman praktik mereka.

Bukan karena tekanan. Ditambah, citra negatif masyarakat terhadap aparatur pemerintah belum mampu menjadikan pakaian seragam sebagai simbol yang dibanggakan bagi pemakainya. Akhirnya dugaan kenapa negara mengatur pakaian seragam bagi pegawainya adalah untuk  menyeragamkan perilaku PNS nya agar mengikuti berbagai peraturan disiplin dan kebijakan yang ada.

Yang pasti dengan mewajibkan PNS untuk memakai seragam, tidak terbantahkan lagi bahwa negara telah menciptakan normalisasi dominasi, jika tak mau disebut menghegemoni, bagi pegawainya.

Pegawai sebagai obyek dominasi negara harus selalu tunduk dan patuh kepada kekuasaan dominasi. Pegawai tidak diperkenankan melakukan protes apalagi menentang aturan dan kebijakan yang ditetapkan. Pemakaian seragam menjadi sebuah tanda bahwa seluruh pengikut tetap dalam kendali pejabat negara yang berkuasa.

Disaat seseorang diwajibkan mengenakan sebuah pakaian, dia tidak akan mempunyai pilihan lain selain memakainya. Motivasi orang tersebut otomatis akan menjadi bias dan justru berpotensi kehilangan makna. Bisa jadi dia akan mencari-cari motivasi tanpa bantuan pihak lain, adapun jika meminta bantuan pihak lain belum tentu juga akan termotivasi.

Tanpa adanya idola yang juga mengenakan pakaian yang sama, yang diintepretasikan positif bagi kelompok dan stakeholdernya, akan sulit bagi seseorang untuk menemukan motivasinya. Jika motivasi tak kunjung ditemui, kepasrahan yang akan menghampiri. Pakaian akan dikenakan hanya agar tidak mendapatkan hukuman.

Lebih parahnya akan timbul oposisi biner aparat baik dan tidak baik dari sebuah pakaian, negara akan menganggap aparat yang tidak memakai seragam adalah aparat yang tidak baik dan oleh karenanya pantas mendapat hukuman. Dan keberhasilan negara terhadap penyeragaman pakaian hanya terletak pada tingkatan pembeda, membedakan mana pegawai negeri dan mana yang bukan.

Tidak membanggakan, tidak memotivasi, dan tidak ada hubungannya dengan kinerja, tapi justru memperlihatkan adanya kekuatan dominasi atas yang lain. That’s it. End of story. 

Jadi, apalah arti sebuah seragam? Sangat berarti. Saking berartinya, jika saya jadi pemegang otoritas atas PNS, saya tidak perlu ancam-mengancam untuk membuat aturan tentang baju.

0
0